Tuesday, September 15, 2020

Membaca The Kite Runner, Khaled Hosseini

Peresensi: Dedy Tri Riyadi

Judul:  The Kite Runner

Penulis:  Khaled Hosseini

Penerbit:  Qanita

Tahun:  2006

Tebal:  616 hal

“Zendagi migzara (kehidupan terus berjalan)”, demikianlah filosofi orang Afghan, terutama suku Pashtun yang sangat memegang teguh “Nang” dan “Namoos”-nya (kehormatan dan kebanggaan). Maka dunia pun menjadi “kecil” di mata mereka, segala persoalan selalu ada jalan keluarnya, mulai dari runtuhnya monarki, pertempuran dengan Roussie (Rusia), pertikaian antar faksi, sampai dominasi Taliban. Akan tetapi tidak dengan kehidupan yang mengandung kesalahan. Karena biar bagaimana pun kita menyembunyikannya, dusta akan menjadi sebuah kenyataan yang menghancurkan.

Adalah jauh di luar pengetahuan saya, tanah Afghan yang memiliki tradisi yang sangat kuat, juga memiliki perbedaan agama dan kesukuan yang demikian menghancurkan masyarakatnya. Bahkan jauh sebelum perang berkecamuk di negeri dengan keindahan pohon-pohon poplar tersebut. Adalah suku Hazara yang dianggap “bukan manusia” oleh suku Pashtun. Bahkan di bagian-bagian akhir, diceritakan bagaimana mereka dibantai dalam sebuah “ethnic cleansing”. Akan tetapi, di balik kemelut negeri itu, ada suatu kisah yang sangat jelas benang merahnya. Seperti benang layang-layang yang dilumuri dengan bubuk gelas. Tajam menggores ingatan para pembacanya.

Kebencian bukan lah hal yang ditonjolkan semenjak awal. Teka-teki asal mula benci yang kemudian menjadi benih sebuah kejahatan pun digarap dengan baik. Hassan seorang hazara kecil menjadi sandungan bagi Amir untuk dipandang lebih baik di mata Baba (ayah)-nya. Juga menjadi ide bagi seorang Assef yang berdarah campuran Jerman – Afghan untuk menjadi seorang besar seperti Hittler. Namun yang mereka tidak pernah tahu bahwa Baba yang sangat dermawan dan keras hati memegang Nang dan Namoos menyimpan rahasia paling kelamnya di diri seorang Hassan kecil.

Novel ini sangat detail, menceritakan dengan terperinci siapa tokoh – tokoh yang terlibat di dalamnya. Namun tidak memaksa pembaca untuk mereka-reka, sebab penuturan tentang tokoh-tokoh itu tidak serta merta dalam sebuah narasi saja, tetapi juga lewat banyak perkataan. Sehingga dengan sangat mudah pembaca memahami bagaimana sebenarnya tokoh tersebut. Sebagaimana tokoh Baba yang samar profesinya, namun kita bias menduga-duga bahwa dia pasti orang yang mempunyai posisi lumayan tinggi di bidang politik. Tak jauh dari pesta, rokok, dan anggur, tetapi kadang dia sangat mengejutkan, seperti mendirikan rumah untuk yatim piatu. Bahkan sang penulis pun mengutip bahwa Baba ketika menjelang kematiannya mirip dengan Al Capone.

Tak hanya itu saja. Setiap tempat sepertinya mempunyai makna tersendiri dalam mewakilkan sebuah perasaan. Seperti kuburan di atas bukit dengan pohon delima yang selalu berbuah sepanjang tahun telah menjadi wakil dari dunia yang unik milik Amir dan Hassan sebagai “sultan-sultan Kabul”. Dunia yang lebih luas dan merdeka bagi dua anak berbeda suku itu. Di mana mereka saling berbagi cerita, keahlian, dan keberanian. Hassan sangat ahli dalam melempar dan menggunakan ketapel. Berulang kali dia mengajarkan keberanian kepada Amir, hal yang memang tidak pernah dimiliki olehnya.

Alih-alih tak bisa menaklukkan perhatian Babanya, Amir pun menggunakan keberanian yang sangat berbeda. Kelicikan dan dusta. Hal yang tidak pernah diajarkan siapa pun kepadanya. Pertentangannya dengan Assef yang tidak pernah bisa ia menangkan, membuatnya memilih jalur yang senantiasa berbeda dengan pikiran orang lain. Seperti ketika Babanya memintanya menjadi dokter, dia memilih menjadi penulis. Padahal dia tahu Baba dan sahabatnya Rahim Khan yang selalu mendukungnya, adalah orang-orang yang sangat berpotensial untuk sakit mengingat perubahan di Afghan yang demikian dahsyat.

Dusta adalah obat sementara. Sebab sekali orang menelannya, maka dia akan terus menerus mengkonsumsinya, sampai akhirnya keberanian untuk berkata jujur lah yang menghentikannya. Amir memilih jalan dusta, sepanjang hidupnya dia bergelut untuk membebaskan dirinya dari dusta itu. Dan ketika saatnya tiba, terlalu banyak harga yang harus dia bayar demi sebuah dusta berbentuk uang-uang kertas dan arloji berwarna biru. Ali saudara Hazara Babanya telah mati oleh ranjau darat, Hassan dan istrinya mati oleh Taliban yang mengira mereka mengambil rumah yang bukan haknya. Bahkan Sohrab, anak Hassan pun harus menjadi budak nafsu Assef dan teman-temannya. Semua karena dusta yang dilakukan.

Tapi ternyata ada banyak dusta di sekitar kita. Sampai hari ini pun masih ada. Seperti dituliskan jelas di dalam novel ini, di balik semua yang terjadi – dusta memegang peran yang sangat penting. Bagaimana demokrasi yang digembar-gemborkan Amerika tidak lah sama baiknya dengan Islam yang diusung oleh Taliban. Semuanya tergambarkan dengan baik. Sangat baik. Dalam porsi yang sama. Demikian pula ketika penulis mengupas tentang agama. Dituliskan bahwa Amir tidak pernah shalat selama 15 tahun. Tetapi ketika seorang diplomat Amerika menanyainya, “Anda Muslim? Apakah anda menjalankannya?” Tanpa ragu dia menjawab “Ya”. Ada banyak dusta di sekitar kita. Itu hal yang sangat jelas terbaca di novel ini.

Dan yang paling penting di dalam novel ini, meskipun tidak begitu jelas digambarkan sebagai happy ending, digambarkan dengan baik bagaimana selayaknya dusta itu ditebus. Amir pun harus menempuh perjalanan panjang, berbahaya, dan berakhir dengan luka-luka di sekujur tubuh hingga dia mengalami sendiri bagaimana rasanya seperti Ali yang pincang dan Hassan yang sumbing. Sebuah hukum karma yang dialami secara langsung sebagai penebusan dusta.

Dan dusta yang manis adalah pil yang sangat pahit bagi kejujuran hati. Tak mudah kita melakukannya, tak mudah kita menelannya, tak mudah kita menghapuskan efeknya. Sohrab tak pernah merasa terhibur tinggal di Amerika bersama Kaka dan Khala tirinya. Betapa pun Amir telah mencoba menerbangkan sebuah layang-layang sebagai cerita keceriaan yang selalu diterbangkan ke langit biru bersama dengan saudara tirinya, Hassan.

***

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar