Afrizal Malna *
Kompas, 25 Mei 2008
DI beberapa tenda peserta terjadi percakapan antara peserta Sastra Kepulauan yang umumnya mahasiswa sastra, berlangsung di kampung Nelayan Barru, Sulawesi Selatan (2-3 Mei lalu):
”Apa batasan puisi?”
”Bagaimana cara menulis puisi yang baik?”
Oke. Bisakah pertanyaan itu menjadi lebih baik lagi?
”Apa itu cinta? Apa itu waktu?”
”Bagaimanakah hubungan tubuh dengan bahasa?”
Mari kita periksa bersama. Mana puisimu? Oh, puisimu masih tidak bisa keluar dari permainan efek bahasa.
Kenapa bisa begitu? Apakah angin hanyalah efek dari tarik-menarik antara laut dan langit? Uh… uh… jangan tegang. Ini hanya puisi. Jangan mencari batasan. Bebaskan saja tubuhmu supaya kamu bisa memasuki narasi tubuhmu sendiri.
Para bissu membuka acara Sastra Kepulauan VI itu. Tubuh mereka gemulai dan gemerlap dalam kostum tradisi. Berlawanan sebaliknya dengan keris yang mereka tusukkan ke tubuh mereka. Tubuh harus menjadi senjata, menjadi kekuatan untuk dirinya sendiri. Atau: tubuh harus berkenalan dengan kekerasan, dengan rasa sakit yang ditularkan ke publik.
Ritual yang dilakukan para bissu itu menggetarkan. Apa yang dilakukan para bissu itu signifikan untuk kemudian melahirkan pertanyaan: Tubuh tradisikah itu? Atau tubuh kekuasaan? Bisakah tradisi dipertahankan ketika konteks yang menjadi dasarnya sudah tidak lagi hidup dalam tradisi itu. Kita bisa kagum, bisa malu, tetapi juga bisa salah baca ketika tradisi sebagai teks sudah tidak berada dalam konteksnya sendiri.
Sebagian besar tradisi merupakan mekanisme moral dan budaya pada masanya dengan infrastruktur yang belum menggunakan listrik dan mesin. Mekanisme moral dan budaya ini merupakan dasar penjelasan seluruh proses hubungan mereka, dan pada gilirannya memang tidak bisa diwariskan begitu saja.
Lalu apakah tradisi dibiarkan hilang begitu saja? Siapa yang berhak menyusun pertanyaan seperti ini? Tradisi tidak akan hilang. Dia sudah menjadi sejarah. Sebagian lagi terekam sebagai memori komunal dalam tubuh kita dan dalam rumah kita. Tubuh kita sudah tahu bagaimana caranya menyambut tamu dan menyiapkan air minum, bagaimana caranya bertetangga dan mengusir ayam yang masuk ke dalam rumah. Apakah kita masih memerlukan tradisi hanya untuk sunatan anak kita, yang mengeluarkan terlalu banyak biaya?
Bisakah tradisi melakukan mutasi ke dalam tubuh kita? Ahyar Anwar, salah seorang pembicara dalam forum itu, berpendapat: kita tidak bisa bersikap harfiah dalam menghadirkan tradisi. Badik tidak harus menjadi bagian dari kostum yang kita kenakan. Badik adalah pikiran kita sendiri. Badik adalah perasaan kita sendiri. Badik adalah keberanian sekaligus rasa takut yang kita jaga.
Pagi hari para nelayan sudah berangkat ke laut dengan perahu bermotor mereka. Menyusuri muara hingga lepas pantai. Anak-anak masih mandi. Para ibu sudah sibuk di dapur. Pagi dengan cahaya matahari yang melimpah menerangi laut dan gunung yang mengelilingi kampung nelayan itu.
Para nelayan kini harus pergi jauh ke laut untuk mendapatkan ikan. Sebelumnya di muara dekat kampung mereka, melimpah dengan ikan yang mereka sebut ”awu-awu”. Ikan yang enak dan sangat menopang kebutuhan ekonomi mereka. Sisa kesejahteraan kampung ini masih tampak lewat berapa banyak perahu bermotor yang mereka miliki, serta bangunan dengan tembok keramik warna-warni.
Tetapi setelah lingkungan hutan bakau di muara mereka rusak, karena bibir muara yang dibeton serta jembatan untuk kendaraan bermotor yang menciptakan polusi suara, ikan itu akhirnya pindah dari muara mereka. Perekonomian kampung nelayan itu juga seperti dibawa pergi oleh ikan-ikan itu. Tidak ada yang tahu ikan-ikan itu pindah ke mana. Sejak itu satu per satu perahu yang mereka miliki mulai mereka jual untuk modal dagang.
Tetapi juga ada penduduk yang berpendapat bahwa ikan-ikan itu pergi setelah Soeharto lengser dari kekuasaannya. Dan penduduk itu memasang potret Soeharto untuk kenangan tentang ikan-ikan itu yang tergantung di ruang tamunya.
Mereka menghadapi kenyataan, tetapi sekaligus juga mereka membuat mitos baru untuk memahami kenyataan itu. Masyarakat masih membutuhkan mitos untuk kenyataan yang hampir sepenuhnya merupakan peristiwa lingkungan ini. Halilintar Lathief, salah seorang pembicara dalam forum ini, menjelaskan fenomena yang banyak ditemukannya di Sulawesi Selatan, bahwa mitos kini kembali mengalami reproduksi dengan modus yang sama, sebagai laten setiap terjadinya krisis kepemimpinan.
Tata ruang kampung nelayan Barru ini begitu baik. Mereka memiliki ruang publik yang menjadi pusat dalam bentuk ruang terbuka di tengah-tengah kampung. Semua rumah, yang umumnya rumah panggung, bisa berhadap-hadapan dengan lingkaran ruang terbuka yang menjadi pusat kampung.
Tetapi sejak kampung ini dinyatakan sebagai ”kampung budaya”, ruang terbuka itu mulai tercabik dengan berdirinya bangunan yang biasa disebut sebagai balai desa. Balai desa itu terasa asing, dan hadir seperti ”mata pemerintah” yang terus mengawasi mereka siang dan malam.
Mungkin sebagian penduduk bangga dengan adanya balai desa itu di kampung mereka yang dibangun pemerintah. Tetapi mungkin juga tahu bahwa ruang sosial mereka telah berubah. Bahwa ruang itu juga mulai kehilangan fungsinya sejak TV menguasai rumah-rumah mereka.
Kampung budaya sebenarnya merupakan wujud lain dari kecemasan orang kota tentang hilangnya tradisi. Dan yang mereka lakukan justru memformalkan budaya pada kampung itu. Formalisme yang menjadi sebaliknya dari kenyataan informalisme budaya kampung. ”Budaya kampung” dan ”kampung budaya” merupakan dua hal yang berbeda. Kampung budaya yang diformalkan justru bisa sebaliknya menciptakan krisis pada budaya kampung yang informal itu.
Rendra melakukan orasi budaya. Para penyair membacakan puisinya. Seniman teater, tari, dan musik membuat pentas.
Apakah Sastra Kepulauan itu?
Sastra Kepulauan adalah sebuah proyek eksperimen yang selalu ragu-ragu untuk sastrawan membaca tubuhnya sendiri lewat lingkungan di sekitarnya. Forum yang memang dilaksanakan di kampung, bukan di kota.
Dan memang belum ada metode kerja yang mampu mengurai proyek ini, dan melibatkan banyak hal yang sifatnya nonsastra. Sastrawan biasa bekerja sendiri, dan terbiasa datang hanya karena undangan dengan waktu yang serba terbatas, serta bukan untuk bekerja lewat lingkungan yang menjadi tempat forum dilaksanakan.
Karena itu pula superman yang pindah dari celana dalam seorang anak ke celana dalam seorang ibu, lewat puisi Joko Pinurbo, juga bisa muncul dalam forum ini lewat pembicaraan Ahyar Anwar. Mungkin celana dalam sudah diperlakukan sebagai pulau-pulau kecil oleh para superman kota. Dan superman itu juga sudah datang di kampung nelayan Barru ini yang menyelinap lewat tubuh anak-anak.
Proyek eksperimen itu bisa menemukan titik kerjanya manakala sastra memang mulai dibaca sebagai ”tubuh yang berada dalam lingkungan”. Kemudian membawa sastra sebagai bagian dari seni pertunjukan dengan melibatkan berbagai disiplin seni di sekitarnya untuk terjadinya mutasi media.
Kerja antar-disiplin ini lebih untuk membuka diri akan adanya tamu yang lain dalam tubuh kita.
”Tetapi apakah batasan puisi itu?”
Nelayan di Barru membuat metafornya sendiri untuk hilangnya ikan awu-awu dari muara mereka. Dan ini bukanlah strategi budaya dari otonomi daerah di tingkat provinsi.
*) Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sastrawan yang dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi, cerpen, novel, esai yang dipublikasikan di berbagai media massa. Afrizal juga menulis teks teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara.
No comments:
Post a Comment