Seno Gumira Ajidarma *
Kanon keindahan adalah
mitos, yang dilahirkan oleh suatu konotasi ideologis, yang dari waktu ke waktu
telah terus-menerus disempurnakan, sehingga menjadi tonggak dalam sejarah
sastra yang tidak bisa dihapuskan lagi—dengan suatu dampak sosial, bahwa
bentuknya kemudian menjadi standar keindahan. Bagi para penulis yang telanjur
beriman kepada suatu keyakinan atas standar tertentu, di dalam standar itulah
terdapat ”substansi” atawa ”esensi” sastra, yang secara metaforik sering
disebut sebagai ”roh”.
Dampak sosial kepada para
penulis ini kemudian berkonsekuensi dengan semakin canggih dan sempurnanya
konstruksi estetik tertentu, yang sudah jelas mendapatkan kemuliaannya dalam
kesepakatan sebagai apa yang disebut ”sastra”.
Sebagai ilustrasi
perbincangan, izinkanlah saya mengambil contoh kasus pantun Melayu. Di
Indonesia, cara menulis sajak yang bersanjak itu, yakni pola dua larik pertama
sampiran, dua larik kedua ”isi”, dengan akhiran bunyi tiap larik yang
”harmonis” dalam berbagai variasinya (a-b-a-b, a-a-b-b, a-b-b-a) telah
mengalami puncak kecanggihannya pula dalam sastra modern, seperti ditunjukkan
oleh karya-karya Roestam Effendi dan kemudian Amir Hamzah. Bahwa pantun Melayu
tradisional ini saya sebut modern dalam kasus Indonesia karena format sajak
yang bersanjak, yakni yang bunyi dan iramanya ”sesuai aturan”, yang biasanya
mengelus-elus sistem nilai komunal yang penuh ketundukan kepada ”peraturan”
pula, mendadak jadi ungkapan protes sosial dari ”jiwa yang bebas”.
Dalam hal ”ilmu a-b-a-b”
ini, meskipun Chairil Anwar yang (pernah) mengabaikan bentuknya, Sutardji
Calzoum Bachri yang juga (pernah) bahkan melepaskan kata dari makna, dan
Afrizal Malna yang ”memprosakan” bahkan ”me-nonfiksi-kan” puisi, boleh dibilang
mengobrak-abrik dan menghancurkan pantun Melayu; tetap saja para penyair yang
mengimaninya berhasil menjaga dan menyempurnakan ”pedoman” a-b-a-b ini, meski
sudah tidak setia pada ”rumus” sampiran dan isi lagi.
Sajak-sajak yang ditulis
Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, sampai Nirwan Dewanto, meski tidak
dalam keseluruhan karyanya, pada dasarnya (masih) mengukuhkan standar estetik
pantun Melayu yang mengutamakan tertib bentuk maupun bunyi itu.
Musikalitas
Pada akhirnya sastra
adalah (tetap) masalah permainan atas musikalitasnya (baca: struktur dan bunyi)
juga; karena jika tidak, mengapa sastra harus bisa disebut sastra, dan bukannya
pengumuman atau berita? Namun selama ini hanyalah konstruksi para tukang kibul,
dan bukan firman Tuhan, segenap standar estetik tidaklah akan pernah menjurus
kepada suatu substansi maupun esensi.
Persoalannya, meskipun
memang benar ”roh” dalam sastra dan seni apa pun hanyalah takhayul; tetapi
adalah benar pula bahwa kecanggihan dan kesempurnaan pada presentasi dalam
standar estetik tertentu, bagi siapa pun yang (terlalu) mengenal wacananya,
akan terlihat seolah-olah sebagai pencapaian ”telah menangkap roh” Dewa
Keindahan yang dipujanya itu.
Jadi memang tiada makna
yang akan selalu berlaku tetap, universal dan abadi; yang ada hanyalah
konstruksi standar estetik dalam konsensus sosial yang pada dasarnya akan
terus-menerus selalu berubah. Bahkan makna adalah medan perjuangan berbagai
konotasi ideologis, baik dalam penulisan maupun pembacaan atas tulisan
tersebut. Bukankah kata yang sama akan mendapat makna berbeda dalam artikulasi
wacana, konteks sosial historis, dan kepentingan politik kelompok yang berbeda
pula? Jika artikulasi kata yang sama pun membuat makna bukan hanya berbeda,
melainkan dimungkinkan bertentangan, maka apatah lagi jika seluruh gaya dan
konstruksinya kemudian saling menjungkirbalikkan pula.
Bukan standar estetik,
melainkan penafsiran atas makna yang membuat salah satu baris puisi Rendra
dalam ”Sajak SLA” ini (masih) diterima sebagai ”sastra”.
Mengikuti peta bumi
bahasa ”resmi”, baris seperti ini tempatnya adalah buku porno stensilan, yang
bersama kata-kata seperti berak dan mengangkang, oleh pengamat sastra
Indonesia, A Teeuw, disebut sebagai antipuisi; tetapi adalah konteks sosial
historis, wacana, dan kepentingan politik berbeda yang justru menempatkan
kalimat itu sahih sebagai bagian dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi, yang
merupakan ujung tombak ”sastra perlawanan”.
Sejak tahun 1978, sampai
dua puluh tahun kemudian, ketika Wiji Thukul yang masih hilang sampai sekarang,
ikut menyumbang dalam pergerakan reformasi dengan satu baris bertuah: hanya ada
satu kata: lawan!, sebenarnyalah estetika atawa filsafat keindahan yang
mendasari sajak-sajak Rendra maupun Wiji Thukul itu masih selalu dipertanyakan.
Orang mempertanyakan bukan karena tidak mengerti, melainkan tidak sepakat,
bahwa sastra ternyata juga bisa dan perlu melayani kebutuhan praktis, seperti
pengumuman dan berita, sehingga tidak menjadi sastra yang ”murni” lagi.
Masalahnya, hari gini,
siapa itu yang belum melihat terangnya matahari, masih bicara tentang murni dan
asli, substansi dan esensi?
***
*) Seno Gumira Ajidarma,
wartawan.
https://sukab.wordpress.com/2010/02/01/pantun-melayu-keindahan-dan-perlawanan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment