Friday, December 11, 2020

Pantun Melayu: Keindahan dan Perlawanan

Seno Gumira Ajidarma *
 
Kanon keindahan adalah mitos, yang dilahirkan oleh suatu konotasi ideologis, yang dari waktu ke waktu telah terus-menerus disempurnakan, sehingga menjadi tonggak dalam sejarah sastra yang tidak bisa dihapuskan lagi—dengan suatu dampak sosial, bahwa bentuknya kemudian menjadi standar keindahan. Bagi para penulis yang telanjur beriman kepada suatu keyakinan atas standar tertentu, di dalam standar itulah terdapat ”substansi” atawa ”esensi” sastra, yang secara metaforik sering disebut sebagai ”roh”.
 
Dampak sosial kepada para penulis ini kemudian berkonsekuensi dengan semakin canggih dan sempurnanya konstruksi estetik tertentu, yang sudah jelas mendapatkan kemuliaannya dalam kesepakatan sebagai apa yang disebut ”sastra”.
 
Sebagai ilustrasi perbincangan, izinkanlah saya mengambil contoh kasus pantun Melayu. Di Indonesia, cara menulis sajak yang bersanjak itu, yakni pola dua larik pertama sampiran, dua larik kedua ”isi”, dengan akhiran bunyi tiap larik yang ”harmonis” dalam berbagai variasinya (a-b-a-b, a-a-b-b, a-b-b-a) telah mengalami puncak kecanggihannya pula dalam sastra modern, seperti ditunjukkan oleh karya-karya Roestam Effendi dan kemudian Amir Hamzah. Bahwa pantun Melayu tradisional ini saya sebut modern dalam kasus Indonesia karena format sajak yang bersanjak, yakni yang bunyi dan iramanya ”sesuai aturan”, yang biasanya mengelus-elus sistem nilai komunal yang penuh ketundukan kepada ”peraturan” pula, mendadak jadi ungkapan protes sosial dari ”jiwa yang bebas”.
 
Dalam hal ”ilmu a-b-a-b” ini, meskipun Chairil Anwar yang (pernah) mengabaikan bentuknya, Sutardji Calzoum Bachri yang juga (pernah) bahkan melepaskan kata dari makna, dan Afrizal Malna yang ”memprosakan” bahkan ”me-nonfiksi-kan” puisi, boleh dibilang mengobrak-abrik dan menghancurkan pantun Melayu; tetap saja para penyair yang mengimaninya berhasil menjaga dan menyempurnakan ”pedoman” a-b-a-b ini, meski sudah tidak setia pada ”rumus” sampiran dan isi lagi.
 
Sajak-sajak yang ditulis Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, sampai Nirwan Dewanto, meski tidak dalam keseluruhan karyanya, pada dasarnya (masih) mengukuhkan standar estetik pantun Melayu yang mengutamakan tertib bentuk maupun bunyi itu.
 
Musikalitas
 
Pada akhirnya sastra adalah (tetap) masalah permainan atas musikalitasnya (baca: struktur dan bunyi) juga; karena jika tidak, mengapa sastra harus bisa disebut sastra, dan bukannya pengumuman atau berita? Namun selama ini hanyalah konstruksi para tukang kibul, dan bukan firman Tuhan, segenap standar estetik tidaklah akan pernah menjurus kepada suatu substansi maupun esensi.
 
Persoalannya, meskipun memang benar ”roh” dalam sastra dan seni apa pun hanyalah takhayul; tetapi adalah benar pula bahwa kecanggihan dan kesempurnaan pada presentasi dalam standar estetik tertentu, bagi siapa pun yang (terlalu) mengenal wacananya, akan terlihat seolah-olah sebagai pencapaian ”telah menangkap roh” Dewa Keindahan yang dipujanya itu.
 
Jadi memang tiada makna yang akan selalu berlaku tetap, universal dan abadi; yang ada hanyalah konstruksi standar estetik dalam konsensus sosial yang pada dasarnya akan terus-menerus selalu berubah. Bahkan makna adalah medan perjuangan berbagai konotasi ideologis, baik dalam penulisan maupun pembacaan atas tulisan tersebut. Bukankah kata yang sama akan mendapat makna berbeda dalam artikulasi wacana, konteks sosial historis, dan kepentingan politik kelompok yang berbeda pula? Jika artikulasi kata yang sama pun membuat makna bukan hanya berbeda, melainkan dimungkinkan bertentangan, maka apatah lagi jika seluruh gaya dan konstruksinya kemudian saling menjungkirbalikkan pula.
 
Bukan standar estetik, melainkan penafsiran atas makna yang membuat salah satu baris puisi Rendra dalam ”Sajak SLA” ini (masih) diterima sebagai ”sastra”.
 
Mengikuti peta bumi bahasa ”resmi”, baris seperti ini tempatnya adalah buku porno stensilan, yang bersama kata-kata seperti berak dan mengangkang, oleh pengamat sastra Indonesia, A Teeuw, disebut sebagai antipuisi; tetapi adalah konteks sosial historis, wacana, dan kepentingan politik berbeda yang justru menempatkan kalimat itu sahih sebagai bagian dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi, yang merupakan ujung tombak ”sastra perlawanan”.
 
Sejak tahun 1978, sampai dua puluh tahun kemudian, ketika Wiji Thukul yang masih hilang sampai sekarang, ikut menyumbang dalam pergerakan reformasi dengan satu baris bertuah: hanya ada satu kata: lawan!, sebenarnyalah estetika atawa filsafat keindahan yang mendasari sajak-sajak Rendra maupun Wiji Thukul itu masih selalu dipertanyakan. Orang mempertanyakan bukan karena tidak mengerti, melainkan tidak sepakat, bahwa sastra ternyata juga bisa dan perlu melayani kebutuhan praktis, seperti pengumuman dan berita, sehingga tidak menjadi sastra yang ”murni” lagi.
 
Masalahnya, hari gini, siapa itu yang belum melihat terangnya matahari, masih bicara tentang murni dan asli, substansi dan esensi?
***
 
*) Seno Gumira Ajidarma, wartawan.
https://sukab.wordpress.com/2010/02/01/pantun-melayu-keindahan-dan-perlawanan/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar