Friday, September 4, 2020

Sutardji Sebut Calung Penyukat Karya Puisi yang Matang

Editor: Eko Faizin

riaupos.jawapos.com 29 April 2019 

Buku puisi berjudul Calung Penyukat karya penyair perempuan Indonesia Kunni Masrohanti asal Riau dan diperbincangkan serius dalam kegiatan Bincang Buku, Sabtu (27/4) di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. 

Kegiatan yang ditaja Dinas Perpustakaan DKI Jakarta dan PDS HB Jassin ini dihadiri banyak penyair dan sastrawan Indonesia. Di antaranya, Presiden penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, Fikar W Eda,  Asrizal Nur, Waluyo Dimas, Endah Sulawesi, Kurniawan Effendy, Eddy Pramduance, Joserizal Manua, Devie Matahari,  Romy Sastra, Shobirin, Ariany Isnamurti, Adri dan masih banyak lainnya. Dihadiri juga berbagai komunitas seperti  Dapur Sastra Jakarta (DSJ), Forum Sastrawan Indonesia (FSI),  Negeri Poci,  Perkumpulan Rumah Seni Asnur, Komunitas Seribu Guru, Dapur Sastra Cisauk (DSC), dan lain-lain. Selain Calung Penuukat,  buku Puisi berjudul Hikayat Tanah Jawara karya Rini Intama asal Banten juga dibahas dengan Serius.

Bincang buku kali ini menghadirkan dua pembicara, yakni, Maman S Mahayana membahas khusus buku Calung Penyukat dan Wahyu Wibowo membahas buku Hikayat Tanah Jawara. Keduanya sebaya. Usia mereka hanya berbeda lima bulan saja dan sama-sama dosen. Maman merupakan dosen sastra di Universitas Indonesia (UI) atau dikenal dengan kritikus sastra Indonesia, sedangkan Wahyu merupakan dosen filsafat bahasa di Unas Jakarta. Perbincangan menjadi seriu ketika tamu-tamu yang datang mulai ikut berbagi pandangan dan pendapat, termasuk Sutardji. 

Dalam bincang tersebut, Maman membeberkan tentang posisi penyair-penyair dari tanah Melayu dalam kesusasteraan Indonesia. Ini terkait Kunni yang berasal dari Riau, tanah Melayu, asal mula Bahasa Indonesia. Maman menceritakan proses kreatifitas Kunni Masrohanti dalam dunia kepenyairannya, mulai dari buku pertama berjudul Sunting yang diawali dengan pengantarnya, buku Perempuan Bulan yang diluncurkan di Jakarta dan juga ia hadiri serta buku Calung Penyukat tersebut. Jika pada kedua buku sebelumnya Kunni masih mencari-cari fokus pembahasan dan pemikiran, pada buku Calung Penyukat, Kunni diakui Maman sudah lebih matang. 

‘’Dalam buku Calung Penyukat, Kunni bercerita tentang masa kecilnya tapi tidak terlepas dari persoalan tradisi, budaya dan petuah. Sudah lebih fokus dan lebih matang dibandingkan dua buku sebelumnya. Dalam buku ketiga ini juga kaya dengan kosa kata bahasa Melayu yang kuat, yang lebih mudah bagi Kunni sebagai orang Riau karena Melayu Riau sangat kuat dan dari sinilah Bahasa Indonesia bermula. Memang, cukup kesulitan bagi orang lain yang tidak memahami Melayu atau belum datang ke Riau karena kosa kata tidak dilengkapi dengan keterangan. Akan sedikit menjadi kendala. Tidak masalah karena dengan begini menunjukkan bahwa ini karya puisi asli,’’ beber Maman. 

Sutardji yang datang di pertengahan Bincang Diskusi juga mengakui hal serupa. Presiden penyair Indonesia ini mengaku telah membaca karya-karya puisi Kunni sebelumnya sehingga ia mengakui Kunni semakin matang dalam karyanya. Sutardji menyebutkan, puisi atau karya sastra merupakan hasil kematangan jiwa dan penngalaman pribadi sang penulisnya. Begitu juga dengan Kunni yang menulis pengalaman masa kecilnya berupa kenangan-kenangan dalam karya puisi yang matang, menghasilkan kata yang memberi makna pada kata yang lain. 

‘’Puisi bukan hanya sekedar kata-kata tapi kata-kata yang bisa memberi makna pada kata yang lain, yang membuat kata-kata menjadi hidup, mengandung makna yang dalam. Kenangan yang ditulis Kunni adalah kenangan yang menghasilkan cahaya, karena kenangan itu sendiri adalah cahaya karena ditulis sedemikian rupa dengan kedalaman makna dan kata. Benar yang dibilang Maman, Kunni telah matang dalam karyanya kali ini. Ia menceritakan kebiasaan buruk seorang gadis yang duduk di depan pintu dan dilarang dalam adat tradisi  kampungnya lalu menulisnya dalam puisi yang molek. Ada judul puisi alift terakhir, juga ditulis dengan kedalaman makna, kenangan yang bercahaya. Tradisi kental dalam karya-karyanya kali ini,’’ kata Tardji panjang lebar. 

Wahyu Wibowo juga membahas Hikayat Tanah Jawara karya Rini Intama dengan dalam dan gamblang. Buku puisi berlatarbelakang sejarah ini menjadi perhatian Wahyu. Bahkan ia merasa bangga karena ada penyair perempuan seperti Rini yang mau menulis puisi tentang atau berlatarbelakang sejarah, meski sejarah, tradisi, mitos dan jenis-jenis lainnya sudah pernah ditulis para penyair pendahulu. Apa yang dilakukan rini, diakui sebagi uapaya menjaga agar tidak lupa pada sejarah. ‘’Perempuan yang menulis puisi dengan latarbelakang sejarah. Ini sempat membuat saya tercengang. Kok ada ya, perempuan lagi. Ini luar biasa. Jarang yang mau menulis seperti ini. Ini  upaya Rini agar sejarah tidak terlupakan dan semakin dicintai,’’ kata Wahyu. 

Seperti kepada Kunni, Tardji juga menyampaikan banyak al kepada Rini tentang keinginannya yang menulis puisi-puisi dengan latar belakang sejarah. ‘’Antara puisi dan sejarah harus saling menguatkan. Jangan sampai saling memperbudak dan memperdaya. Boleh-boleh saja menulis sejarah tapi jangan sampai puisi diperbudak sejarah,’’ katanya pula. ‘’Kenapa saya memilih sejarah sebagai latar belakang puisi saya, karena saya melihat sejarah masih diabaikan, belum diperhatikan dengan baik,’’ kata Rini.

Perbincangan yang diatur penyair Sofyan RH Zaid sebagai moderator itu semakin hangat ketika Sofyan menyebutkan perempuan dan keberadaannya saat ini. Apalagi ketika Sofyan mengungkapkan banyak penyair perempuan Indonesia yang dulunya aktif, lalu kemudian hilang dari peredaran alias tidak muncul lagi setelah menikah. Hal ini juga sempat memancing Maman dan Wahyu sedikit menyinggung hal tersebut. Bincang Diskusi diakhir dengan pembacaan puisi Kunni dan Rini oleh penyair yang hadir. 

Kunni juga mengungkapkan alasan mengapa ia mengusung tradisi dan budaya sebagai sumber isnpirasi dalam puisi-puisinya. ‘’Saya dan mbak Rini juga suka selfie, mungkin juga penyair sosialita seperti yang dibilang Sofyan, tapi kami tetap konsisten mengembalikan puisi sebagai karya teks dengan terus melahirkan buku. Kenapa saya memilih tradisi dan budaya sebagai sumber inspirasi dalam puisi, karena perempuan adalah sumber tradisi itu sendiri. Dan dalam Calung Penyukat ini, saya banyak menggunakan kosa kata Melayu karena salah satu fungsi sastrawan juga turut memelihara bahasa itu sendiri,’’ kata Kunni pula. 

Bincang buku tersebut disambut gembira oleh Dinas Perpustakaan DKI Dan segenap pimpinan PDSHB Jassin.  Hal ini disampaikan Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemprov DKI Jakarta Drs. Bambang Chidir, S.MSi saat menyampaikan elu-eluan di seluruh peserta Bincang Buku yang hadir. ’’Kami sangat sedang ada kegiatan Sastra seperti ini. Sering-seringlah buat di sini  dan tak ada pungutan biaya sesikitpun alias gratis,’’ kata Bambang yang diakhiri dengan penyerahan buku dari Kunni dan Rini usai sambutan tersebut.

***

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar