Wednesday, August 5, 2020

Mari Membaca Isi (Ratusan) Novel Sastra Indonesia!

Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co.id

Oki Toshio, seorang novelis diburu karena mengangkat tokoh Otoko, perempuan masa lalunya yang kemudian menjadi pelukis perempuan terkenal. Kisah Okio ini kemudian ditarik pada kegetiran masa lalu Oki. Oki kemudian pergi ke desa itu, mendengarkan lonceng di kuil, mengingat Otoko.

Ada lagi kisah lain, tentang seorang calon rahib di sebuah kuil mengalami pengalaman sekuler "termasuk bersetubuh dengan pelacur" lalu akhirnya mendulang kegelisahan. Di puncak kegelisahan itu. Si tokoh, kemudian membakar kuilnya dengan wajah yang teramat dingin.

Kedua novel ini bukan novel Indonesia melainkan novel dari negeri Jepang. Kedua karya ini adalah novel dari Beauty and Sadness Yasunari Kawabata dan The Temple of the Golden Pavilion Yukio Mishima.

Selain karya dari Jepang ini, banyak novel dari Cina (Gao Xingjian), atau India (Rabindranath Tagore) yang melekat kuat dalam benak.

Kaya Tema

Paparan ini sengaja dikedepankan untuk melihat bagian negara Asia lainnya yang memiliki kekayaan dalam tema pada novelnya. Sastra memiliki banyak alat untuk mendedah persoalan, untuk bertahan lengket di dalam pikiran. Baik lewat tema kultural, spiritual, sosial, filosofi, politik, bahkan gender! Tapi, di luar tematik, jangan lupa bahwa novel punya "darah" berupa bahasa, metafora, gaya yang khas, yang juga menarik buat pembicaraan.

Ada novel yang memperlihatkan kekhasan bahwa narator tak punya opini dan detail dibiarkan dalam peristiwa "baik peristiwa tokoh atau peristiwa alam" kisah aktivis muda bersama ibunya dalam "Bunda" Maxim Gorki, seorang tahanan politik yang pulang namun tak diterima keluarga bahkan kekasihnya di novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer, atau metafora bahasa dalam paragraf yang sangat panjang pada One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez.

Di antara pikatan novel-novel klasik baik dari Barat, Eropa, Asia, bahkan karya sastra (novel) Indonesia masa Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1966 "meminjam periodisasi HB Yassin" karya sastra pada masa belakangan (setidaknya 1990-an), juga kaya dalam membongkar persoalan relung kehidupan manusia, ataupun di relung kehidupan sosial.

Cobalah sesekali melawan arus dan giringan kritikus atau esais (bahkan jangan percaya pada esai ini sekali pun), dengan membaca karya sastra yang "sedang tak diwajibkan", atau "yang sedang tidak trend".

Toh, kritikus dan esais bukan dosen yang punya kurikulum wajib membaca buat pencinta sastra! Siapa tahu ada yang "lengket" dalam ingatan Anda.

Lihatlah betapa variatifnya novel-novel yang saat ini masih "in" di Indonesia dalam mengangkat persoalan manusia dan masyarakat sebagai tema. Ada kisah tentang seorang demonstran di masa reformasi yang bertemu ayahnya mantan tentara di masa PKI yang menjadi gembel dalam "Tapol" Ngarto Februana. Atau, cerita seorang jurnalis internet di tengah pergolakan pra-Mei 1998 pada Anonim, My Hero karya Sunardian, seorang pemuda Hurlang yang berjuang dengan ibunya bernama Molek atas polusi air di Danau Toba pada Jamangilak Tak Pernah Menangis Martin Aleida.

Arleta melakukan pencarian spiritual lewat filosofi waktu pada novel Memburu Kalacakra Ani Sekarningsih, tokoh wayang Boma Narakasura yang muncul di masa modern pada novel Yanusa Nugroho atau Margio yang sadis di tengah keluarga kisah keluarganya yang juga tragis pada Lelaki Harimau Eka Kurniawan.

Persoalan yang terbeber di atas ini masih mengarah pada kisah yang lebih mendetail pada persoalan karakter, penokohan atau konflik yang terbangun, dengan latar sosio-kultural yang berbeda satu sama lain.

Banyak karya (lagi) yang masih bisa digali untuk hal lainnya, tentu lebih luas daripada sekadar memerangkap karya sastra dengan nilai-nilai tertentu yang telah Anda pasang sebelumnya, sebagai pengamat, sebagai kritikus, bahkan sebagai jurnalis atau penerbit sekalipun.

Cobalah tengok bagaimana uniknya alur dalam karya Dadaisme (Dewi Sartika), Supernova (Dewi Lestari), Tabula Rasa (Ratih Kumala), Tanah Api (S. Jai), Payudara (Chavchay Syaefullah). Alur yang tak linier, berputar-putar dan bolak-balik!

"Wisata" Karya

Pada kedua unsur intrinsik "alur dan kisah" tadi, memang bukan membuat karya tersebut jadi adiluhung, garda depan. Juga bukan karena orang lain harus membaca semua karya yang bertumpuk di toko buku.

Hanya, betapa miskinnya sebuah pembacaan tanpa pernah melakukan "wisata" karya sebanyak-banyaknya. Apalagi sebuah penilaian untuk menentukan karya sastra (novel) yang terdepan.

Ada lagi hal yang dicermati, yaitu bagaimana cara pembaca untuk menjinakkan karya bermetafora, yang puitis, pada novel Lorong ke Pusar Rumah oleh Ari MP.

Tamba atau Menggarami Burung Terbang oleh Sitok Srengenge. Ini juga bukan rekomendasi untuk sebuah kemenangan atas karya sastra yang satu atas karya sastra yang lain.

Bila sempat pusing dengan banyaknya karya yang ada, buku yang tersedia, tetap saja itu bukan jadi alasan untuk tak membaca banyak lagi karya yang bermunculan saat ini. Di tengah karya yang bagai "air bah", ujar Martin Aleida, kita membutuhkan kritikus. Walau sebenarnya tak hanya kritikus, tapi juga apresiator dari sebuah pembacaan, walau tanpa beban teori (sastra) yang berlebihan.

Seperti ketika Wang Meng menyebutkan ada enam ribu lebih sastrawan di Cina, di Indoensia tampaknya jumlah dua ribu akan terus bertambah, akan banyak "karya sastra yang terlewatkan oleh sejarah". Bukan karena karyanya yang tak bermutu, tak kuat dengan bahasa, karakter, penokohan atau konflik, tapi karena terlalu sedikitnya kritikus, pengamat, atau bahkan "pembaca awam" sekalipun.

Barangkali kesusasteraaan Indonesia, untuk kali ini novel, memang tak hanya mengharapkan kritikus yang arif, yang membeli puluhan bahkan ratusan buku yang ada untuk dia koleksi. Barangkali kita tak hanya memerlukan pembaca yang arif, ulet, tekun melihat karya sastra yang serupa gulungan bola salju ini, tapi juga pembaca yang berani bicara, berkomentar, berapresiasi dengan perbedaan spesialisasi ilmu yang dimilikinya.

Maka, yang kita temukan "ternyata" bukan cuma persoalan seks bahkan ideologi. Kita akan temukan kenikmatan wacana, berbagai tema, bisa berupa kegusaran, ketidaksetujuan atau pujian. Adalah semborono memang, bila hanya baik atau buruk, sedangkan nilai dalam pengertian pengamat sastra Rene Wellek dan Austin Warren (1989), merupakan pengalaman estetik dan juga bisa dianggap alat ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Seorang penulis sastra pernah bertanya kepada seorang penyair Sutardji Calzoum Bacri, "Benarkah sastra begitu sempit, serupa jam kuno yang bandulnya hanya mengarah ke kanan dan ke kiri?" Si penyair mengangguk dan merasa pesimistis terhadap kondisi yang ada saat ini. 

Kalau demikian, betapa miskinnya nasib penulis generasi muda yang terjepit pada wacana sempit. Tentu saja, bila pembaca atau pengamat rela mengorbankan waktunya untuk membaca puluhan bahkan ratusan karya sastra, tanpa pandang bulu. Dari romantisme, balada, kultural, bigorafi imajiner, tuntutan sosial, permainan bahasa, cyberspace, gender, bahkan ideologi.

Selamat datang di rimba belantara sastra Indonesia!
***

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar