Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co.id
Oki Toshio, seorang novelis diburu karena mengangkat tokoh Otoko, perempuan masa lalunya yang kemudian menjadi pelukis perempuan terkenal. Kisah Okio ini kemudian ditarik pada kegetiran masa lalu Oki. Oki kemudian pergi ke desa itu, mendengarkan lonceng di kuil, mengingat Otoko.
Ada lagi kisah lain, tentang seorang calon rahib di sebuah kuil mengalami pengalaman sekuler "termasuk bersetubuh dengan pelacur" lalu akhirnya mendulang kegelisahan. Di puncak kegelisahan itu. Si tokoh, kemudian membakar kuilnya dengan wajah yang teramat dingin.
Kedua novel ini bukan novel Indonesia melainkan novel dari negeri Jepang. Kedua karya ini adalah novel dari Beauty and Sadness Yasunari Kawabata dan The Temple of the Golden Pavilion Yukio Mishima.
Selain karya dari Jepang ini, banyak novel dari Cina (Gao Xingjian), atau India (Rabindranath Tagore) yang melekat kuat dalam benak.
Kaya Tema
Paparan ini sengaja dikedepankan untuk melihat bagian negara Asia lainnya yang memiliki kekayaan dalam tema pada novelnya. Sastra memiliki banyak alat untuk mendedah persoalan, untuk bertahan lengket di dalam pikiran. Baik lewat tema kultural, spiritual, sosial, filosofi, politik, bahkan gender! Tapi, di luar tematik, jangan lupa bahwa novel punya "darah" berupa bahasa, metafora, gaya yang khas, yang juga menarik buat pembicaraan.
Ada novel yang memperlihatkan kekhasan bahwa narator tak punya opini dan detail dibiarkan dalam peristiwa "baik peristiwa tokoh atau peristiwa alam" kisah aktivis muda bersama ibunya dalam "Bunda" Maxim Gorki, seorang tahanan politik yang pulang namun tak diterima keluarga bahkan kekasihnya di novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer, atau metafora bahasa dalam paragraf yang sangat panjang pada One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez.
Di antara pikatan novel-novel klasik baik dari Barat, Eropa, Asia, bahkan karya sastra (novel) Indonesia masa Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1966 "meminjam periodisasi HB Yassin" karya sastra pada masa belakangan (setidaknya 1990-an), juga kaya dalam membongkar persoalan relung kehidupan manusia, ataupun di relung kehidupan sosial.
Cobalah sesekali melawan arus dan giringan kritikus atau esais (bahkan jangan percaya pada esai ini sekali pun), dengan membaca karya sastra yang "sedang tak diwajibkan", atau "yang sedang tidak trend".
Toh, kritikus dan esais bukan dosen yang punya kurikulum wajib membaca buat pencinta sastra! Siapa tahu ada yang "lengket" dalam ingatan Anda.
Lihatlah betapa variatifnya novel-novel yang saat ini masih "in" di Indonesia dalam mengangkat persoalan manusia dan masyarakat sebagai tema. Ada kisah tentang seorang demonstran di masa reformasi yang bertemu ayahnya mantan tentara di masa PKI yang menjadi gembel dalam "Tapol" Ngarto Februana. Atau, cerita seorang jurnalis internet di tengah pergolakan pra-Mei 1998 pada Anonim, My Hero karya Sunardian, seorang pemuda Hurlang yang berjuang dengan ibunya bernama Molek atas polusi air di Danau Toba pada Jamangilak Tak Pernah Menangis Martin Aleida.
Arleta melakukan pencarian spiritual lewat filosofi waktu pada novel Memburu Kalacakra Ani Sekarningsih, tokoh wayang Boma Narakasura yang muncul di masa modern pada novel Yanusa Nugroho atau Margio yang sadis di tengah keluarga kisah keluarganya yang juga tragis pada Lelaki Harimau Eka Kurniawan.
Persoalan yang terbeber di atas ini masih mengarah pada kisah yang lebih mendetail pada persoalan karakter, penokohan atau konflik yang terbangun, dengan latar sosio-kultural yang berbeda satu sama lain.
Banyak karya (lagi) yang masih bisa digali untuk hal lainnya, tentu lebih luas daripada sekadar memerangkap karya sastra dengan nilai-nilai tertentu yang telah Anda pasang sebelumnya, sebagai pengamat, sebagai kritikus, bahkan sebagai jurnalis atau penerbit sekalipun.
Cobalah tengok bagaimana uniknya alur dalam karya Dadaisme (Dewi Sartika), Supernova (Dewi Lestari), Tabula Rasa (Ratih Kumala), Tanah Api (S. Jai), Payudara (Chavchay Syaefullah). Alur yang tak linier, berputar-putar dan bolak-balik!
"Wisata" Karya
Pada kedua unsur intrinsik "alur dan kisah" tadi, memang bukan membuat karya tersebut jadi adiluhung, garda depan. Juga bukan karena orang lain harus membaca semua karya yang bertumpuk di toko buku.
Hanya, betapa miskinnya sebuah pembacaan tanpa pernah melakukan "wisata" karya sebanyak-banyaknya. Apalagi sebuah penilaian untuk menentukan karya sastra (novel) yang terdepan.
Ada lagi hal yang dicermati, yaitu bagaimana cara pembaca untuk menjinakkan karya bermetafora, yang puitis, pada novel Lorong ke Pusar Rumah oleh Ari MP.
Tamba atau Menggarami Burung Terbang oleh Sitok Srengenge. Ini juga bukan rekomendasi untuk sebuah kemenangan atas karya sastra yang satu atas karya sastra yang lain.
Bila sempat pusing dengan banyaknya karya yang ada, buku yang tersedia, tetap saja itu bukan jadi alasan untuk tak membaca banyak lagi karya yang bermunculan saat ini. Di tengah karya yang bagai "air bah", ujar Martin Aleida, kita membutuhkan kritikus. Walau sebenarnya tak hanya kritikus, tapi juga apresiator dari sebuah pembacaan, walau tanpa beban teori (sastra) yang berlebihan.
Seperti ketika Wang Meng menyebutkan ada enam ribu lebih sastrawan di Cina, di Indoensia tampaknya jumlah dua ribu akan terus bertambah, akan banyak "karya sastra yang terlewatkan oleh sejarah". Bukan karena karyanya yang tak bermutu, tak kuat dengan bahasa, karakter, penokohan atau konflik, tapi karena terlalu sedikitnya kritikus, pengamat, atau bahkan "pembaca awam" sekalipun.
Barangkali kesusasteraaan Indonesia, untuk kali ini novel, memang tak hanya mengharapkan kritikus yang arif, yang membeli puluhan bahkan ratusan buku yang ada untuk dia koleksi. Barangkali kita tak hanya memerlukan pembaca yang arif, ulet, tekun melihat karya sastra yang serupa gulungan bola salju ini, tapi juga pembaca yang berani bicara, berkomentar, berapresiasi dengan perbedaan spesialisasi ilmu yang dimilikinya.
Maka, yang kita temukan "ternyata" bukan cuma persoalan seks bahkan ideologi. Kita akan temukan kenikmatan wacana, berbagai tema, bisa berupa kegusaran, ketidaksetujuan atau pujian. Adalah semborono memang, bila hanya baik atau buruk, sedangkan nilai dalam pengertian pengamat sastra Rene Wellek dan Austin Warren (1989), merupakan pengalaman estetik dan juga bisa dianggap alat ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Seorang penulis sastra pernah bertanya kepada seorang penyair Sutardji Calzoum Bacri, "Benarkah sastra begitu sempit, serupa jam kuno yang bandulnya hanya mengarah ke kanan dan ke kiri?" Si penyair mengangguk dan merasa pesimistis terhadap kondisi yang ada saat ini.
Kalau demikian, betapa miskinnya nasib penulis generasi muda yang terjepit pada wacana sempit. Tentu saja, bila pembaca atau pengamat rela mengorbankan waktunya untuk membaca puluhan bahkan ratusan karya sastra, tanpa pandang bulu. Dari romantisme, balada, kultural, bigorafi imajiner, tuntutan sosial, permainan bahasa, cyberspace, gender, bahkan ideologi.
Selamat datang di rimba belantara sastra Indonesia!
***
No comments:
Post a Comment