tag:blogger.com,1999:blog-81150400614699809912024-03-05T05:12:42.048-08:00Sastra Luar PulauWahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.comBlogger418125tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-69102552008220841542021-08-28T23:05:00.002-07:002021-08-28T23:05:12.473-07:00Melindungi Nurani dari Tindakan KoruptifJudul Buku: Bunga Rampai PMK: Bergerak dengan Nurani<br />Penulis: Laskar PMK 1-3<br />Penerbit: Forum Sastra Surakarta<br />Cetakan: I, 2017<br />Peresensi: Ahmad Muhli Junaidi *<br />radarmadura.jawapos.com, 3/9/2017<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Boleh jadi, fenomena korupsi yang semakin merebak dengan bukti semakin
banyaknya pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah yang ditangkap
OTT oleh KPK, disebabkan betapa kotornya hati nurani pejabat publik itu. Nurani
yang kotor akan menyebabkan tindakan mereka jauh dari nilai-nilai kebaikan dan
keadilan. Nurani yang kotor, menyebabkan hati menjadi culas dan serakah. Gaji
berapa pun besarnya yang diterima para pejabat itu, tidak akan mencukupi di
hadapan nurani yang kotor.<br /> <br />Kini saatnya, penyair Indonesia dari berbagai daerah merespons secara nyata
dengan bergabung dalam gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK). Gerakan ini mau tak
mau harus dilakukan di tengah kian sistemik dan canggihnya laku korupsi.
Gerakan yang mendesak digulirkan sebagai sarana mempresentasikan seruan moral
kepada masyarakat, agar secara filosofis dan praktis turut mewaspadai munculnya
nurani kotor yang bermental korupsi sejak dini, serta mencegah perilaku korup
yang lebih lanjut.<br /> <br />Sebagaimana dicatat Sosiawan Leak dalam halaman cover belakang Bunga Rampai
PMK; Bergerak dengan Nurani ini. Gerakan Puisi Menolak Korupsi mengambil posisi
sebagai gerakan kultural. Melengkapi gerakan lain yang dilakukan sejumlah unsur
dari berbagai lapisan masyarakat.<br /> <br />Gerakan ini pada hakikatnya menyatu dan padu dengan semua kekuatan yang
beriktikad mengawal proses ”perjalanan” pejabat negara dalam membangun bangsa
ini yang berkeadilan dan bermartabat, terhindar dari rasuah. Gerakan ini juga
menjadi sarana bagi penyair menyatakan sikap tegas, mendedah untuk menolak
perilaku hidup korup. Di samping itu, PMK didirikan sebagai usaha minimal para
sastrawan melalui sajak-sajaknya guna selalu membersihkan nurani dari tindakan
korupsi.<br /> <br />Konten buku ini adalah catatan-catatan sastrawan nasional Indonesia berbentuk
esai. Semuanya berisi informasi mendalam perihal PMK dalam kaitannya dengan
road show penyair untuk memperjuangkan sikap antikoruptif melalui hati nurani
yang bersih, terhindar dari tindakan culas dan serakah.<br /> <br />Terhimpun 79 esai dibagi pada lima tema. Yaitu, pertama, Episode Gerakan
yang menghimpun 37 esai. Tema kedua Episode KONNAS terdiri dari 12 esai. Tema
ketiga Episode Road Show yang berisi 24 laporan laskar PMK di berbagai kota
seluruh Indonesia. Dan tema Episode Langgam berisi 1 esai khusus dari koordinator
PMK Sosiawan Leak. Kemudian ditutup oleh Episode Khazanah yang menampilkan
laporan-laporan kegiatan PMK pada road show di atas. Keseluruhan materi dalam
buku ini disusun secara sistematis dan jelas.<br /> <br />Esai yang terhimpun bukan esai picisan. Sejumlah nama besar ada dalam buku
ini. Misalnya Bambang Widiatmoko menulis esai berjudul Ketika Korupsi Menjadi
Puisi (hlm. 31). Beni Setia menulis Melawan Korupsi Sampai Akhirat (hlm. 37).
Ahmadun Yosi Herfanda menulis Arti Puisi di Tengah Zaman Korup (hlm. 217).
Lathifah Edib menulis Puisi, Korupsi, dan Makna Perjuangan (hlm. 235), dan
sebagainya. Berbagai penulis andal terhimpun dengan apik dan menarik.<br /> <br />Di bagian Episode Langgam, dengan esai berjudul Puisi Menolak Korupsi;
Bergerak dengan Nurani yang ditulis koordinator PMK, benar-benar membetot
perhatian peresensi. Dalam esai inilah gerakan PMK dijabarkan dengan luar biasa
hebat dari; dasar pemikiran didirikannya PMK, keuangan PMK, gerak PMK,
kemandirian ideologi dan ekonomi PMK, sampai diadakannya Konferensi Nasional
(Konnas) PMK pertama pada 2016 di Semarang (hlm. 381-391).<br /> <br />Sosiawan Leak mengungkap dengan baik alasan PMK berdiri. Adalah ide dari
Heru Mugiarso (penyair ’priayi’ Semarang) itu yang mula-mula disampaikan kepada
Bung Leak, demikian ia biasa dipanggil, untuk menjadi koordinator penyair
nasional demi bergerak melawan korupsi. Secara spontan ide itu ditanggapi
dengan kalimat tanya, ”Dari mana duitnya?”<br /> <br />Pertanyaan itu ia kemukakan ke Heru. Sebab selama ini ada kecenderungan
bahwa jika tema koruptif menjadi inti dari puitik jalur ini akan dituduh
pendangkalan atas puisi-puisi. Sebab di dalamnya akan timbul kata-kata banal,
profan, pamfletis, dan propagandis. Bung Leak memprediksi cara berpuisi seperti
itu tidak akan digemari oleh ”pasar” yang selama ini lebih percaya kepada
teknik berpuisi lewat simbolisme mendayu, buaian metafora, serta pengucapan
makna puitik dari wilayah buram dan kegelapan (hlm. 382).<br /> <br />Kekhawatiran itu menjadi sirna setelah ditawarkan kepada para penyair
nasional, bahkan internasional. Akhirnya, dukungan terus bergelora dari penyair
semisal Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmadun Yosi Herfanda, Aming
Aminuddin, Arsyad Indradi, Badaruddin Amin, Darman Moenir, Dimas Arika
Mihardja, Gola Gong, Sutardji Chalzum Bahri, Yanusa Nugroho, dan lain-lain.
Dengan begitu banyaknya dukungan, baik dana maupun karya dari penyair-penyair
di atas, PMK mempunyai kedudukan strategis dan mulai diperhitungkan berbagai
kalangan.<br /> <br />Secara keseluruhan buku yang lumayan tebal ini sangat baik untuk dimiliki
sebagai awalan mengetahui apa dan mengapa PMK itu. Bagi pembaca yang mempunyai
keseriusan mendukung pemberantasan korupsi, peresensi sarankan agar membaca
tuntas buku ini. Selanjutnya, pembaca bolehlah bergabung dengan Bung Leak untuk
bersama-sama berkontribusi pada dunia sastra dengan cara mengirimkan
karya-karya terbaiknya dalam PMK-PMK.<br /> <br />Mari kita dukung KPK dengan cara bergabung kepada PMK ini. Yaitu cara
penyair Indonesia yang bergerak dengan nurani yang bersih. Insya Allah, jika
kita sama-sama berkomitmen dalam menolak korupsi, pada suatu saat negara ini
akan terbebas dari perilaku kotor dan penghancur sendi-sendi negara tersebut.
Mari ”satu hati tolak korupsi!”<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Laskar PMK 6 yang berprofesi sebagai guru sejarah di SMA 3 Annuqayah dan
SMA Assalam, Cenlecen, Pakong, Pamekasan. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2019/01/melindungi-nurani-dari-tindakan-koruptif/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2019/01/melindungi-nurani-dari-tindakan-koruptif/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-20625022969665919982021-08-28T22:59:00.001-07:002021-08-28T22:59:09.158-07:00Aryadi Mellas, ”Nabi Sastra”-nya AnnuqayahRaedu Basha *<br />radarmadura.jawapos.com, 1/4/2019<br /> <br />Kalau Anda bertanya, siapakah salah seorang gembong sastra Indonesia di
Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, sehingga pesantren tersebut
dikenal sebagai ”lumbung santri penyair”? Jawabannya adalah, tidak lepas dari
seorang santri lelaki kelahiran Besuki, Jawa Timur, bernama Aryadi Mellas.<br /> <br />”Aryadi Mellas seumpama nabi bagi sastra dan kesenian di Pondok Pesantren
Annuqayah sendiri,” jawab M. Faizi, seorang pengasuh muda Pondok Pesantren
Annuqayah yang juga dikenal sebagai penyair, saat saya berkunjung ke rumahnya,
2 September 2015.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Aryadi Mellas adalah santri senior yang sampai saat ini masih menetap
selama lebih 20 tahun sebagai santri di Pondok Pesantren Annuqayah dan belum
jua berstatus alumnus. Ia pun belum juga berkeluarga. Saya menjumpai Aryadi
pada malam hari tak lama setelah M. Faizi memberitahukan keberadaan Aryadi saat
ini. Akhirnya kami berjumpa di sebuah ruang kesehatan pesantren. Sehari-hari
Aryadi menjadi abdi dalem pengasuh pesantren sejak puluhan tahun lalu.<br /> <br />Ketika saya bertemu Aryadi dia terlihat kurang sehat, batuk-batuk, masa tua
sudah menyapa, sakit-sakitan. Tidak seperti lima belas tahun lalu ketika kali
pertama saya mengenalnya kendati tak sungguh kenal baik, sosok yang dingin.<br /> <br />Rambutnya kini mulai beruban dan dibiarkan memanjang dengan ditali belakang
dan ditutup kopiah putih. Pria berewok itu terus melajang, entah, atau mungkin
sudah tak punya lagi hasrat untuk menikah sebagaimana galibnya santri
laki-laki. Dia masih nyantri di pesantren seumpama santri sejati. Kulit
wajahnya yang mulai keriput dimakan usia, terlihat hitam bekas sujud di
dahinya, dengan suara serak-serak khasnya, ia bercerita tentang masa lalunya,
pada awal mula ia belajar mengarang sastra secara otodidak.<br /> <br />Diakuinya, menulis sejudul puisi biasa dilakukan selama berbulan-bulan.
Santri yang mungkin sudah lewat usia 60 tahun ini mulanya sering memenangkan
lomba tingkat sekolah daerah, sampai saat ini dia masih menulis dalam
diari-diarinya yang dibiarkan menjadi rahasianya sendiri.<br /> <br />Kenapa ia demikian merahasiakan diarinya? Ada sejarahnya, katanya. Dia
mengaku, sejak buku catatan hariannya yang berisi puisi-puisi yang ditulisnya
selama bertahun-tahun raib ketika ia tinggal di Nurul Jadid, Paiton,
Probolinggo, selulus SMP, akibatnya dia minggat dari Nurul Jadid Paiton karena
dia merasa buku tersebut adalah separo hidupnya. Dia ingin move on dan nyantri
ke Guluk-Guluk pada 1986. Hanya saja toh walaupun karyanya tetap menjadi
rahasia, tetapi karya anak-anak santri generasi-generasinya di pesantren dibaca
oleh masyarakat.<br /> <br />Saya mengenal Aryadi sudah sejak lama, sejak saya sendiri nyantri di
pesantren tempat Aryadi Mellas juga nyantri. Dia santri generasi tua di
Annuqayah, tetapi walaupun saya bermukim di pesantren tersebut dari 2001 sampai
2007, saya merasa segan untuk berkomunikasi lebih intim, tak berlebihan jika
sebagian orang mengatakannya sebagai ”santri misterius”.<br /> <br />Hanya setiap kali acara haflatul imtihan yang digelar setiap tahun di
Pondok Pesantren Annuqayah, saya sering menonton pertunjukan baca puisinya di
hadapan para kiai (dan mungkin hanya Aryadi yang diberi tempat khusus
mendeklamasikan sajak-sajaknya di hadapan para kiai) sejak 1988 sampai 2007.
Setelah itu ia sepertinya mengundurkan diri untuk tampil dan tidak ada gantinya
sampai sekarang, meskipun santri penyair di Pesantren Annuqayah tidak dapat
dihitung dengan jari.<br /> <br />Biasanya, setiap kali Aryadi selesai beraksi di panggung selalu mengundang
diskusi, baik di kalangan santri dan di kalangan dewan pengasuh. Teriakan
histeris melengking, terlebih dengan puisinya yang masyhur di kalangan
pesantren berjudul ”Maut”. Pertunjukannya senantiasa menimbulkan gejolak dan
efek bagi proses berkarya sastra bagi santri itu sendiri. Pertunjukannya yang
bernuansa kritis terhadap kondisi pondok pesantren khususnya di Annuqayah
membuatnya mendapatkan tempat untuk bicara tentang—kata Rendra—”derita
lingkungan di pondok pesantren yang dimukiminya, Annuqayah.<br /> <br />Misalnya ketika banyak pengurus pesantren meninggalkan tanggung jawab, dia
mengadakan panggung drama yang mengingatkan tentang nilai-nilai pengabdian.
Juga ketika ada salah seorang kiai muda mencalonkan diri sebagai bupati, dia
dengan lantang berpuisi di hadapan kiai menyampaikan kegelisahannya dengan
puitis diiringi pesauan biola.<br /> <br />Bagi saya, ketika mengenang seorang Aryadi Mellas, ia seperti puisi itu
sendiri dan sebaliknya, puisi adalah Aryadi. Mungkin tidak berlebihan bila saya
menyebut pertemuan dengan Aryadi seperti bersua dengan Umbu Landu Paranggi.
Kami mengobrol sampai larut malam tanpa minuman, tanpa makanan ringan
sekalipun.<br /> <br />Aryadi mengaku dirinya yang membawa ”virus” sastra di Pesantren Annuqayah
sejak dia mendapat restu untuk mendirikan sebuah komunitas seni di pesantren
yang konon sangat salaf (tradisional), bernama Sanggar Shafa pada 1988, tepat
pada pergantian abad kedua karena Pesantren Annuqayah didirikan Kiai Syarqawi
pada 1887 M.<br /> <br />Pada mulanya Aryadi cemas, khawatir, dan waswas karena seni dan sastra
adalah hal baru di pesantren. Tetapi ketika Sanggar Shafa berdiri, sekitar
200-an santri ikut bergabung. Dari itulah pertemuan rutin mingguan belajar
sastra mulai puisi, cerpen, naskah lakon, dan novel berlangsung. Tak lama
kemudian anggotanya mulai menggalakkan sastra di sekolah-sekolah dan
pesantren-pesantren di Sumenep, mengadakan pementasan, pelatihan, menerbitkan
jurnal sastra dan lain semacamnya. Sehingga, sampai hari ini ”virus” kesenian
terutama susastra di Sumenep menjadi bom waktu. Setiap terbitan baik majalah,
jurnal, portal, surat kabar yang menayangkan halaman sastra maupun dalam
perlombaan sastra, juga di panggung-panggung deklamasi, rasa-rasanya sudah tak
asing dengan nama-nama sastrawan berlatar belakang pondok pesantren atau
berkultur santri dan khususnya berasal dari Madura.<br /> <br />Annuqayah Guluk-Guluk sendiri menjadi barometer sastra pesantren di
Indonesia. Alangkah sangat naif rasanya bila melepaskan nama seorang lelaki
yang membiarkan hidupnya sebagai santri tua, dialah Aryadi Mellas, sang ”nabi
sastra” Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Semoga dia diberikan kesehatan
dan terus menjadi ”virus” bagi kegelisahan santri untuk menulis khususnya
sastra.<br /> <br />”Saya terkadang merasa berdosa apabila melihat para santri yang berkegiatan
di dunia kesenian berkelakuan nakal, suka bolos, dan sering melanggar peraturan
kiai. Semoga saya diampuni,” ujar Aryadi sambil menekan dada.<br /> <br />*) Sastrawan, bidang sastra Lesbumi NU Jawa Timur.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Baca juga di Jawa Pos Radar Madura edisi cetak Minggu, 31 Maret 2019 </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/aryadi-mellas-nabi-sastra-nya-annuqayah/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/aryadi-mellas-nabi-sastra-nya-annuqayah/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-90111655278839199902021-08-28T02:19:00.004-07:002021-08-28T02:19:26.979-07:00KESUNYIAN SANG PUJANGGA<b>Kepada almarhum Suryanto
Sastroatmodjo</b><br /> <br />Nurel Javissyarqi<br /><a href="http://pustakapujangga.com/?p=662"><span lang="IN">http://pustakapujangga.com/?p=662</span></a><br /> <br />Pujangga itu<br />mendiami lembah pekabutan
kemanusiaan<br />gema suaranya memantul<br />ke dinding-dinding karang
peradaban.<br /> <br />Ia tak kehabisan
kehendak, tapi di sanalah ‘telempap’-nya<br />kala kita tak sanggup
menjangkau kelembutan sukma.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ia telanjang bagaikan
batu-batu diguyur deras hujan<br />juga sengatan matahari
kesadaran.<br /> <br />Yang melihat lelangkahnya
di tengah kota sekadar wujud,<br />kita tiada daya bercakap,
manakala anggukan membuyar.<br /> <br />Waktu selalu merawat
dirinya beserta alam kelembutan<br />isyarat angin serupa
ibunda mengamatinya penuh takjub<br />kala ia melantunkan
kata-kata menyayat-nyayat bathin<br />bebatuan kerikil
berserak, deru hiruk-pikuk keramaian.<br /> <br />Ia mendamba mendayung
alam ke muara sentausa<br />sedekahnya bersandar pada
gundukan batu besar,<br />kepala berbaring itu,
mengisi nyanyian renungan<br />saat berdiri, bencah
moyang beri restu kerelaan.<br /> <br />Tampak kepanditaan hadir
tidak butuhkan apa-apa<br />hanya yang tercurah
sedari langit dirinya tengadah<br />kuasa-Nya dijangkau kalbu
terdekat, kasih insani.<br /> <br />Kerinduan merengkuh
sesyairan lelaku nasibnya<br />kangen bermelodi kesegaran
air mengucur. Oh…<br />gemerincing alunan jiwa
tak henti lafalkan mantra.<br /> <br />Tetumbuhan memberi petuah<br />bagi ruh-ruh kepekaan<br />menceburkan diri<br />dalam belahan dada ranum
menampung rahmat.<br /> <br />Jalan dilalui, dedaun
menyapa bebulu sayap mengepak<br />membisikkan kalimah yang
terdapati tak terekam indra.<br /> <br />Dan tiap denyutan
darahnya bersimpan peristiwa<br />aliran-alirannya tampak
jernih sebening hatinya.<br /> <br />Pandangannya menembus
jauh tak hilang kendali,<br />persaksiannya menggedor
tanjung-tanjung sukma<br />pribadinya terkandung
unsur-unsur kelembutan<br />ulet seserat-serat pohon
mewangi kehidupan.<br /> <br />Rambutnya tergerai
memantulkan sinar mahkota<br />tiadalah terlihat mewah,
tampak segar sederhana<br />benda serta makna, fitroh
teremban hikayat-hayat.<br /> <br />Ia terima, mendapati
kulit tubuhnya langsat<br />sentuhan halus bayu
pertiwi<br />senafas bayi-bayi
menghidupi rumput<br />tiupan terisi nyanyian nikmat<br />di kedalaman jiwamu tak
tersentuh.<br /> <br />Di sanalah kita temukan
diri, arah-arah terpampang<br />perlihatkan pribadi, kala
kita mencipta kasih sayang.<br /> <br />Kala berjalan tiada
dapati bayangan, dirinya tersembunyi<br />tertunduk santun mematung
merasai cahaya rasa malu,<br />kekhusyukkan menyendiri
dalam selubung keduniawian<br />terpisah dari bebauan
asap dupa pujaan.<br /> <br />Ia bergegas saat
orang-orang berbondong meminta<br />ialah bukan berlari
tanggung jawab, tetapi sungguh<br />sungkan memantul balik
dalam diri masing-masing<br />mendiami sunyi petuah.<br /> <br />Pantulannya seolah angkuh
saat melihat penuh iri<br />tetapi, lagi-lagi nalar
buruk terpatahkan<br />menyelami lelapisan
persoalan.<br /> <br />Ia terbiasa mengupas
jiwa-jiwa menjelma pancaran hayat<br />dengus suara kaki-kaki
melangkah pada gumam panjang,<br />bathin bernafas sesama,
siuman dari kemabukan bayang.<br /> <br />Yang melihatnya dimaknai
menerus, ia tegur pelahan.<br />Oh… tubuh telanjang lebur
dalam hawa sedap malam<br />burung-burung melihatnya
terbalut sutra kehormatan<br />: yang tampak ialah
penipuan-penipuan.<br /> <br />Tidakkah niatan jernih
takkan terbodohi<br />merawat kebeningan sampai
ujung di balik pandang.<br /> <br />Bergetarlah jiwa-jiwa
jujur mendaki cahaya kesadaran<br />gerak terdalam berkaki
pusaran, jenjang ditentukan<br />pekabutan tak menyilaukan
mata memberi kelegaan.<br /> <br />Yang diidamkan ikhlas
menerima manis-getir dilalui,<br />ia tak menyangkal ada
memberi tempat tak berkenan.<br /> <br />Sungguh lembut memasuki
lubang jarum merajut artian<br />tak bakal miliki sukma
pendendam, nyala bukan ambisi<br />namun menaklukkan air
mata menjelma batu permata.<br /> <br />Butiran garam diterjang
ombak bathin bergelora<br />karang terbesar menampung
ruang-ruang mungkin<br />hikmah tinggi cakrawala
tabah berlatih kesungguhan.<br /> <br />Huruf-huruf terdiam
mengeluarkan daya<br />sedari sarang langit
mewujud pengajaran<br />lintang-gemintang
cerlangkan mata angin.<br /> <br />Kesemangatan tentram
berlabuh pengetahuan,<br />bukan dalam batok kepala
menyimpan kekayaan,<br />perbendaharaan
tersembunyi di dalam kalbu insan.<br /> <br />Nurani terbimbing pada
keheningan kasih menghujam<br />kesungguhan tekad ketetapan
niat cemerlangkan akal,<br />menilik setiap pijakan
hati berkaca dibawa jernih fikiran<br />di balik tanda terdapat
ruang-ruang menanggung makna.<br /> <br />Bukan hendak mengisi
semua penuh bobot<br />yang berharga tergali
serupa ricik-gemericik<br />siapa melewatinya
mendapati petikan hikmah<br />bebuah ranum hasil
kekangan musim-musim<br />menyuguhkan pribadi
diterima lapang dada.<br /> <br />Mungkin alunan-alunan ini
dikau bilang menjemukan<br />saat penalaran menjangkau
tak berkendara kesucian<br />atau pencarian sungguh,
namun tak didasari niatan.<br /> <br />Malam hadir, meliuk
bertarian unggun penciptaan;<br />ia bakar kesepian, alam
rindu gagasan-gagasannya.<br /> <br />Bersiaplah menempa
anak-anak di kesenyapan kangen,<br />kadang malam larut
jauhkan nyala api rindu penciptaan<br />diajaknya dahaga dalam
kebisuan pencarian keyakinan.<br /> <br />Perenungan lelangkah
hening tempaan pelaku hayati<br />membawanya ke selubung
sunyi mewarta kelembutan,<br />bibir-bibir kabut
mengatup dalam rongga-rongga nafas.<br /> <br />Bathin petapa mengombak
di lautan kata-kata mewaktu<br />ia meringkuk di tepi
jalan, sering di luar pintu tertutup.<br />Ia tak menunggu
siapa-siapa, jiwanya tidak tergopoh,<br />hangat pencariannya
menceburkan diri di telaga kasih.<br /> <br />Oh yang berendam di
sendang, minumlah seteguk<br />mengingatkan usiamu dalam
perimbangan jiwamu<br />kesaksian hayat, terbuhul
wewarna pelita rahmat.<br /> <br />Ia tak bermaksud melukis
kesenyapan nan gaib,<br />tapi mengangkat bertangan
lembut tak tersentuh.<br /> <br />‘Lamur’ mengembun di
kulit lenganmu bukan kelalaian,<br />keterjagaan santun antara
tak pedulikan malam berbagi<br />kekuncup abadi, tawarkan
rindumu ke peraduan hangat.<br /> <br />Sesekali menghisap batang
rokok penuh tarikan terdalam<br />nafas-nafas ingatkan masa
lalu, menggali ikhwal terlewat.<br /> <br />Pagi terbuka kekayaan,
kau bertamu di kediamannya<br />paling muskil mencipta
sunyi memberat serasa ringan,<br />melantunkan mungkin di
kepalamu nan selalu bertanya<br />akan gaib kehidupan.<br /> <br />Ini percakapan meleburkan
setia, yang merindu<br />mengajak jiwamu terbang
ke tlatah ditaksirkan,<br />batas kebekuan memancar,
tenggelamkan kenang<br />menggugah pendakian
penciptaan.<br /> <br />Lelapisan itu menggubah
kesabaran ingatan<br />kekisah mempercayai mimpi
mengajak teridam<br />kepurnaan waktu lahirnya
derajat kehendak sesama,<br />malam-siang melarut
jiwamu mengikuti nafas kehadiran.<br /> <br />Ini sepantun hening
memaklumatkan pergumulan,<br />penyatuan ruh batas alam
mengangkat keluputan<br />menjelma sayap membimbing
nafas ke peraduan.<br /> <br />Senjakala melangkahi
lika-liku kesuburan, mata bathin<br />mengenyam gending pada
lereng pesawahan Dwipa.<br />Berilah kesaksian jasad
kalimah-kalimah ini,<br />menderas sealunan ditabuh
waktu-waktu lalu.<br /> <br />Patahan terberi, bukan
pemaksaan bathin serampangan.<br />Sejak keteringatan
wajah-wajah hampir menyerupaimu,<br />ketampanan santun
bersahabat, maha guru paling bijak.<br /> <br />Jiwaku ini tertambat
lelangkah paling akrab,<br />tekad melumurkan wewaktu
di masa-masa intim<br />teruskan limpahan berkah
tak habis ditelan lelah.<br /> <br />Keringat dingin menambah
puncak kesaksianmu<br />langit-laut hadirkan
birunya gelombang ke pantai<br />berbulir-bulirnya garam
menuju ceruk perenungan.<br /> <br />Pedesaan menanti kita,
lebur pada kesaksian syahdu<br />gemintang di cakrawala
menandaskan hayat dimaknai,<br />selendang menari di lengan
kasihmu menarik sahabat<br />bagaikan sesyairan sampur
para penari waktu.<br /> <br />Di kemanakan batas biru
memberi keabadian tarian<br />jiwa-tubuh bergetar,
bebulu sayap terangkat sukma<br />tengadah nafas berhembus
menggebu menuruti lagu.<br /> <br />Bukan keinginan semua
terhampar, dilewati perjanjian<br />melumuri tarian tinta
mata pena setajam malam terjaga.<br /> <br />Ini titah pujangga,
melambari kasihmu berkeyakinan<br />memandangi lekuk
perjalanan terawat setiap penanda<br />terangkat pemaknaan
wewaktu dipersiapkan bagimu.<br /> <br />Usiamu tertelan semangat
kata menembus kebisuan<br />merangsek naluri pada
saksi semula, kerinduan kasih.<br /> <br />Tarikan nafasmu perjelas
perbedaan mengenyam ragu<br />merawat kesunyian
berabad-abad memperbesarmu.<br /> <br />Keterpisahan tak,
masa-masa dilalui tempaan abadi<br />manakala kegusaran
merenggut perjuangan kembali,<br />kehendak dicitakan itu,
dilakoninya bermakna titisan.<br /> <br />Wewaktu mematangkan kulit
keriput pepohon Jati<br />tegak mengeras menerobos
musim dedaun rontok<br />kemuncul lestari
menandaskan tubuh matang jiwa<br />serat-serat pohon Waru
dengan otot-otot terjaga<br />berbagi pergantian jaman
menghujami makna.<br /> <br />Hujan deras menggigit,
kebangkitan berulang<br />bayu tuah berhembus
jiwamu meloloskan diri<br />kepada semburat jingga
senjakala<br />yang memawarkan rindumu<br />dalam pelukan cakrawala.<br /> <br />Perjumpaan penalaran,
mewartakan tekadmu<br />ditandaskan malam purnama
ditarik pelayarnya<br />menyeberangi wengi pelik
lewati nyanyian pesisir.<br /> <br />Antara nafas langgeng,
kesantausaan irama imbang<br />melingkupi yang dihendaki
pada gagasan gemilang.<br /> <br />Mata membaca kalimah
berita merasai jiwa<br />mengeja kehausan kehendak
hadir tiba-tiba<br />kerelaan tersiar berkembang
di pedalaman.<br /> <br />Ketika arungi kesyahduan,
keayuan alam bercahaya<br />keteguhan mengawal
jiwamu; para prajurut menjaga<br />kala sang raja
berpelesiran ke negeri jauh tanpa kuasa.<br /> <br />Ia hentikan derap
kudanya, menyusuri jalan sendiri<br />oleh semua penglihatan
buyar menjelma kepasrahan.<br /> <br />Kemiskinan itu tangga
tingkatan tertinggi kehidupan,<br />serupa rasa demam
mencapai kesaksian tak terbantah.<br /> <br />Ini peleburan kenang,
terbakar sajak di tungku setia<br />memperbaharui wujud abu
dalam tumbukan sesal,<br />sengaja mencari-cari
butiran halus kelembutan hati.<br /> <br />Kalimah bukan penampung
rupa bejana, air tak terukur<br />saat tak secangkir
pengharapan, tapi niatmu manunggal<br />kata-kata lebur menguap,
butirannya di dedaun kalbu<br />tersuling sedari keraguan
ditandaskan sakit berulang.<br /> <br />Kesaksian hadir membaca
alamat-alamat berkelebat<br />raut-raut bertengger di
dedahan menanti panggilan<br />merunduk penuh santun
berdedaun Salam gugur.<br /> <br />Kembang kemuncul
ketabahan,<br />kiranya bebuah ranum
mewangi<br />semua tidak kuasa tidak
tengadah,<br />memetiknya bagi lambung
kembara.<br /> <br />Keyakinan perbaharui
jiwamu pada pagi kebugaran<br />menelusupi pori-porimu,
perjalanan berulang dinilai.<br /> <br />Ditata laiknya bebatuan
candi di pegunungan puja<br />letak peribadatan
bergumul seirama para penyaksi.<br /> <br />Dan keterbatasan
membetulkan lelangkahmu memilih<br />agar tak terbebani di
persimpang bathin teridam hayat<br />memakmurkan sesama.<br /> <br />Manakala demam berkurang
persaksianmu yakin<br />bergumul kalbu rindu
dalam gelayutan mesra,<br />semisal purnama di tengah
pencarian wengi.<br /> <br />Malam menjamah gurun pada
kulit getarkan jiwamu<br />terpesona jagad hatimu
oleh kesantunan sang resi<br />dalam menapaki tangga
kekabutan menanjak<br />membebaskan bayang sedari
tubuh keraguan.<br /> <br />Yang pantas bertengger di
ubun-ubun kesenyapan abadi<br />tahap dilalui beserta
unsur pribadi berkeagungan rasa<br />kepurnaan gagasan
membeletat sesama, tiada terlupa<br />kaki-kaki tersandung
batu, rerumputan terinjak menghijau.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">17 Februari 2008,
Lamongan, Jawa. <a href="http://sastra-indonesia.com/2008/11/kesunyian-sang-pujangga/">http://sastra-indonesia.com/2008/11/kesunyian-sang-pujangga/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-3838742025372517492021-08-27T22:48:00.006-07:002021-08-27T22:48:50.196-07:00Memahami Keberatan Nurel dalam bukunya MMKI<p><b>“Kun Fayakun” ; Kata, Makna, beserta Rujukannya</b></p><p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2018/08/Mahmud-Jauhari-Ali-Memahami-Keberatan-Nurel-dalam-bukunya-MMKI.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="697" data-original-width="495" height="320" src="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2018/08/Mahmud-Jauhari-Ali-Memahami-Keberatan-Nurel-dalam-bukunya-MMKI.jpg" width="227" /></a></div><p></p>Mahmud Jauhari Ali *<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Saya sedang membongkar buku ini. Melepaskan sampul depan, punggung buku,
dan sampul belakangnya. Lalu memisah-misahkan lembar demi lembar kertas yang
memuat pendahuluan, isi, serta penutupnya. Mungkin seperti itulah gambaran
dalam otak saudara sekalian, jika saya katakan lagi membongkar sebuah buku;
buku apa saja. Padahal tidaklah demikian adanya. Ini sama halnya dengan kalimat
pendek yang berseliweran setiap kali menjelang hari raya, semisal saat
pertengahan bulan Juni lalu; “Kami sekeluarga mengucapkan Selamat Hari Raya
Idul Fitri 1439 Hijriah!” Dalam gambaran di kepala saya, orang-orang itu
bersuara lantang mengujarkan kalimat tersebut. Tetapi tidaklah demikian, bukan?<br /> <br />Mungkin bisa jadi, dengan terbitnya buku Edisi Revolusi dalam Kritik
Sastra, yang berjudul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, Buku Pertama:
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia; Orang-orang
juga memiliki gambaran atau bayangan bahwa penulisnya yang bernama Nurel
Javissyarqi ini membongkar sebuah mitos besar dalam dunia susastra Indonesia,
dengan menggunakan alat-alat khusus. Entah berupa apa wujudnya. Tapi,
sungguhkah seorang Nurel benar-benar membongkar mitos itu?<br /> <br />Saya tidak mau tergesa-gesa menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, kalau saya
jawab langsung, itu artinya saya tanya sendiri, saya jawab sendiri. Sangat
tidak asyik, ‘kan? Terlebih buku ini ketebalannya terdiri atas xii + 570
halaman (cetakan kedua yang saya pegang). Meski begitu, saya beri sedikit
bocoran; dengar-dengar isinya menarik, mulai dari perkara linguistik, agama,
sejarah, sampai filsafat. Karena itulah, agaknya lebih ideal jika saya mengajak
saudara sekalian (khusus yang belum membacanya) berkenan membaca sendiri buku
ini. Syukur-syukur akan ada banyak diskusi antar pembacanya, seperti membahas
perkara dekonstruktivisme dan sebagainya.<br /> <br />Kesan Awal<br /> <br />Pertama kali melihat buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (MMKI),
saya langsung pesimis. Begitu pula saat melihat-lihat secara selintas bagian
dalamnya, pun masih merasakan hal yang sama. Betapa tidak? Selain bukan bacaan
pop yang banyak digandrungi masyarakat baca, buku ini berupa kumpulan esai
sastra. Lantas, berapa banyak yang akan membacanya? Itulah pertanyaan yang
sangat sering muncul di kepala saya. Terlebih jika dikaitkan pasar, dengan
kenyataan itu, juga jumlah halamannya yang lumayan tebal, sehingga harganya
tentu tidaklah murah, maka muncul pertanyaan lainnya; seberapa banyak orang
yang akan membeli buku ini? Mungkin, seandainya buku ini berisi hal seputar
teoritis sastra, contoh buku “Prinsip-Prinsip Kritik Sastra” karya Rachmat
Djoko Pradopo, kemungkinan akan banyak diburu oleh kalangan kampus sastra.
Setidak-tidaknya sebagai bahan kerangka teori, bagi mahasiswa untuk
menyelesaikan tugas-tugas kuliah berupa kerja kritik sastra.<br /> <br />Agak lama saya berpikir, dan satu hal terbesit di benak saya; “Nurel cukup
‘gila’ juga di dunia ini (dunia sastra maksud saya).” Kegilaan di sini tentu
bukan gila yang sebenarnya, melainkan dalam makna positif seperti gila kerja
dan lainnya. Jujur saja, saya memang selalu menghargai sikap orang-orang
idealis seperti itu. Mereka berlelah-lelah dalam menulis, tapi hasilnya minim.
Bahkan, bisa dibilang tidak ada yang didapatkan secara materi, atau malah
‘nombok’ biasanya.<br /> <br />Masih ada kisah-kisah gila lainnya dalam dunia sastra. Untuk melengkapi
perihal ini, saya sebutkan lagi. Siapa? Konon, ada seorang sastrawan senior
yang rela menjual tanahnya, hanya demi menerbitkan buku-buku puisinya secara
indie. Yang lebih gilanya, dia membagikan buku-buku karyanya itu secara
cuma-cuma dalam lingkup nasional. Orang tersebut bernama Arsyad Indradi, yang
bergelar Sang ‘Penyair Gila.’ Dan yang bersangkutan bangga atas gelar tersebut.<br /> <br />Orang-orang seperti mereka tidak peduli apakah akan menerima penghargaan
sastra atau tidak, tepuk tangan riuh atau sebaliknya, pun segala tetek-bengek
lainnya. Terpenting, berkarya terus berkarya demi memartabatkan dan
mengagungkan Tuhan. Demikian itulah kesan pertama saya terhadap buku MMKI
beserta penulisnya.<br /> <br />Apa yang Saya Cari?<br /> <br />Beranjak dari sana, mulailah muncul pertanyaan yang lebih spesifik,
sebenarnya ini buku apa? Rasa penasaran itu sejurus dengan metode SQ3R yang
dianjurkan Prof. Francis P. Robinson di tahun 1941 silam. Jadi begini,
sepanjang yang saya tahu, dalam teori membaca sebenarnya ada sebuah metode
bernama SQ3R, selain metode-metode membaca lainnya. Menurut beliau, yang
merupakan seorang guru besar psikologi dari Ohio State University, bahwa
menerapkan metode ini dalam membaca, dimulai dengan survei, bertanya (quetion),
barulah baca (read), lantas recite atau mengutarakan kembali, kemudian yang
terakhir review.<br /> <br />Maka, ibarat sedang ingin mengelilingi sebuah gedung, saya pun idealnya
menyiapkan sejumlah pertanyaan tentang gedung. Misalkan, berapa jumlah pepintu
yang ada, apakah semua jendelanya dalam keadaan baik, dan sebagainya. Jika saya
sekadar berkeliling tanpa bawa bekal pertanyaan, tentu setelah selesai putaran
pertama, hanya mendapatkan rasa lelah, serta ketidaktahuan belaka. Itulah
sebabnya, juga bertanya-tanya seputar buku ini, agar tidak mendapatkan
kebingungan terutama saat membaca. Jadi, membacanya (setelah bertanya-tanya)
ialah mencari jawaban-jawabannya.<br /> <br />Kemudian memperhatikan judul dan melihat ketebalannya, buku ini tampaknya
mengandung isi berupa hasil analisis tentang hal-hal susastra. Maka, beranjak
dari situ saya pun bertanya, semua hal itu, sastrakah? Atau hanya sebagiannya?
Dan data yang Nurel analisis tersebut, berupa apa?<br /> <br />Menjawab Pertanyaan<br /> <br />Dalam buku MMKI dari awal hingga akhir, Nurel mengupas paragraf awal sampai
paragraf keenam esai karya Dr. Ignas Kleden. Agaknya, Nurel begitu terobsesi
terhadap esai tersebut. Inilah yang kemudian memunculkan tanda tanya
tersendiri.<br /> <br />Idealnya, saya pun harus baca esai tersebut terlebih dahulu, sebelum masuk
ke tahap selanjutnya. “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri”
adalah judul esai yang dibahas Nurel. Membacanya, terkhusus pada kata
“dekonstruksi,” ingatan saya langsung mendarat ke sebuah nama besar Derrida.
Siapakah dia?<br /> <br />Jacques Derrida, dikenal sebagai filsuf yang mengusung tema dekonstruksi
dalam filsafat postmodern. Hal yang paling saya ingat dari Derrida dalam dunia
bahasa, ialah kritiknya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme. Bagi Derrida
sendiri, dekonstruksi merupakan suatu peristiwa yang tak menunggu pertimbangan,
kesadaran, organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas.<br /> <br />Itulah sebabnya, dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan
suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Lantas dekonstruksi seperti apa yang
dimaksud oleh Ignas Kleden di dalam esainya itu, dan siapa pelakunya? Dua
jawaban dari satu kalimat tanya itulah yang menurut saya inti daripada buku
ini. Setelah membaca esai tersebut, ternyata Nurel menganalisis atau
setidak-tidaknya membahas tentang kata dan tata bahasa, yang berkaitan dengan
kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Sedang data-data analisisnya berupa
esai Ignas Kleden, Kredo Puisi SCB, Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau
2000 oleh SCB, dan Sambutan SCB pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra
Mastera.<br /> <br />Menyelami Perihal Kata dan Tata Bahasa yang Menjadi Bahan Kajian Nurel
dalam MMKI<br /> <br />Dalam Kredo Puisi-nya, SCB terang-terangan menyatakan bahwa kata adalah
pengertian itu sendiri. Menurut SCB, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan
pengertian, dari beban idea.” Sebagai wujud dekonstruksi bahasa dalam hal kata
dan tata bahasa, perihal itu terkesan biasa-biasa saja. Artinya, tidak
menimbulkan kehebohan luar biasa di dalam masyarakat Indonesia. Terbukti,
masyakarat luas di negara ini, tidak gaduh membicarakan kredonya SCB. Bahkan,
kalau kita mau bertamasya keluar dari hiruk-pikuk dunia sastra untuk berada di
tempat umum, banyak orang yang tidak mengetahui kredo puisi itu. Jangankan tahu
tentang kredonya, SCB saja belum tentu diketahui, apalagi dikenal luas oleh
penduduk Indonesia. Dan jika ditanya, siapakah yang mengenal atau setidaknya
tahu SCB, maka jawabannya yang paling banyak, ya orang-orang di dunia sastra
itu sendiri. Jika orang di luar dunia sastra ada yang tahu SCB, jumlahnya
tidaklah seberapa. Ceritanya sangat berbeda, jika SCB seterkenal Rocky Gerung
yang merupakan sarjana sastra dari universitas terkemuka di negara ini. Sosok
Rocky begitu familiar di jagat Indonesia. Kata-katanya banyak dikutip
masyarakat. Nah, lalu mengapa seorang Nurel membahas Kredo Puisi-nya SCB di
buku MMKI? Ini pertanyaan baru, yang juga perlu kita pahami alasannya.<br /> <br />Semakin mencermati pembahasan Nurel dalam MMKI, masalah yang dipersoalkan
sebenarnya tidak sekadar perkara pembebasan kata dari penjajahan pengertian itu
saja. Begitu pula soal tata bahasa. Akan tetapi, lebih kepada SCB yang mengaitkan
kredonya tersebut dengan Surah Yasin ayat 82, yakni khusus terhadap terjemahan
“Kun Fayakun” ala-SCB. Presiden Penyair Indonesia tersebut di dalam pidatonya
pada acara Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau Tahun 2000 juga menyatakan;
“Pada Mulanya Sang Maha Penyair berucap, ‘Jadi, maka Jadilah!’ Itulah kata yang
paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah jadi itu
sendiri…”<br /> <br />SCB menerjemahkan “Kun Fayakun” dengan “Jadi maka jadilah!” Terjemahan ini
digunakan, demi memperkuat kredonya, bahwa kata ‘jadi’ ya ‘jadi itu sendiri.’
Seperti kata ‘kursi’ ya ‘kursi’ itu sendiri. Nurel sangat keberatan dengan hal
ini. Dari keberatan itulah, saya menangkap sebuah pemahaman, bahwa Nurel akan
berusaha memperlakukan secara spesial, memulai pembacaan, kajian, juga kritik
terhadap teks-teks yang sejalan dengan pernyataan Sutardji Calzoum Bachri itu.
Salah satu teks yang mendapat perlakuan spesial itu, esainya Dr. Ignas Kleden,
yang enam paragrafnya dibahas dalam buku MMKI.<br /> <br />Memahami Keberatan Nurel<br /> <br />Dalam hal ini, saya juga idealnya mencoba atau katakanlah berusaha memahami
keberatan Nurel di atas. Setidaknya ada tiga sudut penglihatan yang saya
pergunakan:<br /> <br />Pertama, dari sudut pandang teologi. Setiap orang Islam yang sejati pasti
meyakini al-Qur’an sebagai Kitab Suci. Yakni Kitab Suci yang diturunkan Allah
swt kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril. Kitab ini terjaga
kemurniannya. Sebagai salah satu yang wajib diimani, sekaligus menjadi pedoman
hidup yang sempurna bagi setiap muslim. Artinya, tidak perlulah penambahan
ataupun pengurangan dalam ayat-ayat-Nya. Segala yang termaktub di dalamnya
secara otomatis diikuti oleh perkembangan ilmu pengetahuan hingga akhir zaman.
Atau pada perkembangan zamanlah, yang membuktikan kebesaran dan kebenaran kitab
suci umat Islam.<br /> <br />Bahkan, untuk dapat menafsirkan ayat-ayatnya (sebelum mengamalkannya dalam
kehidupan), tidak bisa sembarangan. Perlu adanya pendekatan serta metode yang
tepat, seperti metode tafsir oleh para ahli tafsir al-Qur’an sejak dulu.
Seandainya ada yang menggunakan metode lain yang tidak tepat, tentu malah
mengacaukan penafsirannya. Sebut saja metode hermeneutika, yang bisa dikatakan
tidak cocok untuk menerjemahkan dan menafsirkan setiap ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam metode yang sebelumnya digunakan menafsirkan Bibel ini, semua teks
diperlakukan dengan cara sama, sehingga jika dipaksakan akan mendekonstruksi
hukum-hukum dalam Islam. Padahal teks-teks di dalam al-Qur’an adalah kalam
Ilahi yang suci, termasuk penghujung ayat 82 Surah Yasin, yakni “…Kun Fayakun.”<br /> <br />Dan sebagaimana yang dipahami bersama, “Kun Fayakun” mengandung dua hal
yang seirama. Hal yang satu berlanjut pada perihal kedua. Kata “Jadilah”
merupakan kata perintah dari Allah swt atas segala sesuatu. Selanjutnya, “maka
Jadilah sesuatu itu,” merupakan proses yang semula belum jadi, wujud atau ada.
Dalam hal ini bisa kita pahami sejatinya “Jadilah,” bukanlah ‘jadi itu
sendiri.’ Melainkan sejalan dari perintah “Jadilah,” yang selanjutnya
menjadikan ada atau wujud. Beranjak dari sini, saya dapat memahami mengapa
Nurel begitu keberatan terhadap pernyataan SCB bahwa Jadi adalah Jadi itu
sendiri.<br /> <br />Saya pikir bukan hanya Nurel yang keberatan seperti itu. Jikalau hal ini
diketahui masyarakat luas, tidak menutup kemungkinan akan berpotensi ada banyak
kaum muslim yang keberatan terhadap terjemahan SCB tersebut. Terlebih,
digunakan untuk menguatkan kredo puisinya.<br /> <br />Kedua, dari sudut pandang linguistik. Dalam hal ini saya tidak bermaksud
membuat karya sastra termasuk puisi menjadi “pretel,” dengan melucutinya lewat
analisis linguistik. Melainkan hanya berusaha untuk dapat memahami keberatan
Nurel dalam bukunya.<br /> <br />Suka atau tidak, sebagai manusia tentu kita tidak pernah bisa lepas dari
bahasa, baik bahasa verbal, maupun nonverbal. Bahkan dalam mimpi pun ada
bahasa. Lalu semisal ditanya, apakah sebenarnya bahasa; mungkin sebagian orang
akan menjawab, bahwa bahasa itu alat komunikasi. Dengan bahasa, kita dapat
berkomunikasi antar sesama manusia. Misalnya saya dan saudara atau saudara
dengan orang lain, secara lisan atau tulisan. Tanpa bahasa, sudah dipastikan
akan susah menjalin hubungan apapun, termasuk perihal kelangsungan hidup
manusia. Maka, tak ada yang salah dengan jawaban bahwa bahasa adalah alat
komunikasi.<br /> <br />Akan tetapi, pertanyaan tadi ialah apakah bahasa, dan bukan apa fungsi
bahasa. Pertanyaan itu menuntut jawaban berupa pengertian yang hakiki dari
bahasa, ‘kan? Atau katakanlah berupa hakikat bahasa itu sendiri. Sedangkan alat
komunikasi hanyalah salah satu fungsi dari bahasa.<br /> <br />Kalau kita cermati secara seksama, bahasa ‘dalam hal ini adalah verbal,’
tersusun dari bunyi-bunyi. Maka, bunyi-bunyi itu ada yang membedakan makna
kata, atau dalam istilah fonologi disebut fonem, dan ada juga yang tidak;
dinamakan alafon (variasi bunyi saja). Perhatikan kata “paku” dan “baku.” Kata
pertama memiliki susunan fonem /p/, /a/, /k/, dan /u/. Lantas susunan fonem
dalam kata kedua berupa /b/, /a/, /k/, dan /u/. Adakah terlihat perbedaan
keduanya? Ada, yakni dalam hal bunyi /p/ dan /b/, juga dalam hal makna. Perbedaan
dua fonem atau bunyi itulah yang menyebabkan perbedaan makna kedua kata
tersebut.<br /> <br />Dari dua contoh di atas, kita sudah tahu bahwa bahasa itu berupa susunan
yang bersistem atau beraturan. Kata “paku” misalnya, memiliki susunan fonem
yang beraturan. Bayangkan kalau tidak beraturan, seperti “kupa” atau “kapu,”
apakah memiliki makna dan fungsi? Jawabannya tidak. Begitu pun dalam tataran
sintaksis, semisal kalimat “Budi memakan pisang.” Kalimat itu bersistem. Mulai
dari “Budi, memakan,” lalu disusul kata “pisang.” Coba jika tidak bersistem;
“Memakan Budi pisang” atau “Pisang memakan Budi,” tentu akan menimbulkan
kekacauan makna gramatikal.<br /> <br />Lantas bagaimana bunyi-bunyi yang bersistem itu muncul? Bahkan, ada banyak
ragam bahasa di dunia. Pertanyaan ini berkaitan dengan benda-benda atau acuan
lainnya. Sebut kata “topi.” Kata itu muncul sebagai simbol dari benda yang
dilambangkannya. Sebelum ada benda acuannya, kata tersebut belum ada. Artinya,
ada yang melambangkan dan ada yang dilambangkan, yakni bahasa sebagai lambang
atau simbol dari benda-benda dan acuan lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat
seorang filsuf Jerman pada akhir abad ke-19, bernama Meinong. Lebih kurang dia
mengatakan, bahwa setiap tutur yang bermakna di dalam kalimat tentulah
mempunyai referen (acuan). Kalau tidak, maka tutur itu tidak akan bermakna,
sehingga tentulah istilah itu ada benda acuannya. Beranjak dari sana, kita
paham bahwa ada kata, tentu ada acuannya (referennya). Dan kita bisa
bertanya-tanya; apa hubungan antar keduanya? Apakah hubungan secara langsung
atau sebaliknya?<br /> <br />Menjawabnya, kita kembali ke kata “topi.” Kata tersebut sama sekali tidak
memiliki hubungan langsung dengan acuannya. Untuk membuktikannnya, marilah kita
pikirkan, apakah acuannya berbunyi, semisal “topi” atau setidaknya mirip dengan
bunyi itu? Atau mungkin ada hal lainnya yang menyerupai bunyi “topi?” sama
sekali tidak ada. Maka, kata “topi” diberikan sebagai nama acuannya itu
bersifat mana suka (arbitrer), serta konvensional oleh masyakarat. Hubungan
antar keduanya tersebut tidak secara langsung, yakni dihubungkan oleh makna.
Apa maknanya? Topi bermakna “tudung kepala,” yang acuannya benda sesuai
maknanya. Tanpa adanya makna, tidak akan terhubung antara kata dan acuannya.<br /> <br />Dengan memperhatian uraian di atas, kita dapat mengetahui maknawi hakikat
bahasa, yakni sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan konvensional.
Melalui hakikat itu, maka dapat memahami keberatan Nurel terhadap Kredo Puisi
SCB. Nurel keberatan bahwa kata adalah kata itu sendiri.<br /> <br />Ketiga, dari sudut padang sosial. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi
yang bersifat arbitrer juga konvensional. Maka, dengan sistem itulah manusia
dapat saling berkomunikasi satu sama lainnya. Tentu, selama masyarakat yang
bersangkutan memiliki kesatuan ide yang disepakati. Masyarakat Indonesia
misalnya, mereka dapat berkomunikasi satu sama lain, dengan menggunakan bahasa
yang telah disepakati bersama, yakni bahasa Indonesia. Artinya, masyakarat di
negara ini menyepakati setiap kata beserta makna dan rujukannya masing-masing.
Sebut saja kata “topi” pada contoh di atas, merupakan kesepakatan umum
masyakarat Indonesia.<br /> <br />Konsekuensi logis dari realitas tersebut sangat jelas, bahwa satu kata
dalam bahasa Indonesia yang saya dan saudara gunakan, akan dipahami oleh semua
masyarakat bahasa di negara ini. Itulah sebabnya, kita tidak bisa melepaskan
kata dari maknanya. Kalau pun SCB menyatakan bahwa “kata” harus dibebaskan dari
beban makna, hal itu hanya berlaku bagi dirinya sendiri. Mengapa? Dikarena,
setiap kata sudah dipahami maknanya oleh seluruh masyarakat bahasa Indonesia.
Jadi, saya pikir kesia-siaan belakalah SCB dalam usahanya pembebasan kata dari
makna.<br /> <br />Kemudian, meski pun dalam hal puisi dikenal ada istilah “licentia poetica,”
idealnya juga tidak serta-merta membebaskan kata dari maknanya. Mengapa? Sebab
disadari atau tidak, dampaknya bisa fatal. Mungkin bagian ini terkesan ‘lebay,’
tapi bagaimana jadinya, jika kata-kata tabu yang dibebaskan dari maknanya, lalu
digunakan sesuka hati. Apa efeknya? Orang-orang yang sudah memahami maknanya
tentu akan merasa jijik, malu, atau malah bisa saja marah. Bahkan dalam hukum
kausalitas, ada kemungkinan jadi penyebab orang mengkhayalkan sesuatu yang
tidak pantas. Terlebih lagi, ini mengkhawatirkan sekali, jika yang membaca itu
anak-anak di bawah umur. Sangat disayangkan isi pesan yang bagus, tetapi
disampaikan dengan diksi yang makna denotasinya kurang pas. Sedang dari
realitas empiris, masyakarat bahasa pada umumnya lebih mengedepankan unsur
objektivitas daripada konvensi bahasa itu sendiri. Misalnya kata “paku”
dimaknai secara objektif, sesuai makna denotasinya dalam tataran semantik.<br /> <br />Itulah sebabnya, jangan heran jika puisi yang banyak mengandung metafora,
personifikasi, atau majas lainnya, akan susah, bahkan tidak dapat dipahami
sebagian masyarakat luas. Dalam hal ini dapat kita mengerti, masyarakat akan
bingung dengan ketidaksesuaian antara kata tertentu (yang didasarkan pada makna
denotasinya), dan kata-kata lainnya. Akibat lainnya, mereka tidak dapat
menikmati puisi dari segi maknanya. Lantas, bagi masyarakat yang
mempertimbangkan adanya makna konotasi yang berkaitan dengan nilai budaya serta
lainnya dibalik makna denotasinya itu, sehingga didapatlah interpretasi dari
puisi yang mereka baca, hal terakhir ini pun menunjukkan bahwa kata tidak dapat
dibebaskan dari maknanya. Ada makna baru yang merupakan hasil dari interpretasi
mereka. Dengan ungkapan lain, dari sisi semiologi, ada penafsiran yang
melahirkan makna-makna lain dari simbol bahasa. Sampai di sini, saya pun bisa memahami
keberatan Nurel dalam bukunya, terhadap Kredo Puisi-nya SCB.<br /> <br />Sebenarnya, masih bisa kita pergunakan sudut-sudut pandang lain untuk dapat
memahami keberatan Nurel. Karena, Kredo Puisi SCB terkait perihal bahasa;
semisal kata, makna, dan rujukannya. Sedangkan bahasa pada dasarnya terkait
dalam segala hal, termasuk juga ilmu-ilmu yang mempelajari hal-hal tersebut.
Dapat kita katakan pula, secara keilmuan ada interdisipliner antara linguistik
dan ilmu lainnya. Ada neurolinguistik, ekolinguistik, dan banyak lagi. Bahkan,
dalam penghitungan dialektometri untuk mengetahui sejauh mana perbedaan bahasa
satu dan lainnya, juga memperhatikan kaitan kata, makna, serta rujukannya.
Begitu pula penghitungan leksikostatistik untuk mengetahui presentase persamaan
bahasa-bahasa yang diperbandingkan juga memperhatikan ketiganya itu.<br /> <br />Apa yang Saya Dapatkan?<br /> <br />Kalau ditanya demikian, jawaban saya lebih daripada satu. Ya, memang ada
hal-hal yang saya dapatkan dari MMKI ini. Hal yang paling kentara ialah perkara
“kata” yang dipersoalkan Nurel dalam esainya Ignas Kleden. Sebut saja kata
“menerobos” yang dinilai oleh Nurel tidaklah tepat digunakan di dalam esai
tersebut. Bagi Nurel, penggunaan kata itu merupakan upaya Ignas untuk
meyakinkan pembaca, bahwa kata “membebaskan” (dari Kredo Puisi-nya SCB) sama
dengan kata “menerobos.” Di lihat dari sisi mana pun, kita akan membenarkan
bahwa kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Contah, dapat kita perhatikan
perbedaan makna keduanya di atas mengganti kata “menerobos” dengan kata
“membebaskan,” sebagai konstituen di dalam kalimat berikut ini:<br />Seekor burung menerobos sangkarnya.<br />Seekor burung membebaskan sangkarnya.<br /> <br />Dari dua contoh kalimat di atas, jelas perbedaan makna kedua “kata”
tersebut. Kalimat pertama dapat dimaknai, bahwa ada seekor burung mendobrak
atau menembus sangkarnya. Sedangkan kalimat kedua, bisa dimaknai adanya seekor
burung yang melepaskan sangkarnya dari suatu kungkungan (mungkin lepas dari
ruangan yang pengap). Dengan perbedaan makna itu, kata “menerobos” tidak bisa
digunakan untuk mewakili atau menggantikan kata “membebaskan.” Jadi, substitusi
tidak berlaku dalam hal ini.<br /> <br />Kemudian perihal alibi. Nurel secara panjang lebar mengulas kata “alibi.”
Kata itu terdapat di dalam kalimat SCB “Puisi adalah alibi kata-kata.” yang
dikutip Ignas Kleden dalam paragraf kedua esainya. Lagi-lagi Nurel Javissyarqi
tidak sependapat dengan Sutardji Calzoum Bachri mengenai hal itu. Jikalau puisi
adalah alibi kata-kata, berarti ketika kata-kata sudah ada dalam puisi,
bebaslah dari beban makna. Maka, penyair pun bebas dari tanggung jawab atas
diksi yang digunakan dalam puisinya. Dengan demikian, akan menjadi masalah di
masyarakat, seandainya segala kata yang termasuk kata-kata tabu digunakan
penyair sebebas-bebasnya.<br /> <br />Selanjutnya, saya juga mendapatkan pengetahuan dari Nurel melalui bukunya.
Khusus tentang ini terlalu panjang jika saya kisahkan ulang. Sebab, Nurel
kadang juga bercerita dalam bukunya, atau dari kekisah itulah ada pengetahuan
yang dia tuliskan. Selebihnya, saya mendapati semangat menulis esai ini, meski
hasilnya tentu jauh dari yang diharapkan. MMKI seperti saya sebutkan di bagian
awal, merupakan buku yang bisa dikatakan proyek idealis. Artinya, ini buku
secara jujur saya katakan ada kemungkinan susah lakunya di pasaran. Dan
semangat Nurel menuliskannya, menjadikan motivasi tersendiri bagi saya dalam
menuliskan esai ini.<br /> <br />Simpulan<br /> <br />MMKI merupakan sebuah buku yang berisi kumpulan esai karya Nurel
Javissyarqi. Esai-esainya berisi kajian terhadap enam paragraf awal dari esai Dr.
Ignas Kleden tentang Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri. Yang setiap paragraf
dari esai Ignas itu dikaji secara mendalam olehnya. Dan inti dari kajian
tersebut mengenai perihal SCB yang membebaskan kata dari makna.<br /> <br />Dalam kajiannya, Nurel melengkapi dengan hal lainnya, semisal fakta
sejarah, agama, sampai filsafat. Khusus dalam persoalan agama, dia
melengkapinya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Sebuah keyakinan bagi orang-orang
Islam yang tidak agnostik. Itulah sebabnya, membaca buku MMKI perlu tenaga lebih
untuk dapat bersabar, sehingga tidak terburu-buru meninggalkannya. Dengan kata
lain, perlu waktu-waktu yang cukup dalam pembacanya.<br /> <br />Akhirnya saya pun berharap, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, MMKI
menjadi salah satu buku yang layak untuk dibaca sekaligus didiskusikan oleh
masyarakat Indonesia. Entah dia praktisi susastra, akademisi sastra, linguis,
atau lainnya. Semoga, apa yang telah saya tuliskan ini menggenapi manfaat,
amin. Wassalam…<br /> <br />Banjarmasin 18/8/2018<br /> <br />*) Mahmud Jauhari Ali (MJA) lahir di Banjarmasin, 15 Januari 1982.
Tulisan-tulisanya pernah dimuat surat kabar harian, majalah, tabloid, jurnal
ilmiah, dan beberapa laman kebahasaan juga kesastraan. Laman pribadinya
www.mahmud-bahasasastra.blogspot.com Laman itu pula yang mengantarnya jadi
Juara II Tingkat Nasional dalam Lomba Blog Kebahasaan dan Kesastraan, yang
diselenggarkan Pusat Bahasa (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), Jakarta
dan Balai Bahasa Bandung tahun 2009. Buku-buku karangan tunggalnya yang telah
terbit adalah; Lingkar Kata, Kupu-Kupu Kuning, Demi Pernikahan Adik, Menanti
Tamu Lebaran, Bulan di Padang Lalang, Imanku Tertelungkup di Kakinya, Lelaki
Lebah, Selia, Cinta di Tepi Geumho, Kudekap Hatinya di Bawah Langit Seoul,
Galaupolitan, Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo, My Love Is A White Hacker,
Cinta di Tepi Gaza, The Sweetest Heart, A True Love in Baghdad, The Miracle of
Love, My Restaurant, My Love, and My Future, Pahari, Dear Coboy Junior: Wait Me
in Your Concert, Dear Coboy Junior (2): I Will Always Support You, Teror Tengah
Malam, Ganteng-Ganteng Setan, Pacar ke-13, 13 Kisah Horor di Asrama, dan 13
Kisah Horor Malam Jumat Kliwon. Pernah juga sebagai editor dalam kumpulan
cerpen “Senja di Teluk Wondama,” yang memuat 11 cerpen pilihan bertema bahasa
dari seluruh Indonesia.<br />Salah satu hasil kerjanya sejak 2006 bersama para pakar leksikostatistik
dan dialektometri telah dijadikan sebuah Peta Bahasa resmi di Indonesia tahun
2008. Karya-karyanya dimuat dalam beberapa antologi bersama: Di Merah Fajar
Esok Pagi (Komunitas Sastra Indonesia Cab. Kertak Hanyar), Risalah Penyair Gila
(antologi esai bersama Ahmadun Yosi Herfanda, dkk), Doa Pelangi di Tahun Emas
(antologi puisi Aruh Sastra 2009 bersama Arsyad Indradi, dkk), Menyampir Bumi
Leluhur (antologi puisi Aruh Sastra 2010), Menjaring Cakrawala (antologi puisi
bersama Isbedy Stiawan ZS, dkk), Kalimantan dalam Puisi Indonesia (antologi
puisi Dialog Sastra Se-Borneo -Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam
bersama Korrie Layun Rampan), Akulah Musi (antologi puisi Pertemuan Penyair
Nusantara V 2011 -Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan
Thailand), Seloka Bisu Batu Benawa (antologi puisi Aruh Sastra 2011), Beranda
Rumah Cinta (antologi puisi bersama Dimas Arika Mihardja, dkk), Tuah Tara No
Ate (antologi sastra Temu Sastrawan Indonesia IV, Ternate 2011), Suara 5 Negara
(antologi puisi bersama perwakilan penyair lima negara di Asia Tenggara),
Sungai Kenangan (antologi puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2012), dan Sauk
Seloko (antologi puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI 2012 -Indonesia,
Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand).<br />Makalahnya berjudul “Bahasa Indonesia, Film Nasional, dan Generasi Bangsa”
dimuat di majalah Nawala, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta
2008. Pada tanggal 16-18 Mei 2008, menjadi pemakalah dalam Seminar Bahasa
Nasional di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia diundang oleh pihak
Universiti Malaysia Sarawak untuk menjadi pembentang / pemakalah dalam
Konferensi Antar universiti Se-Borneo IV, tahun 2008 (makalahnya bertitel
“Peranan Mamanda terhadap Eksistensi Bahasa Banjar”). Dan dalam Kongres Bahasa
tahun 2008, makalahnya berjudul “Mantra Banjar: Bukti Orang Banjar Mahir
Bersastra Sejak Dahulu.” Makalah itu juga diterima dalam Persidangan Seni
Kebangsaan tahun 2009 di Universiti Malaysia Sabah, kemudian dimuat dalam
Jurnal Meta Sastra, Bandung.<br /><p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Sebagian karyanya dijadikan bahan penelitian dan skripsi: Konsistensi
Keimanan Tokoh Utama pada Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud
Jauhari Ali dengan Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy, Suatu
Kajian Bandingan (Beta Puspa Sari, FKIP, Universitas Bengkulu), Religiusitas
Tokoh Utama dalam Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari
Ali Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Psikologi Agama (Ireb Intan Putri, Hasnul
Fikri, dan Dainur Putri, Jurnal FKIP, Universitas Bung Hatta), Konsep The 7
Islamic Daily Habits dalam Novel Pahari Karya Mahmud Jauhari Ali (Nailiya
Nikmah, Jurnal FKIP, Universitas Negeri Borneo, Tarakan), Analisis Kajian
Semiotik dalam Novel Sebait Cinta Di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari
Ali (Mawaddah Warohmah Azhari, FKIP, Universitas Islam Riau), Analisis
Psikologis Tokoh dalam Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud
Jauhari Ali (Hendra Jayadi, STKIP PGRI Banjarmasin), Kajian Etnografi Terhadap
Novel Sepasang Matahari Karya Mahmud Jauhari Ali (Rahmayana, STKIP PGRI
Banjarmasin), Kritik Sastra Feminis dalam Novel Cinta di Tepi Gaza Karya Mahmud
Jauhari Ali (Jonika, STKIP PGRI Banjarmasin), Nilai-nilai Moral pada Novel
Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali (Izzatul Yazidah,
STKIP PGRI Banjarmasin), Warna Lokal Kalimantan dalam Novel Lelaki Lebah Karya
Mahmud Jauhari Ali (Julia Ellysa, STKIP PGRI Banjarmasin), Nilai Moral dalam Kumpulan
Cerpen Imanku Tertelungkup di Kakinya Karya Mahmud Jauhari Ali (Yuli Annisa,
STKIP PGRI Banjarmasin), Analisis Konflik Tokoh dalam Novel Sebait Cinta di
Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali (Rina Wulandari, FKIP, Universitas
Islam Riau), dll… </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2018/08/memahami-keberatan-nurel-dalam-bukunya-mmki/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2018/08/memahami-keberatan-nurel-dalam-bukunya-mmki/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-48431457067011869182021-08-26T07:13:00.005-07:002021-08-26T07:15:08.430-07:00BERSIMPUH DI PUSARA KIAI RONGGOWARSITO NGUDARASA SASTRA JAWA KIWARIMashuri *<br /> <br />Amenangi jaman edan<br />Ewuh aya ing pambudi<br />Milu edan nora tahan<br />Yèn tan milu anglakoni<br />Boya kaduman melik<br />Kaliren wekasanipun<br />Ndilalah karsa Allah<br />Begja-begjane kang lali<br />Luwih begja kang eling lawan waspada<div><br />(Serat Kalatida, Pupuh Sinom, Bait ke-7)<span><a name='more'></a></span><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg99VqgQ1VrMFyvmS6rqtzJZfTOVhEW6dHhYjidxiyF8Bb2A6B3EBcjsPwi2H6-8k2ppjLiEt0-MkVkVZosm2J07TQdJlorUnIhoGiA68kkthDWa0qUcLVHz3fZY0hPFbBwlreyHQfg-o2T/s448/Makam+Ronggowarsito+di+Palar.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="336" data-original-width="448" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg99VqgQ1VrMFyvmS6rqtzJZfTOVhEW6dHhYjidxiyF8Bb2A6B3EBcjsPwi2H6-8k2ppjLiEt0-MkVkVZosm2J07TQdJlorUnIhoGiA68kkthDWa0qUcLVHz3fZY0hPFbBwlreyHQfg-o2T/s320/Makam+Ronggowarsito+di+Palar.jpg" width="320" /></a></div><div><br />Pada akhirnya, sampai juga saya ke makam KRT Ronggowarsito (1802-1873) di
Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Klaten, pada 28 September 2018. Yeah, karena
dalam kurun waktu lama, saya hanya mampu wira-wiri di jalan Raya
Surabaya-Yogyakarta sepanjang 2010-2015 tanpa 'terpanggil' untuk turun dari
bus, lalu berziarah ke peristirahatan terakhir raksasa Sastra Jawa tersebut.<br /> <br />Siang itu, saya pun memaksa diri untuk turun dari bus Yogya-Solo. Kebetulan
saat itu saya barusan ada acara seminar sastra di Yogyakarta dan saya
menyampaikan kertas kerja terkait Babad Pacitan. Dari terminal Yogyakarta, saya
sudah berhasrat ke makam Ronggowarsito, sehingga saya naik bus rute Yogyakarta-Solo,
meskipun leletnya minta ampun. Kalau tidak begini dan naik bus patas jurusan
Yogyakarta-Surabaya, saya pasti ogah-ogahan turun, karena keburu tidur.<br /> <br />Begitu turun dari bus, sebagaimana biasa, sebelum saya mencari ojek menuju
Palar, saya makan dulu di sebelah barat pertigaan jalan, sebuah kedai mie Jawa.
Saya ngudap mie godok yang maknyus. Begitu perut kenyang, saya langsung mencari
ojek di pangkalannya. Di sana, sudah stand by seorang tukang ojek. Awalnya,
saya kira jarak jalan raya dan makam Kiai Ronggowarsito itu dekat, sehingga
saya menawar ongkosnya seperti orang memeras cucian baju yang akan dijemur.<br /> <br />“Biasa segitu, Mas. Malah, kalau ditambah, saya berterima kasih,” tutur
tukang ojek yang sudah berumur, sekitar 50-an tahun, sambil menyalakan motor
tua keluaran tahun 1990an.<br /> <br />Saya pun langsung melihat isi dompet. Menghitung berbagai peluang, supaya
dapat digunakan untuk balik Surabaya naik bus antarkota. Setelah memastikan
cukup, ditambah untuk membeli rokok djisamsu plus arem-arem plus tahu goreng di
terminal Solo, akhirnya saya pun mengordernya untuk berangkat saja. Mesin motor
tua meraung, dan dengan kekencangan yang bikin saya agak ngeri, motor itu
melaju ke arah selatan. Namun, di jalan, saya merasa, motor tidak kunjung
sampai. Wah, berarti ojeknya murah nih.<br /> <br />Benar saja, setelah melampaui beberapa kampung, dan lumayan jauh, ojek
berhenti di parkiran makam KRT Ronggowarsito.<br /> <br />“Pak, apakah Jenengan bisa menunggu saya?” tukas saya, begitu melihat
kondisi makam yang sepi, terlebih tidak ada tukang ojek di sana.<br /> <br />“Inggih, Mas!” seru tukang ojek, bungah. Saya membatin, tahu saja dia kalau
nanti ongkosnya akan saya tambah.<br /> <br />Namun, begitu menginjakkan kaki di sana, saya harus berhadapan dengan
beberapa oknum yang mengawal kotak amal. Setelah saya masukkan beberapa lembar
seribuan, saya baru dipanggilkan juru kunci. Setelah itu, saya diantar juru
kunci makam ke makam Kiai Ronggowarsito, dengan menyatakan, bahwa ‘oknum’ yang
di depan itu bukan juru kunci, tetapi dialah yang juru kunci. Bahkan, ia
menunjukan kunci secara harfiah, saat ia membuka cungkup makam dengan sebuah
kunci lawas. Saya memahaminya.<br /> <br />Saya pun masuk bangunan makam dengan arsitektur bergaya indies. Di sana,
ada makam induk Kiai Ronggowarsito, dan beberapa makam lainnya. Setelah
umik-umik sebentar sambil berdiri, saya pun mengambil beberapa gambar dengan
tustel. Lalu, sebagai orang yang sedang menyibukan diri dengan dunia sastra,
dan sok sibuk, saya pun bersila di depan pusara pujangga besar tersebut. Saya
memilih di bagian tengah pusara, tidak berani di bagian kepala. Biar tidak
dianggap kurang adab.<br /> <br />Ketika saya bersimpuh di depan jirat Kiai Ronggowarsito, yang terbuat dari
marmar dengan epitaf beraksara Jawa, entah kenapa, dalam benak saya, terjadilah
dialog imajiner sebagai berikut.<br /> <br />"Assalamualaikum, Kiai Bagus Burhan!" sapa saya.<br /> <br />"Waalaikum salam!" jawab
pujangga yang bernama aseli Raden Bagus Burhan tersebut.<br /> <br />"Saya dari tlatah Jawi Wetan, sedang belajar kabudayan Jawa,"
kata saya memperkenalkan diri.<br /> <br />"Bagus!" jawab pujangga yang pernah menjadi santri Kiai Ageng
Kasan Besari di Pesantren Tegalsari Ponorogo tersebut.<br /> <br />"Menurut Jenengan, bagaimana perkembangan sastra Jawa era
sekarang?" tanya saya, mengambil topik yang sesuai.<br /> <br />"Hmmmm. Apakah Susastra Jawa itu masih ada to?!" jawab beliau
dengan nada tanya.<br /> <br />"Masih, Kiai!"<br /> <br />"Siapa sekarang gerangan yang merasa memegang pulung wahyu kapujanggan?"
tanya dia.<br /> <br />"Modar!" demikian batin saya. Maaf, saya tidak berani meneruskan
menulis dialog imajiner saya di status compang-camping ini. Bukan konsumsi
publik, karena terlalu pelik. Ehm!<br /> <br />Saya pun menyudahi ngudarasa saya, ketika ada seorang pria ditemani dua
orang perempuan yang datang berziarah. Yang laki-laki agak tua, sedangkan yang
perempuan masih muda. Kedua perempuan agaknya dari jagat modern. Mereka berdua
berjeans, meskipun beda usia. Yang muda, rambutnya dicat semipirang. Saya tidak
mau menguping apa yang mereka gumamkan di depan pusara, karena sekilas saya
mendengar bahwa gumamnya bukan berbahasa Arab, tetapi Jawa.<br /> <br />Saya mundur, lalu keluar cungkup. Setelah memberi beberapa ribu rupiah ke
juru kunci resmi yang stand by di luar cungkup, saya pun melihat situasi
sekitar makam. Saya pun menuju makam Winter, ahli bahasa dan sastra Jawa, asli
Londo yang menjadi partner Ronggowarsito semasa hidup. Salah satu karya mereka
berdua adalah Kamus Bahasa Belanda—Bahasa Jawa. Saya ke pusara Winter karena ketika
tadi melangkah ke makam Ronggowarsito, saya melihatnya sekilas, tetapi saya
tidak berhenti di sana dan langsung ke makam Ronggowarsito. Setelah itu, saya
pun mengambil gambarnya.<br /> <br />Saya kira fenomena ini menarik. Semasa hidup, mereka berpartner dalam berkarya
di alam fana. Begitu beralih alam, mereka pun masih berdekatan, meski berposisi
berbeda. Kiai Ronggowarsito di dalam bangunan, sedangkan Winter dimakamkan di
luar dengan model kuburan Belanda.<br /> <br />Pada saat itulah, melesat sebuah puisi sederhana dari alam batin saya, saya
beri judul “Geografi Kontradiksi dalam Psike Kita yang Aduhai”. Entah kenapa,
saya merasa berziarah ke sana adalah sebuah pendakian bukit. Mungkin karena
dalam alam pikir saya, saya mempersepsi kedua sosok itu demikian menjulang
dalam olah kebahasaan dan sastra Jawa. Puisi yang aslinya bertarikh 2018 itu
saya edit ulang, lalu saya unggah ulang di Fesbuk pada Februari 2021, ketika
saya sedang berjalan-jalan di kawasan tempat Ronggowarito nyantri, yaitu di
Tegalsari Ponorogo.<br /> <br /><b>GEOGRAFI KONTRADIKSI DALAM PSIKE
KITA YANG ADUHAI</b><br /> <br />di atas bukit<br /> di antara rimbun pinus<br /> padang terbuka<br /> dan tetanduran paku<br /> menancap <br />kita menatap langit jiwa<br /> sebagai atap penopang rindu<br /> ---bernafas bebas<br /> seperti amsal penciptaan pertama<br /> atau kelahiran jabang dari
gerbang<br /> rahim garba<br />meski mulut kita tak henti meratap<br /> seperti pesakitan abadi<br /> terusir dari sorga<br /> ---terpenjara luka<br /> warisan dan sepi<br />ketika kita menuruni jalan setapak<br /> sampai di kaki
perbukitan<br /> kita pun merayap dalam bumi jiwa<br /> jawa<br /> melata di atas tanah sebagai
takdir<br /> tak habis-habisnya<br /> sambil
mendendangkan tembang<br /> kemolekan rembulan<br />meskipun bibir kita mendesis<br /> seperti ular penggoda<br /> pada adam-hawa<br /> menawarkan bisa indah<br /> tapi mematikan<br />tapi kita tak mungkin<br /> bersumpah 'demi waktu', bukan<br /> sebab pada gunduk tanah,<br /> rebah kayu<br /> kita adalah
rayap<br /> yang setia menghuni ruang gelap<br />sambil memburu cahaya<br /> dari sela akar rumput<br /> yang merindu penghujan<br /> hingga ajal menjemput<br />meskipun kita terlalu rutin<br /> membaptis diri sebagai tuhan<br />di sudut batin --yang berantakan<br /> <br />Palar, 2018/ Ponorogo, 2021<br /> <br />Tentu saja, ketika berbicara ihwal Ronggowarsto tidak ada habisnya,
meskipun kini yang teringat di benak orang Jawa hanyalah sekelumit. Salah
satunya adalah kondisi zaman edan, dengan peringatan eling lan waspada,
sebagaimana yang saya nukil di awal ngablak ini. Meskipun tafsir eling dan
waspada pun kini popular dengan plesetan, yaitu Eling kepada selingkuhan dan
waspada terhadap pasangan. Entah bagaimana awalnya, tafsir ngawur terhadap
ungkapan mashur “eling lan waspada” itu kini sedang ngetrend ditulis di
berbagai status pesbuk, di belakang bak truk, bahkan di dinding-dinding toilet
dan gubuk.<br /> <br />Sejatinya, tidak hanya ungkapan eling dan waspada saja yang dinisbatkan
pada sosok sastrawan Jawa legendaris tersebut. Yang tak kalah populernya adalah
ihwal zaman edan, ratu adil, dan berjuta-juta kearifan, misteri dan hal-ihwal
lainnya melekat pada sastrawan yang pernah dianggap sebagai pujangga penutup
Jawa tersebut.<br /> <br />Hingga kini, sosok ini memang unik dan ambigu. Bahkan, ada sisi-sisi
tertentu banyak orang yang belum tahu. Salah satunya bahwa pada masa mudanya,
ia dikenal sebagai santri super beling. Pada saat nyantri di Gebangtinatar,
alias Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo, pada Kiai Ageng Muhammad Kasan
Besari, Ronggowarsito menguji dirinya dengan mengembara dan pergi dari
pesantren tanpa berpamitan sang kiai, sebelum akhirnya kembali lagi ke
Tegalsari dan menjadi santri yang mumpuni. Ia nyantri di Tegalsari karena ayah
dan kakeknya, yaitu Ronggowarsito I, II, dan Yasadipura juga nyantri di sana.</div><div><br /> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh04WUSvdWURmoFAYbKikQ5h7Ug16jJroEQuUL1z4QBUX8kn244-pDCg4nGTokz0_NuK5cWoghA2dYnzmQAeIhu3SiOl_I1thjD67LFQsFbL3n4dfAsJDufYr7EvXE2eWLSEFTkLmPOYlk2/s448/Pondokan+Ronggowarsito+di+Tegalsari+Ponorogo.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="252" data-original-width="448" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh04WUSvdWURmoFAYbKikQ5h7Ug16jJroEQuUL1z4QBUX8kn244-pDCg4nGTokz0_NuK5cWoghA2dYnzmQAeIhu3SiOl_I1thjD67LFQsFbL3n4dfAsJDufYr7EvXE2eWLSEFTkLmPOYlk2/s320/Pondokan+Ronggowarsito+di+Tegalsari+Ponorogo.jpg" width="320" /></a></div><div><br />Di Tegalsari, masih dapat dilihat jejak-jejaknya. Sebuah rumah panggung,
alias pondokan, di depan Masjid Agung Tegalsari dan di samping Dalem Ageng
adalah saksi bisu ngalab ilmu dan ngelmu dari sang pujangga. Begitu pula
keberadaan sebuah batu besar di pinggir kali Tegalsari yang merupakan tempat
Sang Pujangga olah rasa, dengan cara mengasingkan diri untuk khalwat dan
menyepi. Selain Tegalsari, Ronggowarsito juga ngalab ilmu dan ngelmu ke
berbagai padepokan dan pesantren lainnya. Tak heran, karya-karya terasa ‘abadi’
dan memiliki kedalaman melampaui zamannya. Selain itu, pemahaman keagamaan dan
penghayatannya juga luar biasa.<br /> <br />Sebagai manusia Jawa, tentu saya merasa memiliki ikatan dengan sastra dan
budaya Jawa. Ketika masih berstatus mahasiswa di Universitas Airlangga, saya
kerap menulis puisi Jawa, selain puisi Indonesia tentunya. Bahkan, saya dan
kawan-kawan di kampus Karang Menjangan itu pernah membangun sebuah komunitas
sastra Jawa untuk menyantuni kawan-kawan yang memiliki kepedulian dan hasrat
menekuni dan memahami sastra dan budaya Jawa.<br /> <br />Memang, banyak orang yang tidak tahu bahwa pernah 'berdiri' sebuah
komunitas sastra Jawa di Universitas
Airlangga. Namanya menarik: Paguyuban Tiwikromo. Sebuah nama yang mengambil
spirit dari para manusia setengah dewa dalam dunia wayang purwa yang dilanda
'amuk' ketika menghadapi angkara murka, sebagaimana Yudhistira, Kresna, dan
lainnya. Sebenarnya, maksud sederhananya adalah pengerahan daya pikiran untuk
fokus tertentu, yaitu sastra Jawa.<br /> <br />Yeah, dapat dikatakan, itu adalah komunitas di dalam komunitas. Pasalnya,
yang aktif dan mendirikannya adalah anak-anak eksponen Komunitas Teater Gapus
dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar Surabaya. Bila Gapus adalah wadah
besar dan kebanyakan anggota resmi berstatus mahasiswa, Komunitas Luar Pagar
adalah alumni Gapus, yang dapat juga dikatakan sebagai kopasus-nya. Ehm.<br /> <br />Tiwikromo berdiri pasca-Reformasi 1998, dan diinisiasi oleh empat orang,
yaitu Widi Asy'ari (Ilmu Sejarah), Muhammad Aris (Sastra Indonesia), Gatot
Suryowidodo (Ekonomi Pembangunan), dan saya. Hal itu mengingat ada juga senior
komunitas yang juga gemar menulis guritan, di antaranya W Haryanto, Indra
Tjahyadi dan lainnya. Pada perkembangannya, ada juga yunior di Gapus yang
juga menggumuli guritan dan bergabung
Tiwikromo, yaitu Djoko Susilo, dan dia termasuk salah satu pendiri Pakarsajen
(Paguyuban Karawitan Sastra Jendra) yang hingga kini masih eksis di Unair.<br /> <br />Aktivitas Paguyuban Tiwikromo menjadi pemerkaya komunitas induk dan semacam
paseduluran dari beberapa mahasiswa yang agak njawani atau suka dengan hal-hal
berbau Jawa. Hal itu karena pada masa lalu, membuat komunitas di dalam
komunitas itu lumrah. Bukan untuk firqah tetapi sebagai semacam laku disposisi,
kadang juga hanya sebagai gaya-gayaan. Agar mbois!<br /> <br />Yang unik, tidak ada agenda formal dari Tiwikromo. Beberapa eksponennya
rajin membuat guritan dan dikirimkan ke media berbahasa Jawa, baik itu Panjebar
Semangat dan Jaya Baya (di Surabaya) maupun Djoko Lodang dan Mekarsari (di
Yogya). Selain itu, diskusi sambil lalu terkait dengan kejawaan, yang
dipungkasi dengan adu kesaktian. Ups! Maksudnya, berbicara tentang kejawaan
dari sisi yang berbeda.<br /> <br />Saya masih ingat ketika saya dipercaya sebagai pimpro peluncuran
"Manifesto Surrealisme" (2002) di Balai Pemuda, Surabaya. Kala itu,
arek-arek memang ugal-ugalan. Acara peluncuran buku puisi yang diterbitkan
Galah Yogyakarta bekerja sama dengan Luar Pagar itu didesain selama tiga hari
dengan rangkaian acara: diskusi, pertunjukan sastra dan pembacaan puisi. Adapun
salah satu sumber dananya adalah honor guritan
kawan-kawan yang dimuat di majalah Jaya Baya. Saya pun mendatangi kantor
redaksi sebagai tukang tagih. Meski waktu itu, honor pemuatan masih Rp. 15.000,
tapi lumayan karena rapelan.<br /> <br />Saya mencatat ada dua antologi tunggal dari kawan-kawan Tiwikromo, yang
keduanya diterbitkan dan disokong penuh oleh Komunitas Gapus. (1) Ilat Geni
karya Widi As'ari tahun 2004 (2) Lagon Mripat karya Muhammad Aris tahun
2007. Mudah-mudahan tahunnya benar.
Yeah, kedua kawan itu memang memiliki guritan dengan gaya unik dan khas. Bila
tidak salah ingat, peluncuran buku dilakukan di kampus, dengan rangkaian
diskusi dan perfom yang menghadirkan pembicara dari kalangan sastrawan Jawa di
Surabaya dan Gresik. <br /> <br />Dulu, saya juga berencana menerbitkan antologi tunggal berjudul
'Njengking', tapi karena file ngendon di komputer lama yang rusak, akhirnya
niat itu belum dapat terlaksana. Alasan lawas, Coy! Kini, jauh setelah pascakuliah,
eksponen Tiwikromo sudah menyebar ke mana-mana. Mudah-mudahan masih ingat pada
sastra Jawa. Bukankah sakbeja-bejane wong iku kang eling lan wapada? Gak
nyambung, Cak!<br /> <br />Adapun, kesadaran terkait pentingnya peran Ronggowarsito dalam jagat sastra
dan kebudayaan Jawa pun masih mengendap dalam alam kesadaran saya, meskipun
gaungnya samar-samar. Pada tahun 2015, kebetulan saya dipercaya untuk menggelar
serangkaian acara sarasehan sastra dan budaya oleh Balai Bahasa Jawa Timur.
Untuk menguak lebih jauh ihwal Ronggowarsita, baik itu sosok, teladan,
kearifan, karya, dan sepak terjangnya, saya menggandeng Lesbumi NU Jawa Timur
menggelar sarasehan tersebut.<br /> <br />Acara sarasehan bertajuk "Ngaji Ronggowarsito" digelar pada 23
Oktober 2015 di Gedung PWNU Jawa Timur, jalan Masjid Al-Akbar Timur No.9
Surabaya, pukul 15.00—selesai. Pembicaranya adalah KH. Reza Imam Yahya,
pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, yang tenar disapa Gus Reza dan Mas
Budi Palopo, seorang sastrawan Jawa. Acara dipandu oleh moderator Kiai Chamim Kohari,
sastrawan dan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, Jeruk Macan,
Mojokerto. Acara berlangsung menarik, karena Gus Reza menyuguhkan sesuatu di
luar yang diamini para sastrawa Jawa dan Mas Budi Palopo menyuguhkan sisi
Ronggowarsito yang berbeda.<br /> <br />Adapun terkait relasi saya dengan sastra Jawa, terutama wilayah kreatif,
memang kurang intens, meskipun secara de jure, saya dianggap sebagai salah satu
anggota PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya). Pascakuliah, saya
lebih suka meneliti karya sastra Jawa daripada menuliskannya dalam karya
kreatif. Meski demikian, sebenarnya, saya masih suka menulis gurit, walau entah
kenapa jarang saya publikasikan. Gurit yang saya tulis dalam waktu belakangan
ini adalah “Nandur Pangkur” berkolofon 14 Desember 2020. Gurit ini saya tulis
ketika belasungkawa selama Pandemi seperti ombak yang terus menepi ke pantai.
Saya membalutnya dengan kisah Panji. Apalagi pada saat itu, saya sedang membaca
buku karangan Ronggowarsito versi cetak modern, "Pandji Djajeng Tilam",
terbitan Balai Pustaka, tahun 1966.<br /> <br /><b>NANDUR PANGKUR</b><br /> <br />sun nandur pangkur<br /> ing mingkar-mingkure<br /> sabda luhur<br />nanging megatruh kang tuwuh<br /> saka teleng dhadha<br />----amarga pawarta kasidan<br /> kaya udan<br /> ngaruara<br /> sakindenging<br /> ngarcapada<br /> kaya pecahe tangis<br /> mbok randa<br /> kelangan kinasih putera<br /> : panji mbangun asmara<br /> ing kedung kanyatan<br />sun gelung duwung<br /> kang temlawung<br />saka rasa suwung<br />kaya biyung brang wetan<br /> mbabar kahanan<br />yen candra kirana mung<br /> kacipta ing dalu-dalu<br /> agung<br />kang kinepung mendung<br /> kidung<br /> asmaradhana<br /> o wangsit langit jiwa<br /> apata<br />tan ana tembang kang karipta<br /> ing gisik segara<br /> jawa<br /> kajaba sukma lungit<br /> ing wit-wit wingit<br /> lara-lapane jalma<br /> <br />Kahuripan, 14 Desember 2020<br /> <br />Kembali ke ziarah Kiai Ronggowarsito. Begitu keluar dari kompleks makam,
saya sempat melirik patung Ronggowarsito sebadan di dekat gerbang, yang di
bawahnya terdapat sebuah prasasti bertuliskan nukilan Serat Kalatida,
sebagaimana yang saya kutip pada awal ngablak. Sayangnya, tulisan itu sulit
diakses karena dijepit ruas pagar bercat oranye. Saya pun menuju tukang ojek
yang menunggu saya di bawah beringin kecil di tempat parkir sambil merokok.<br /> <br />Ketika saya sudah di atas jok motor, dan balik kembali ke ruas jalan
Solo—Yogya, saya seperti seorang pendaki, yang sedang menuruni sebuah bukit.
Ada harapan untuk kembali mendaki, dan menganggap pengalaman barusan seperti
kulit yang dicubit karena rasa gemas, sehingga tidak menyisakan sakit. Tentu
saja, dengan pendakian lagi yang berspirit progresif, semisal menerbitkan
sebuah buku puisi Jawa, meskipun tidak berupa karya eksperimental dan masih
bersandar pada geguritan konvensional, tetapi sedikit genit dan nakal! Ups!<br /> <br />MA, On Sidokepung, 2021<br /> <br />Ilustrasi: (1) Makam Ronggowarsito di Palar (2) Pondokan Ronggowarsito di
Tegalsari Ponorogo.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya
dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia
tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018,
bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas
memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul
prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan
Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal
terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua
pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas
Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas
pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan
Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/bersimpuh-di-pusara-kiai-ronggowarsito-ngudarasa-sastra-jawa-kiwari/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/bersimpuh-di-pusara-kiai-ronggowarsito-ngudarasa-sastra-jawa-kiwari/</a></span></p>
</div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-68247198296331856882021-08-26T07:09:00.004-07:002021-08-26T07:09:32.645-07:00Komentar Fatah Yasin Noor atas prosannya Taufiq Wr. Hidayat <b>Sastra Terdepan dan Sastra Terbelakang, mengenang Budi Darma</b><br /> <br />Karya sastra Budi Darma itu berat, sekaligus ringan. Keringanan sastra Budi
Darma melebihi karya sastra pop. Tokoh perempuan Olenka, akhirnya, berada pada
garis antara fakta dan fiksi. Dalam kenyataan, hampir semua pelukis punya mimpi
jahat soal cita-cita.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Tak ada pelukis di dunia yang murni, yang benar-benar murni hanya untuk
melukis. Boleh jadi Budi Darma tertawa sinis mendengar lagak bicara para
pelukis. Hatinya akan berbunga-bunga jika kritikus seni rupa mendaulat karyanya
mengandung penampakan jiwa yang sangar.<br /> <br />Olenka berhubungan dengan Fanton Drummond. Mungkin Budi Darma di alam sana
sekarang tersenyum simpul ada kritikus sastra mengatakan, bahwa novel Olenka
lebih berbobot dari novel Rafilus. Tidak. Baik novel Olenka maupun novel
Rafilus adalah senafas, sama-sama keluar dari paru-paru yang sama, tapi mengandung
bau napas yang tidak sama.<br /> <br />Lingkungan Amerika di musim salju berbenturan dengan udara panas di
Wonokromo Surabaya. Dada Rafilus yang mengandung besi tuang tentu tak bisa
mengembang jika Budi Darma saat menulis ada di Amerika yang dingin. Soal
menulis cepat langsung jadi novel, kata kritikus seni rupa, itu sama dengan aliran
ekspresionis. Terserahlah.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">26 Agustus 2021 <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/komentar-fatah-yasin-noor-atas-prosannya-taufiq-wr-hidayat/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/komentar-fatah-yasin-noor-atas-prosannya-taufiq-wr-hidayat/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-64578270915794813002021-08-24T19:51:00.003-07:002021-08-24T19:51:18.001-07:00Dapur Sastra Jakarta, Remmy Novaris DM, dan Enam Puluh<b>Pengantar kumpulan puisi “Sebutir Garam di Secangkir Air”<br />60 puisi karya penyair Dapur Sastra Jakarta</b><br /> <br />Riri Satria *<br /> <br />Ide penulisan buku kumpulan puisi ini sebenarnya adalah untuk memperingati
ulang tahun ke-60 pendiri Dapur Sastra Jakarta, Bang Remmy Novaris DM, tanggal
5 November 2018. Tanggal ini juga diperingati sebagai ulang tahun Dapur Sastra
Jakarta.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Dengan demikian, tanggal 5 November 2018 diperingati sebagai hari ulang
tahun Bang Remmy ke-60, sekaligus ulang tahun Dapur Sastra Jakarta ke-7.<br /> <br />Angka 60 ternyata memiliki banyak makna. Jika kita buka literatur tentang
numerologi (affinity numerology), maka kita mendapatkan angka 60 bermakna
keluarga (family), rumah (home), harmoni (harmony), idealism (idealism),
penyembuhan (healing), serta pengasuhan (nurturing).<br /> <br />Dalam matematika, angka 60 sangat terkait dengan bilangan prima walaupun
dirinya sendiri bukanlah bilangan prima. Angka 60 dibentuk oleh dua bilangan
prima yaitu 29 + 31. Angka 60 juga dibentuk oleh empat bilangan prima berurutan
yaitu 11 + 13 + 17 + 19.<br /> <br />Angka 60 diapit oleh dua bilangan prima yaitu 59 dan 61. Ini melambangkan
bahwa 60 itu dibentuk dan dikawal oleh bilangan prima yaitu bilangan
non-komposit alias bilangan yang tidak bisa diuraikan lagi sehingga kokoh dan
kuat.<br /> <br />Angka 60 juga mewakili perjalanan semesta atau waktu. Satu menit setara
dengan 60 detik, dan satu jam setara dengan 60 menit. Mengapa angka 60 yang
dipergunakan? Karena 60 adalah angka yang paling tepat atau “sempurna” untuk
menjelaskan ukuran-ukuran waktu tersebut. Berarti ada yang istimewa dengan
angka 60.<br /> <br />Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Dapur Sastra Jakarta
adalah rumah sekaligus keluarga buat para anggotanya untuk penyalurkan
idealisme dalam berkarya sastra. Dengan berkarya sastra, diharapkan kita
mencapai keharmonisan alam semesta dalam pikiran dan ruh, serta menyembuhkan
berbagai hal dalam kehidupan.<br /> <br />Dapur Sastra Jakarta juga tempat untuk tumbuh kembang bersama para
anggotanya, saling asah, asuh, dan asih, untuk meningkatkan kemampuan berkarya
lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Dapur Sastra Jakarta dibangun oleh para
anggotanya yang memiliki semangat dan kekokohan dalam berkarya. Semuanya ini
melambangkan makna dari angka 60.<br /> <br />Sementara itu dalam perjalanan hidup manusia, usia 60 melambangkan
kematangan, di mana seseorang tidak lagi memikirkan hal-hal yang duniawi,
mengabdikan hidupnya untuk menebar kebaikan, serta membina generasi yang lebih
muda.<br /> <br />Demikian pula dengan sosok pendiri Dapur Sastra Jakarta, Bang Remmy, yang
pertama kali saya kenal pada bulan Maret tahun 2013. Di balik penampilannya
yang bersahaja, tersimpan rekam jejak yang sangat panjang pada dunia sastra di
Indonesia. Dia adalah seorang sastrawan yang banyak menulis puisi, cerpen,
esei, kritik, dan skenario. Tulisan-tulisannya pernah dipublikasikan di media
cetak dan eletronik.<br /> <br />Kiprah kepenyairannya sudah dimulai sejak tahun 1976 sewaktu masih siswa
SMA ikut Dapur Sastra Bulungan. Sebelas tahun kemudian, tahun 1987 diundang
pada Penyair Muda di Depan Forum Dewan Kesenian Jakarta. Pada awal 1980-an
pernah aktif di Bengkel Sastra Ibukota.<br /> <br />Sejak remaja Bang Remmy sudah aktif menulis di berbagai media ibu kota dan
daerah. Sejumlah cerpennya pernah dimuat majalah Gadis, majalah Sarinah,
majalah Anita Cemerlang, majalah Hai, koran Tribun Olah Raga, koran Jawa Pos,
koran Media Indonesia, koran Sinar Harapan, dan lain-lain, serta pernah menjadi
pemenang penulisan puisi pada Ulang Tahun Sinar Harapan ke-12.<br /> <br />Pada tahun 1996, Bang Remmy ditunjuk oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai
koordinator pelaksana serta kurator yang memilih 90-an penyair dari seluruh
daerah di Indonesia untuk Pertemuan Sastra Mimbar Penyair Abad 21 di Jakarta.<br /> <br />Saya pernah mengatakan kepada Bang Remmy, “Jika seorang Remmy mampu menulis
sastra dengan baik, tentu sudah biasa, bukan lagi hal yang menakjubkan. Tetapi
jika seorang Remmy mampu mendidik generasi yang lebih muda sahingga mampu
menulis sastra lebih baik daripada dirinya, maka ini sangat mengagumkan”. Saya
kira, inilah yang ingin diwujudkan oleh Bang Remmy melalui Dapur Sastra
Jakarta.<br /> <br />Ini jugalah yang membuat saya merasa satu visi dengan Bang Remmy dan
membuat saya merasa memiliki chemistry yang sama dengan Bang Remmy dan ikut
serta mengelola Dapur Sastra Jakarta membantu Bang Remmy dan para penulis
senior lainnya seperti Bang Adek Alwi, Mbak Nunung, Pak Irawan, Ncang Salimi,
dan Pak Sunu. Suatu kehormatan buat saya bisa bekerjasama dengan mereka.<br /> <br />Tidak berlebihan juga jika saya mengatakan bahwa Bang Remmy juga guru saya
dalam hal sastra terutama puisi. Saya dan Bang Remmy banyak berbincang tentang
filsafat sastra, dunia perpuisian, bahkan sampai politik sastra.<br /> <br />Bang Remmy adalah orang yang berperan untuk “memprovokasi” saya untuk
“berani” menulis dengan menggunakan nama asli Riri Satria pada tahun 2013.
Sebelumnya saya tidak percaya diri, dan selalu menulis puisi menggunakan nama
pena.<br /> <br />Bang Remmy pernah mengatakan kepada saya bahwa dengan kekayaan disiplin
ilmu lainnya, semua istilah yang ada bisa memperkaya puisi. Jadi puisi tidak
hanya persoalan daun, pantai dan lautan, bulan dan matahari, tapi juga
garis-garis linier dan horisontal dalam grafik, prosentase dan lainnya, kondisi
sesial ekonomi, relativitas fisika, dan sebagainya. Bahkan banyak penyair yang
berhasil karena memiliki kemampuan eksakta yang kuat. Menarik bukan?<br /> <br />Satu lagi, Bang Remmy juga mampu beradaptasi dengan perkembangan dunia
terkini, yaitu dunia digital, dunia internet, sehingga Bang Remmy tidak
terjebak dalam dikotomi sastra koran atau sastra internet. Buat Bang Remmy,
dunia digital atau internet adalah sutu keniscayaan yang harus diterima, tidak
lagi diperdebatkan, melainkan kita harus mencari jalan terbaik untuk
memanfaatkannya secara optimal.<br /> <br />Selamat ulang tahun ke-60 Bang Remmy Novaris DM, sehat selalu, terus
berkarya, dan tetap membimbing generasi yang lebih muda dalam dunia sastra.
Semoga angka 60 tersebut juga masuk ke dalam roh Dapur Sastra Jakarta sehingga
tetap menjadi tenpat berkarya yang menyenangkan, penuh kekeluargaan, tenpat
menyalurkan idealisme, dan memberi pengaruh atau kontribusi kepada dunia sastra
Indonesia.<br /> <br />Salam kreatif.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Konsultan, dosen, peneliti, penulis puisi, tinggal di Bogor. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/dapur-sastra-jakarta-remmy-novaris-dm-dan-enam-puluh/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/dapur-sastra-jakarta-remmy-novaris-dm-dan-enam-puluh/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-51414390541840837782021-08-24T19:49:00.004-07:002021-08-24T19:49:31.414-07:00PecundangRemmy Novaris DM<br />sinarharapan.co.id<br /> <br />Isu PHK semakin ramai di pabrik dalam beberapa minggu terakhir ini. Isu itu
tentu saja membuat semua karyawan yang bekerja di pabrik itu kehilangan
semangat bekerja. Mereka hanya duduk-duduk ngobrol atau bermain kartu. Mereka
seolah-olah tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan.<br /> <br />Dan Tarno, salah seorang karyawan yang bekerja di bagian teknik, mengalami
hal yang sama seperti karyawan lainnya. Tapi ia kemudian berpikir, bahwa ia
tidak dapat terus menerus seperti itu, karena ia punya tanggung jawab keluarga.
Ia tentu saja tidak ingin istri dan anak-anaknya terlantar.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Lantas apa yang aku harus lakukan? Pikir Tarno, suatu siang, di sebuah
warung di belakang pabrik. Ia baru saja merampungkan makan siangnya. Sesekali
ia menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan tiupan panjang.
Ia seolah-olah ingin menghembuskan kepengapan yang menyelimuti rongga dadanya.
Sementara itu tatapan matanya menerawang ke arah cerobong-cerobong asap pabrik
yang menjulang seperti sejumlah jari-jari yang mencoba mencakar langit. Tarno
membandingkan kepulan asap rokoknya dengan kepulan asap cerobong pabrik di mana
ia bekerja.<br /> <br />Samakah dengan kepulan asap dapur ratusan karyawan yang bekerja di
dalamnya? Pikir Tarno sekilas. Dan sekilas pula terbayang olehnya sebuah
bayangan yang ingin segera ditepisnya. Jika isu PHK itu benar-benar akan
dilakukan oleh pihak perusahaan, ia tidak saja membayangkan nasib keluarganya
sendiri, tetapi juga seluruh keluarga karyawan yang bekerja di pabrik itu. Ke
mana mereka semua akan mencari pekerjaan? Apalagi dalam situasi politik dan
ekonomi yang tidak jelas seperti sekarang ini? Apa sebenarnya alasan pihak
perusahaan ingin melakukan PHK? Apakah pihak perusahaan tidak sanggup lagi
membayar pajak atau ingin melakukan efesiensi pekerjaan? Meningkatkan kecepatan
dan kualitas kerja dengan menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin?<br /> <br />Sesaat Tarno menghela napas panjang dan mencoba menepis pertanyaan itu dari
benaknya. Ia tidak ingin memikirkan hal itu lebih jauh lagi. Sebab semakin jauh
ia memikirkan hal itu, ia semakin merasa harus melakukan sesuatu yang bukan
tidak mungkin hanya akan menyeretnya kembali ke masa lalu. Terutama ketika ia
menjadi aktivis mahasiswa dan menentang sistem-sistem kekuasaan yang kemudian
berakhir di sebuah ruang sempit dan pengap selama beberapa tahun lamanya.
Akibatnya, bukan saja ia tidak dapat meneruskan kuliahnya, tapi lebih jauh dari
itu ia dipecat dari perguruan tingginya sebagai seorang mahasiswa. Tetapi yang
lebih menyakitkan hatinya, ia ternyata dihianati teman-temannya sendiri. Dan
temannya itu bukan saja hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga
sekaligus merebut orang yang paling dicintainya di kampus dan akan segera
dinikahinya. Sehingga, begitu ia keluar dari tahanan, ia tidak saja tidak dapat
menemui calon istrinya, tetapi juga teman-teman seperjuangannya. Mereka semua
ternyata telah berubah pendirian, terutama teman-temannya bukan saja yang
mendapatkan jabatan-jabatan penting, tetapi juga yang duduk di bangku-bangku
perwakilan rakyat. Mereka semua menjawab bahwa perjuangan mereka saat itu
adalah masa lalu dan hanya romantisme kemahasiswaan.<br /> <br />Tarno mematikan sisa putung rokoknya di piring bekas makan siangnya dengan
sedikit tekanan. Ia seolah-olah ingin menekan seluruh kegetiran yang
dialaminya, membayangkan begitu jauh perbedaannya dengan teman-teman
seperjuangannya. Ia mundur begitu jauh ke belakang untuk melupakan semua itu.
Selepas dari tahanan ia pulang ke desanya di kaki gunung Slamet dan mencoba
menjadi petani di sana. Ia mencoba menjadi orang desa dan membiarkan dijodohkan
orang tuanya dengan anak gadis Pak Carik. Tetapi Pak Carik mempunyai ambisi
tertentu untuk menjadi lurah dan memanfaatkan dirinya sebagai seorang mantan
aktivis. Ia diminta oleh Pak Carik untuk melakukan demonstrasi terhadap
calon-calon lurah lainnya. Bahkan kalau perlu melakukan berbagai cara untuk
menghajar calon-calon lainnya sehingga mereka mau mundur dari pencalonan
sebagai calon lurah. Bahkan kalau perlu melakukan tindakan-tindakan fisik
dengan membakar sawah ladang mereka sehingga gagal panen. Mendengar semua
rencana itu ia kemudian memilih meninggalkan desanya dan kembali ke kota
memboyong istri dan anak-anaknya. Ia kemudian kontrak rumah di pinggiran kota
di lingkungan industri dengan harapan ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan
mudah di salah satu pabrik. Apa yang ia harapkan ternyata kemudian terpenuhi.
Salah seorang tetangganya yang bekerja sebagai mandor di salah satu pabrik
mengajak bekerja di pabriknya. Dan semula ia bekerja di bagian pengepakan,
tetapi kemudian ke bagian teknik. Bahkan karena kepeduliannya terhadap
teman-teman sekerjanya, beberapa bulan kemudian ia dipercayakan teman-teman
sekerjanya sebagai ketua kelompok.<br /> <br />Sesaat Tarno menghela napas panjang memikirkan apa yang dialaminya. Ia
sungguh merasa cukup tenang bekerja di pabrik itu selama beberapa bulan. Paling
tidak ia mulai mendapatkan sedikit harapan untuk membangun masa depan dan
keluarganya. Tapi sekarang dengan adanya isu PHK itu, ia merasakan ketenangannya
mulai terganggu.<br /> <br />“Waduh, Mas Tarno, saya cari-cari ternyata ada di sini.” Hasan, salah
seorang teman sekerjanya, menyentak lamunan Tarno. “Ngelamunin apa, Mas?” Hasan
berbasa-basi sambil meraih bungkus rokok Tarno yang tergeletak di meja. Ia
mengambil sebatang dan menyelipkan pada bibirnya dan menyulutnya.<br /> <br />Tarno tidak segera menjawab pertanyaan Hasan. Ia hanya mencoba menduga-duga
kabar apa yang akan disampaikan Hasan padanya. Ia sudah hafal betul kebiasaan
temannya yang satu ini kalau sudah mencarinya. Ia hanya memberikan isyarat
kepada pemilik warung untuk membersihkan mejanya.<br /> <br />“Lha, saya duduk, Mas mau pergi.” Hasan merasa kurang enak. “Saya tidak
minta ditraktir, kok, Mas,” katanya lagi.<br /> <br />“Siapa yang mau traktir kamu dan siapa yang mau pergi,” Tarno menimpali.
“Saya cuma ingin meja ini bersih,” sambungnya lagi.<br /> <br />“Syukurlah kalau Mas tidak buru-buru. Soalnya saya ingin kasih tahu sama
Mas soal isu PHK itu,” kata Hasan dengan nada penuh penekanan.<br /> <br />“Kenapa memangnya?” Tarno menimpali agak dingin, meskipun memunculkan rasa
ingin tahunya. Paling tidak ia ingin tahu apakah isu itu benar atau tidak.<br /> <br />“Ternyata isu itu berkembang lebih jauh lagi. Besok atau lusa seluruh
karyawan pabrik akan melancarkan aksi mogok. Dan saya mendukung aksi itu sepenuhnya,
Mas.” Hasan menyampaikannya dengan penuh antusias. “Soalnya kalau tidak kita
lawan kapitalis-kapitalis itu, Mas? Kapan lagi?”<br /> <br />Sesaat Tarno hanya menghela napas panjang mendengarnya. Pengalamannya
sebagai seorang aktivis sudah terlalu bosan mendengar bahasa atau istilah
slogan seperti itu.<br /> <br />“Kenapa, Mas. Mas tidak setuju?” tanya Hasan memperhatikan sikap Tarno.<br /> <br />“Bukan tidak setuju?,” sahut Tarno tenang. “Persoalannya apakah kita sudah
tahu persis apakah isu itu benar atau tidak. Kedua, apa saja yang jadi tuntutan
aksi mogok itu. Ketiga, siapa yang akan memimpin aksi pemogokan itu.” Tarno
mengingatkan.<br /> <br />“Semuanya sudah Mas. Dan Mas Budi dari bagian transportasi yang akan
memimpin kita. Dia orang baru di pabrik ini, tapi pikiran-pikirannya bagus,
Mas. Terutama kita menuntut dibentuknya serikat buruh di pabrik ini supaya
pihak perusahaan tidak bersikap sewenang-wenang terhadap kita,” kata Hasan
masih penuh semangat.<br /> <br />“Mas Budi?” tanya Tarno. Nama itu mengingatkannya pada seseorang ketika ia
menjadi aktivis. Tapi bukankah banyak orang mempunyai nama yang sama dengan
nama itu? Pikir Tarno. Dan ia hanya berharap nama itu bukan nama seseorang yang
pernah dikenalnya sebagai seorang aktivis yang menghianatinya.<br /> <br />“Memangnya kenapa, Mas?”<br /> <br />“Tidak apa-apa?,” kilah Tarno. “Kamu masih mau di sini?” Tarno berdiri dari
kursinya dan menghampiri pemilik warung dan membayar apa yang dimakannya tanpa
menunggu jawaban Hasan.<br />***<br /> <br />Tarno memperhatikan jam dinding di ruang tamu rumahnya. Sudah pukul sepuluh
malam. Isteri dan anak-anaknya sudah tidur pulas. Ia sendiri belum merasa
mengantuk. Padahal, biasanya, pada jam-jam seperti itu ia sudah tidur nyenyak.
Udara ia rasakan sangat pengap, sepengap pikirnya mengenai aksi pemogokan yang
akan dilakukan seluruh karyawan. Ia sama sekali tak menduga bahwa isu PHK itu
berkembang begitu cepat. Dan nalurinya sebagai seorang mantan aktivis
seolah-olah memberi isyarat padanya, bahwa semua isu mengenai PHK dan pemogokan
itu sebuah rekayasa.<br /> <br />Gila! Tarno mengumpat sendiri. Bukankah dengan aksi pemogokan itu pihak
perusahaan mempunyai alasan untuk melakukan PHK terhadap karyawan yang tidak
disiplin. Apalagi di dalam perusaan belum ada persatuan perburuhannya? Pikir
Tarno. Pada saat itu juga ia ingin pergi ke rumah Hasan dan memberitahukan hal
itu. Tapi ia kemudian ragu, bahwa dalam situasi seperti itu orang terdekat
sekalipun sulit dipercayainya. Ya, jangan- jangan Hasan sendiri orang yang
terlibat dalam konspirasi itu. Dan ia tentu saja tidak ingin terjebak untuk
kesekian kalinya.<br /> <br />Lantas apa yang aku harus lakukan? Membiarkan semuanya terjadi? Dan siapa
Budi yang dimaksudkan Hasan? Nama itu mengingatkan Tarno pada teman sesama
aktivisnya yang ternyata adalah salah seorang anggota intel kepolisian. Tarno
baru mengetahui hal itu setelah ia mendekam di dalam tahanan dan Budi
menawarkan kerja sama padanya. Jika ia mau bekerja sama dengan pihak
kepolisian, maka ia akan dengan cepat dibebaskan. Ia tentu saja menolak karena
sudah terlalu banyak rekan-rekan mahasiswa yang menjadi korban. Bukan saja tewas
karena peluru aparat, tetapi juga hilang. Akibat dari penolakannya itu, ia
dijatuhi hukuman berat dan dituduh subeversif karena melawan sistem kekuasaan.
Waktu itu ia pun hanya bisa pasrah, ketika ia dipindahkan dari satu tahanan ke
tahanan lainnya, karena bukan tidak mungkin ia akan mengalami hal yang sama
seperti rekan-rekan mahasiswa lainnya bahwa ia mungkin akan di bunuh di suatu
tempat. Tetapi ia bersyukur hal itu tidak terjadi, karena ia dapat meloloskan
diri dan meminta perlindungan dari sebuah lembaga hukum.<br /> <br />Pada saat Tarno memikirkan semua itu, Hasan tiba-tiba saja muncul di teras
rumahnya.<br /> <br />“Mas Tarno? Gudang pabrik dibakar orang!” Hasan mengatakan dengan
terpatah-patah di sela-sela napasnya yang memburu.<br /> <br />“Yang benar, San?”<br /> <br />“Kita lihat ke sana!” desak Hasan.<br /> <br />Tarno kemudian mengikuti Hasan menuju ke pabrik melalui pintu gerbang
pabrik bagian belakang. Ketika mereka sampai di sana api tampak mulai membakar
dinding gudang pabrik.<br /> <br />“Pak Krisno dan Pak Uyung ke mana San?” tanya Tarno karena tak melihat
kedua Satpam itu.<br /> <br />“Saya coba cari mereka ke depan, Mas!” kata Hasan seraya berlari menuju
gerbang pabrik bagian depan, meninggalkan Tarno sendiri berusaha memadamkan
api.<br /> <br />Beberapa saat kemudian Pak Krisno dan Pak Uyung muncul setengah berlari
menghampiri Tarno. Kedua satpam itu segera menyergap Tarno yang berusaha
memadamkan api.<br /> <br />“Kurang ajar kamu!” kedua satpam itu memukuli Tarno.<br /> <br />“Saya?” Tarno berusaha menjelaskan persoalan yang sebenarnya, bahwa mereka
salah paham, tapi setiap kali ia mencoba membuka mulut, sebuah pukulan
menghantam wajahnya. Dan ia berharap Hasan segera muncul dan meredakan amarah
kedua satpam, tapi sampai ia tersungkur dan tak mampu berdiri serta matanya
mulai kabur, ia tak juga melihat Hasan berada di sekitarnya.<br /> <br />“Kita bawa saja ke kantor polisi, Pak!” kata seseorang dan Tarno seperti
pernah mengenal suara itu. Suara yang sangat di kenalnya sewaktu menjadi
aktivis mahasiswa.<br /> <br />Tarno berusaha membuka kelopak matanya yang robek. Meskipun tatapan matanya
mulai mengabur, sosok Budi tampak jelas di matanya. Tarno pun seketika sadar,
bahwa ia telah masuk dalam sebuah perangkap atau jebakan seperti apa yang
dialami sebelumnya. Hanya saja ia tak mengerti, kenapa ia yang selalu
diajadikan umpan atau kambing hitam. Dan ia tak tahu sampai kapan ia akan terus
menerus dijadikan pecundang.<br /> <br />Tarno pun hanya dapat memejamkan matanya menahan sakit di sekujur tubuhnya,
ketika ia diseret dan dilemparkan di atas lantai yang dingin di ruang kantor
satpam.<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">TBC -Jakarta 2002 <a href="http://sastra-indonesia.com/2010/11/pecundang/">http://sastra-indonesia.com/2010/11/pecundang/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-68615172120881766412021-08-23T05:40:00.001-07:002021-08-23T05:40:23.926-07:00Komentar Dwi Pranoto mengenai Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia oleh tengara.id<p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9LDwm3KrjHYNaL7X_g9l3gL9ceKJeTMm6n_pjPYV8QOMjmMP1Py91fINW_OTh5c_8LJk5cFach-RwOjhRT7Vf3Jv-J-fY8ZkBJCetJZUrpPyaO1ohfp0-hWqa2TRYLhjvZpULJAaWglg/s339/Dwi+Pranoto.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="339" data-original-width="336" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9LDwm3KrjHYNaL7X_g9l3gL9ceKJeTMm6n_pjPYV8QOMjmMP1Py91fINW_OTh5c_8LJk5cFach-RwOjhRT7Vf3Jv-J-fY8ZkBJCetJZUrpPyaO1ohfp0-hWqa2TRYLhjvZpULJAaWglg/s320/Dwi+Pranoto.jpg" width="317" /></a></p><a name='more'></a><div>Bila kita asumsikan “Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia” tengara.id itu di dasarkan pada distant reading-nya Franco Moretti, alangkah ngawurnya pernyataan yang menghapus kekhasan dalam sastra karena terlalu banyak kekhasan, “Era Kekhasan sudah berlalu, tentu bukan berarti menganggap semua sastrawan Indonesia hari ini menulis dengan cara yang sama. Justru sebaliknya, ada terlalu banyak kekhasan . . .”. Moretti itu memindahkan pengelompokan “angkatan”, dengan demikian pengelompokan kekhasan” dari Kurun Waktu ke Ruang Geografis. Meminjam teori sistem dunia, Moreti memilah ruang geografis itu menjadi core, semi-periphery, dan periphery. Pemilahan space ini mengekspresikan unequal world, sementara sistem ekonomi kapitalisme global mengekspresikan one world. Kekhasan dalam Moretti yang dideskripsikan bersama diversifikasi spesies dalam teori evolusi kemudian disesuaikan secara “teknis” menjadi divergensi dan konvergensi.<br /> <br />Lalu di mana letak teknologi I.T dalam teori distant reading? Teknologi komputer I.T tidak dirujuk sebagai pengalaman terinternalisasi yang membentuk perubahan sensibilitas. Teknologi I.T hanya digunakan sebagai peranti. Moretti tidak mengenal sensibilitas, distant reading mereduksi kualitas-kualitas insaniah menjadi ciri-ciri morfologis bentuk sastra dan fungsi karakter dalam sistem jaringan.<br /> <br />23 Agustus 2021<br /> <br />Link terkait:<br /><a href="https://tengara.id/editorial/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia/"><span lang="IN">https://tengara.id/editorial/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia/</span></a><br /><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/08/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/</span></a><br /> <br />Atau baca di bawah ini:<br /> <br /><b>Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia</b><br />oleh tengara.id<br /> <br />Dari rak terdepan sastra Indonesia, kita bisa lihat samar-samar kemunculan suatu generasi baru yang satu-satunya kesan paling menonjolnya adalah nyaris tiadanya kesan yang menonjol. Jika kita menjumpai mereka di jalan, akan sulit kiranya membedakan sosok mereka dari orang yang lahir 30 tahun lalu, tiga tahun lalu, atau 30 tahun yang akan datang. Ini bukanlah suatu gugatan pada generasi sekarang, justru sebaliknya. Izinkan kami menjelaskan.<br /> <br />Zaman dahulu kala, sewaktu sastra Indonesia baru bisa bilang “aku,” orang kerap memberi nama pada suatu angkatan. Ibarat IMEI pada ponsel cerdas, setiap sastrawan selalu memiliki kode unik: 45, 50, 66, 70, 80, 98, 2000. Setiap nomor itu, tentu saja, melambangkan semacam jiwa. Ada suatu keresahan bersama, semangat zaman yang sama dan akhirnya juga inspirasi dan bentuk pengucapan yang serupa. Dalam sejarah ini, setiap sastrawan memiliki kedudukan dalam sejarah masing-masing dan kesamaan jiwa mereka diresmikan oleh suatu tonggak: “Di sini terbaring novelis A dari angkatan Z.” Sebuah gaya sastrawi, atau jiwa, diresmikan sebagai sepotong batu nisan.<br /> <br />Kalau setelah tahun 2000 kita tidak lagi memiliki kode unik untuk angkatan, tentu itu bukan karena kita kekurangan imajinasi atau karena—yang artinya sama saja—kita tidak mungkin mendefinisikan zaman kita sendiri. Soalnya bukan ada pada kita, para kritikus zaman kini, atau pada sastrawan generasi sekarang, melainkan pada masa kini. Hari ini semua sejarah telah menjadi kini, semua tempat sampai juga ke sini: teknologi informasi memungkinkan masa lalu dialami sebagai masa kini dan Paris dialami sebagai Jakarta. Jarak yang memisahkan Chairil dari Rich Brian sama dengan jarak yang memisahkan Covid dari Ovid: satu klik, satu swipe. Dalam zaman seperti ini, setiap sastrawan mengakses semuanya dan diakses oleh semuanya. Semua itu membentuk kontur generasi sastra Indonesia hari ini: sebuah generasi yang adalah penjumlahan dari semua generasi.<br /> <br />Puluhan tahun lalu, para kritikus dan sastrawan kita berdebat tentang sastra saiber. Di antara berbagai hal menarik tentang internet, mereka memilih berpolemik tentang perbedaan antara cerpen di koran dan blog. Sementara hal yang lebih krusial, bagaimana internet mengubah struktur pengalaman sastrawan Indonesia, cenderung luput dibicarakan. Padahal justru transformasi sensibilitas itulah yang membentuk watak generasi sekarang. Pada sebuah zaman ketika terlalu banyak kanon berlintasan di media sosial (mulai dari Awkarin sampai seleb Tiktok yang viral siang ini), sebetulnya logika kanon, tonggak dan hikayat sastrawan besar sudah tidak lagi bekerja. Ikut hanyut pula bersamanya: suatu ciri khas sastrawi, suatu keunikan rohani, dari sebuah angkatan. Ekosistem serba-serentak di era digital ini tidak mungkin lagi menunjang keberadaan dinosaurus yang berpengaruh: makhluk-makhluk legenda dari zaman analog. Atas dasar itu, kita boleh curiga, jangan-jangan pandangan kita tentang sastra dan kritik sastra hari ini tidak akan adil tanpa mengakui kekhasan generasi ini, yakni bahwa inilah sebuah generasi tanpa kekhasan.<br /> <br />Mengatakan bahwa Zaman Angkatan telah lewat, bahwa Era Kekhasan sudah berlalu, tentu bukan berarti menganggap semua sastrawan Indonesia hari ini menulis dengan cara yang sama. Justru sebaliknya, ada terlalu banyak kekhasan akibat interaksi superintensif dalam berbagai platform komunikasi sehingga “kekhasan angkatan” menjadi kategori yang tidak lagi membantu kita melihat perkaranya dengan jelas. Bahkan jika seorang pemodal ventura hari ini memutuskan—entah karena waham apa—untuk pensiun dini dan membacai karya sastra Indonesia dua dasawarsa terakhir, hampir pasti ia akan tidak henti-hentinya menemukan kekhasan hingga akhir hayatnya. Ini juga bukan kondisi unik sastra Indonesia, melainkan terjadi pula dalam apa yang kadang kita sebut, dengan agak gemetar, sebagai “sastra dunia”. Contoh paling terang adalah pergeseran paradigma kritik sastra sejak awal abad ke-21: pembacaaan jauh (distant reading) yang diperkenalkan Franco Moretti.<br /> <br />Menurut tradisi sastra adiluhung yang kita kenal sebagai modernisme, kritik sastra adalah sejatinya pembacaan dekat (close reading). Sejak Cleanth Brooks, kritikus membaca karya sastra seperti arkeolog menekuri sepotong guci Yunani. Pascamodernisme datang membongkar segala tabiat modernisme, kecuali pembacaan dekat; bahkan Derrida mengajak kita untuk membaca yang taktertulis dengan membaca lebih dekat dan lebih pelan lagi. Saking dekat dan pelannya, para kritikus ini tidak lagi membaca: mereka mengeja. Kritikus kita pun mengikuti kecenderungan ini hingga kritik sastra di Indonesia hampir identik dengan pembacaan dekat atas teks.<br /> <br />Akan tetapi, Franco Moretti bersama para koleganya di Stanford Literary Lab memperlihatkan bahwa kadang-kadang cara terbaik untuk membaca adalah dengan tidak sungguh-sungguh membaca. Apa yang diperlukan adalah justru mengambil beberapa langkah menjauh dari teks, meninjau himpunan teks sepintas lalu, dan memanfaatkan algoritma komputer untuk menemukan pola dari belasan ribu karya sastra. Berkat peranti humaniora digital yang mereka gunakan, kita kemudian tahu, kekhasan sastrawi terlalu dilebih-lebihkan dan apa yang mengemuka sebagai gantinya adalah sistem sastra dunia (literary world-system). Ini adalah hubungan saling-pengaruh yang rumit antara sastrawan, kritikus dan pembaca, lengkap dengan segala ketimpangan ekonomi-politik dan ketidakmerataan akses di sana-sini. Dalam sup sastra dunia itu, kekhasan hanya mungkin sebagai blurb. Inilah juga keadaan sastra dan kritik sastra kita hari ini: suatu keadaan riuh rendah yang menyenangkan ketika sastrawan beken dan sastrawan yang merasa beken memperdebatkan hal yang sebetulnya, kalau dipikir-pikir lagi, mereka sepakati.<br /> <br />Beken atau tidak, khas atau tidak, keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat. Tengara.id hadir sebagai ruang inklusif untuk mempercakapkan segala gelagat sastra Indonesia hari ini. Sejumlah esai edisi perdana ini kurang-lebih menggambarkan semarak kritik sastra kita hari ini. Esai-esai ini bukan hanya menggambarkan bagaimana keterampilan menulis para kritikus sastra generasi terkini, tetapi juga bagaimana mereka menggunakan sejumlah pendekatan dalam meneroka karya sastra: filsafat, pascakolonial dan sastra bandingan, sedangkan yang lain tetap setia menulis tinjauan impresionistik. Sejarah kebangsaan pascakolonial dan naratologi dalam Sunlie Thomas Alexander dan Harry Isra M., sejarah personal dalam Bandung Mawardi, sejarah estetika sastra dalam Geger Riyanto, sejarah (guyonan) lokal dalam Udji Kayang, sejarah kepenulisan perempuan dalam Ayu Ratih, dan sejarah spekulatif dalam Sabda Armandio. Sebagai suara generasi sekarang, mereka sama-sama menghadirkan refleksi intens tentang seperti apa sebetulnya yang mereka alami sebagai masa kini sastra Indonesia. Sebuah masa kini yang ditandai oleh fragmentasi dan lenyapnya acuan bersama agaknya menjadi acuan bersama mereka. Kembali menyoal sejarah barangkali dapat dibaca sebagai gejala dari lenyapnya acuan bersama itu.<br /> <br />Ada ciri lain dari tulisan-tulisan yang dimuat di sini: tegangan antara kritik bandingan yang berorientasi ke luar dan semacam pembacaan ekosistem lokal. Aspirasi kritik bandingan terlihat jelas dalam artikel Sunlie Thomas Alexander yang membandingkan novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan dengan Midnight’s Children karya Salman Rushdie dan tradisi sastra realisme magis. Demikian pula dengan Harry Isra M. yang membaca Puya ke Puya karya Faisal Oddang dalam perbandingan dengan roman karya H.J. Friedericy yang ditinjau dari perspektif kritik pascakolonial Syed Husain Alatas dalam The Myth of Lazy Native. Pada ujung yang berlawanan ada suatu usaha melihat karya dalam hubungan dengan ekosistem sastra dalam negeri. Inilah yang kita jumpai dalam artikel Udji Kayang yang membaca kumpulan cerpen Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-Cerita Lainnya karya Gunawan Tri Atmodjo dalam kaitan dengan suasana kultural kota Solo dan buku-buku lelucon yang pernah terbit. Demikian pula dalam artikel Geger Riyanto yang membaca novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom dalam konteks kecenderungan liris prosa Indonesia dewasa ini ataupun dalam artikel Bandung Mawardi yang mengupas buku puisi Playon karya F. Aziz Manna dalam hubungan dengan telaah Hartojo Andangdjaja dan tradisi penulisan puisi bernada anak-anak karya Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Sedangkan dalam rubrik timbangan buku, Ayu Ratih mengupas sebuah bunga rampai para penulis perempuan masa lalu yang ditulis oleh para penulis perempuan masa kini, yakni sebuah kolektif bernama Ruang Perempuan dan Tulisan. Artikel itu memperlihatkan tegangan pelik antara dunia dan bangsa, antara ruang publik dan domestik, antara menulis dan melupakan.<br /> <br />Dengan memilih keenam artikel ini, Tengara.id hendak menyajikan gambaran terkini yang sudah terkurasi tentang state of the art kritik sastra di Indonesia. Untuk melengkapi gambaran itu, dihadirkan juga sebuah wawancara panjang dengan Sabda Armandio, salah seorang pengarang generasi baru, yang mencerminkan bagaimana generasi baru sastra Indonesia berpikir tentang sastra Indonesia dan masa depannya. Kita bisa melihat bagaimana ekosistem lokal sastra Indonesia dan sastra dunia telah berbaur begitu dekat sehingga acuan sastrawi kita menjadi begitu beragam. Tidak ada lagi suatu “Sastra Indonesia” yang tunggal, yang bisa dipilah dengan tegas dari “sastra bukan-Indonesia” ataupun dari “bukan-sastra Indonesia”. Apa yang mengemuka adalah deretan perbandingan yang tanpa tepi.<br /> <br />Aneka artikel yang dimuat di edisi perdana Tengara.id ini mencerminkan deretan perbandingan itu. Kita akan menyaksikan betapa lain keprihatinan dan sudut pandang para kritikus sastra kita hari ini. Mulai dari sensibilitas etnografis yang menggali tradisi lampau hingga sensibilitas futuristik yang merentang puluhan tahun ke depan hadir berdampingan dalam satu generasi yang sama. Perbedaan sensibilitas yang demikian kontras inilah wujud paling nyata dari rak terdepan sastra Indonesia hari ini: sebuah generasi yang asyik berkarya tanpa peduli akan disebut apa. Terbebas dari beban politik identitas angkatan, generasi baru kritikus sastra Indonesia leluasa memperkarakan apa saja. Semboyan mereka, jika harus ada, ialah: “Kami tidak punya semboyan.”<br />***<br /><p class="MsoNormal"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/komentar-dwi-pranoto-mengenai-dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/08/komentar-dwi-pranoto-mengenai-dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/</span></a></span></p></div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-59399894535911551492021-08-22T02:01:00.000-07:002021-08-22T02:01:36.534-07:00BIBIR YANG SELALU BASAH ITU<b>---mengenang Budi Darma---</b><br /> <br />Taufiq Wr. Hidayat *<br /> <br />Tatkala malam yang dalam, perempuan itu melihat wajahnya pada cermin di
ruang tamu. Entah kenapa, dulu ia meletakkan cermin antik itu di ruang tamu.
Tidak di kamar. Meja kayu. Kursi kayu. Dan asbak yang dipenuhi puntung rokok
putih. Bunga plastik. Ia melihat wajahnya pada sehelai cermin antik yang dibeli
seorang laki-laki di sebuah pasar bekas. Dulu. Ketika ia baru saja keluar dari
sebuah hotel menuju pulang, bersama laki-laki setengah baya masuk pasar, lalu
laki-laki setengah baya itu membelikannya cermin. Di cermin itu, ia memandang
bibirnya yang seakan-akan selalu basah. Tanpa dipoles lipstik.<span><a name='more'></a></span> Bibir itulah
yang membuat laki-laki berbadan jangkung---dengan jakun yang menonjol di
lehernya, jatuh hati. Yang selalu berbisik ke telinganya, menyatakan selalu
ingin melumatkan bibir itu sampai habis seperti melumatkan roti cokelat sampai
lenyap. Tapi ia tak pernah membalas ucapan laki-laki jangkung itu. Laki-laki
jangkung yang selalu mendatanginya ketika malam. Yang adalah orang terhormat.
Laki-laki yang punya kedudukan terhormat sebagai orang atasan. Dan ia adalah perempuan
simpanan. Tinggal di sebuah perumahan yang jauh dari pusat kota besar.<br /> <br />Perempuan itu mengenang laki-laki jangkung terhormat. Kebaikannya. Sikapnya
yang kebapakan. Serta begitu peduli dengan keadaannya sehari-hari. Memerhatikan
makan, tidur, dan vitamin. Ia merasa bagai istrinya yang sah, bukan simpanan.
Bukan perempuan kedua. Laki-laki jangkung terhormat selalu datang ke rumahnya
bersama sopir. Sopirnya hanya orang biasa yang patuh sepatuh-patuhnya pada sang
majikan.<br /> <br />“Kelak kau akan mengenangkan aku. Dan saat kau mengenangkan aku, lihatlah
cermin itu. Pandanglah wajahmu sendiri, seakan-akan kau memandang wajahku,”
kata laki-laki jangkung itu suatu malam. Setelah pergulatan hebat yang
melelahkan di atas tempat tidur.<br /> <br />Laki-laki kurus jangkung itu punya tiga orang anak. Satu laki, dan dua
orang perempuan. Semua gemuk-gemuk. Keluarganya di mata banyak orang, bahagia.
Keluarga pejabat kantor pemerintah yang mengurus anggaran belanja. Laki-laki
kurus jangkung itu, yang setengah baya, uban, dan berkacamata itu, bagi
kalangan moralis adalah koruptor. Meski mereka tak punya bukti-bukti, tapi
mereka menduga kuat sekuat-kuatnya. Tentu saja dengan memiliki simpanan,
laki-laki kurus jangkung itu sudah termasuk orang bejat dengan dosa yang sangat
besar sebesar-besarnya. Namun bagi perempuan berbibir tebal yang selalu basah,
laki-laki setengah baya beruban itu adalah malaikat. Bahkan bak seorang
pahlawan utusan Tuhan baginya. Meski kemalaikatan laki-laki jangkung itu selalu
saja muncul setelah laki-laki itu memberikan sejumlah uang belanja yang begitu
tebal bagi perempuan berbibir tebal yang senantiasa basah itu. Entahlah kenapa
perempuan berbibir tebal yang selalu basah itu mau kumpul kebo dengan laki-laki
terhormat yang usianya lebih tepat sebagai bapak baginya, atau bahkan kakek.<br /> <br />Sebagai perempuan simpanan yang masih sangat muda, ia tak bekerja.
Pekerjaannya hanya membaca buku setiap pagi, siang, sore, malam. Ia membaca
kisah orang bernama “Olenka” yang ganjil, dan “Rafilus” yang seolah-olah nyata.
Dua nama yang kekal, yang tak pernah mati meski berkali-kali orang telah
mengumumkan kematian keduanya. Menamatkan cerita “Kritikus Adinan” yang
berliku. Membaca detil jalan-jalan dan tempat-tempat di kota Surabaya. Juga
tertawa-tawa ketika mengikuti cerita “Penyair Besar dan Penyair Kecil”. Atau
lari pagi dengan baju yang ketat. Ke pantai. Berbelanja. Menonton tivi.
Menggeser-geser layar android. Atau belajar memasak. Semua urusan rumah
ditangani pembantu. Meski begitu, perempuan berbibir tebal yang selalu basah
dan jarang berkata-kata itu, selalu menyisihkan uang tiap bulan buat kedua
orangtuanya di desa jauh. Ia mentransfer uang pada rekening bank kedua
orangtuanya di desa jauh. Kedua orangtuanya di desa jauh akan mengambil uang
itu dari mesin ATM dengan dibantu Pak RT setempat. Ketika pulang ke desa,
perempuan berbibir tebal yang basah selalu itu, selalu membawa oleh-oleh.
Hadiah-hadiah buat keponakannya yang masih kecil-kecil, pada tetangga, dan
keluarga dekatnya. Orang tak pernah tahu apa pekerjaannya di kota, dan orang
juga tidak tahu kalau ia melakukan pekerjaan kotor sebagai simpanan orang
pejabat atasan. Karena kebaikannya di kampung dengan hadiah-hadiah, membuat
orang tak perlu banyak mempertanyakan atau mempergunjingkannya yang
macam-macam.<br /> <br />“Sayang sekali, laki-laki jangkung yang baik hati itu telah mati. Dia
meninggalkan tiga orang anak, satu istri cantik dan satu simpanan muda. Harta
melimpah. Empat mobil mewah, alat-alat musik yang mahal, kuda, dan koleksi
sepeda motor antik dan sepeda motor mewah. Rumah megah. Semua dikumpulkannya
ketika hidup sebagai kegemaran yang begitu cepat ia lupakan karena mudah bosan.
Tak punya kawan karib. Tak pernah ada orang lain yang cocok dengannya. Dan kini
semua kekayaan itu dinikmati yang masih hidup. Kenapa orang baik cepat mati?
Kenapa orang jahat selalu tak kunjung mati padahal sudah sekarat? Laki-laki
baik itu mati terserang tumor otak yang sangat ganas. Tapi meski banyak orang
mengira laki-laki itu bejat, bagiku ia baik hati. Setidaknya ia banyak
menyelamatkan kehidupan orangtuaku,” ujar perempuan itu.<br /> <br />“Untungnya, ia tahu kalau dirinya akan mati. Sehingga ia mewariskan rumah,
mobil, dan deposito yang besar sekali buatku. Saya tahu, istri dan anak-anaknya
menangisi kehilangannya. Istrinya tidak tahu kalau dia punya simpanan, andai
tahu mungkin istrinya itu akan mensyukuri kematiannya dan tertawa-tawa,”
katanya lagi.<br /> <br />“Untungnya lagi, kasus korupsinya tak terlacak negara. Dan itu keuntungan
lain. Sehingga dengan uang yang ia tinggalkan, aku dapat hidup baik-baik
sepeninggalnya,” ucap perempuan berbibir selalu basah itu.<br /> <br />Itu malam yang aneh. Perempuan yang berbibir selalu basah itu sejak kumpul
kebo dengan laki-laki terhormat, sangat jarang berbicara. Kini dia banyak
sekali berbicara. Mungkin karena dikuasai alkohol.<br /> <br />“Lalu apa keuntunganku?” tanya laki-laki jangkung dengan rambut yang hitam
legam, berusia muda, gagah, dan pengangguran itu menyela.<br /> <br />“Keuntunganmu adalah menikmati jerih payahnya di rumah ini. Selama kau
tetap di sini, dengan setia menggantikannya, bahkan sebelum ia mati terserang
tumor otak, kau selalu menggantikannya ketika ia pulang pada istrinya,” jawab
perempuan itu. Ia melihat bayangan wajahnya di cermin. Dan ia bagaikan melihat
laki-laki jangkung beruban itu menatap wajahnya. Dan malam semakin dikentalkan
saja..<br /> <br />Tembokrejo, 2021<br /> <br />tokoh, cerita, tempat,<br />dan kejadian dalam cerita ini<br />seharusnya bukan fiksi.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab.
Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh
pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah
terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala”
[PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari
Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam,
Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat
Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan”
(PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di
Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/bibir-yang-selalu-basah-itu/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/bibir-yang-selalu-basah-itu/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-75560784118788260112021-08-20T15:23:00.007-07:002021-08-20T15:23:47.026-07:00Ahmad Tohari Bangkit Bersama Sang PenariLinda Sarmili<br />suarakarya-online.com<br /> <br />Budayawan Ahmad Tohari merasa hidup lagi. Bangkit kembali bersama film
“Sang Penari”, film terbaik hasil Festival Film Indonesia 2011, film nasional
yang pembuatannya didasari oleh novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Bersama
dengan larisnya film tersebut ditonton masyarakat luas, novel trilogi Ronggeg
Dukuh Paruk juga diserbu pembaca. Banyak pengunjung toko buku Gramedia dalam
beberapa bulan terakhir ini mencari novel tersebut di rak-rak buku sastra, tetapi
selalu cepat kehabisan.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Padahal menurut keterangan seorang petugas toko buku Gramedia Blok M,
Jakarta Selatan, novel Ronggeng Dukuh Paruk cetakan terakhir dengan gambar
sampul dua bintang utama film “Sang Penari”, sebenarnya belum lama dikirim
pihak Gramedia Pusat ke Toko Buku Gramedia Blok M. “Kini tak satu pun lagi buku
itu tersedia di toko ini. Habis. Silakan cari di toko buku Gramedia lainnya,
mungkin masih ada…” ujar seorang petugas toko Buku Gramedia Blok M, pekan lalu.<br /> <br />Larisnya novel yang telah mengalami cetak ulang beberapa kali itu, menuntut
pihak Gramedia segera mencetak ulang buku tersebut dan sesegera pula
menempatkannya di rak-rak toko buku Gramedia. Mengapa? Karena sampai sejauh ini
masih banyak yang berminat membeli buku itu.<br /> <br />Seiring dengan kenyataan tersebut, Ahmad Tohari mengaku bangga. Dia pun
mengaku kembali bergairah menulis novel baru yang masih menggambarkan kesulitan
hidup wara Banyumas di era Gestapu.<br /> <br />Ahmat Tohari juga mengaku film Sang Penari yang sempat langsuhg dilihatnya saat
syuting telah mengembalikan semangatnya bahwa menulis novel sesuai dengan
rekaman kejadian masa lalu, tidaklah rugi, meski pada masa ini banya bahan
cerita yang mungkin jauh lebihmenarik dibandingkan saat-saat lampau.<br /> <br />“Jujur, kini semangat saya kembali bangkit. Semangat saya sempat hilang
ketika trilogi novel Ronggeng Dukun Paruk itu direkam secara salah saat dibuat
menjadi skenario film Penari Ronggeng yang dibintangi atris Enny Betariks
beberapa tahun silam. Di film itu, penonton segera saja menilai bahwa film
Penari Ronggeng adalah film semi porno. Padahal novel Penari Ronggeng Dukuh
Paruk bukan novel porno, melainkan novel kehidupan susah warga Banyumasan di
era meletusnya Gerakan 30 S PKI.” jelas Ahmad Tohari. “Tetapi begitu melihat
film Sang Penari, saya menagis terharu, ternyata sutradara film sang Penari Ifa
Isfansyah sangat memahami isi hati saya, sehingga membuat film Sang Penari yang
begitu sesuai dengan isi hati saya. Film itu hebat, saya menyarankan semua
warga banyumas nonton film itu,” ujar Ahmad Tohari lagi.<br /> <br />Seiring dengan terus meningkatnya minat masyarakat menonton film Sang
Penari, Ahmad Tohari juga makin giat melangsungkan kegiatan sosialisai sastra
ke berbagai tempat. Baru-baru ini dia menggelar apresiasi sastra kepada pihak
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tentu saja kegiatan tersebut diselenggarakan
atas izin pimpinan TNI. Apresiasi sastra yang dilangsungkan kembali mengulas
film “Sang Penari”.<br /> <br />“Filmnya lumayan bagus, penting bagi generasi muda untuk menonton film ini.
Ini promosi ya,” kata Ahmad Tohari di sela-sela acara “Gendu-Gendu Rasa:
Nguri-uri Budaya Banyumasan” yang diselenggarakan Pusat Penelitian Budaya
Daerah dan Pariwisata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LPPM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, di Gedung LPPM
Unsoed Purwokerto.<br /> <br />Menurut dia, hal ini disebabkan dalam film “Sang Penari” terdapat adegan
dramatisasi politik, berupa adegan penembakan orang-orang yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).<br /> <br />Padahal, kata dia, adegan tersebut tidak ada di dalam novel karyanya yang
berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”.<br /> <br />“Ini merupakan keberanian dari sutradara untuk menampilkan adegan tersebut.
Juga satu hal lagi, kok tentara (TNI) mengizinkan film ini beredar, jadi
kemajuan pula yang dilakukan tentara karena membiarkan film ini lolos ke
masyarakat,” kata dia yang akrab dipanggil dengan sebutan “Kang Tohari”. Oleh
karena itu, dia mengaku berterima kasih kepada sutradara yang berani mengungkap
adegan pembunuhan terhadap orang yang dianggap anggota PKI, serta kepada TNI
yang membiarkan film ini lolos. “Itu merupakan perubahan yang luar biasa. Dan
saya membiarkan sutradara untuk menafsirkan novel saya untuk dijadikan film
karena yang akan difilmkan adalah tafsir sutradara, bukan teks saya,” kata dia
menegaskan.<br /> <br />Disinggung mengenai inspirasi pascapeluncuran film “Sang Penari”, dia
mengaku ingin melaksanakan anjuran almarhum HB Jassin yang sengaja menemuinya
pada tahun 1987 untuk memintanya melanjutkan novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini.<br /> <br />Dalam hal ini, kata dia, almarhum HB Jassin meminta novel tersebut
dilanjutkan dengan menyoroti kehidupan Goder (sosok anak kecil dalam novel
tersebut, yang masih memiliki jiwa lurus di tengah kehidupan Dukuh Paruk yang
penuh kemaksiatan, Red.). “Itu anjuran Pak HB Jassin yang selama ini saya
diamkan. Nah, akhir-akhir ini saya tergoda untuk merenungkan kembali anjuran
Pak HB Jassin. Siapa tahu sekarang ini saya akan menulis, tapi saya tak
berjanji ya,” katanya.<br /> <br />Film yang disutradai Ifa Isfansyah itu menggambarkan pertemuan sepasang
kekasih bernama Rasus dan Srintil setelah lama berpisah. Dalam hal ini, Rasus
meninggalkan Dukuh Paruk karena menjadi seorang tentara, sedangkan Srintil
menjadi seorang penari ronggeng.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">31 Desember 2011 <a href="http://sastra-indonesia.com/2012/01/ahmad-tohari-bangkit-bersama-sang-penari/">http://sastra-indonesia.com/2012/01/ahmad-tohari-bangkit-bersama-sang-penari/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-66767939297519025612021-08-20T04:05:00.004-07:002021-08-20T04:05:53.114-07:00Denny JA adalah Muncikari yang Harus Dibunuh!<p><b>Denny JA, Kejahatan Intelektual, Pembodohan Sejarah Sastra Indonesia, Perusak Peradaban!</b></p><br /><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5BJj58sM4eNGQ-GLp6Ye3v5c6XJnkD4jgl-2XiaqkIIwp-vD8wcj3-_FSYz7S_i7JFVZrKaxGIVLt69Xy0sVpzN_kzU3JKCaFwJJUVFPDGRVF5q6ATqhpivnAt2I41iXGNcCJteJw71k/s448/Denny+JA%252C+Kejahatan+Intelektual%252C+Pembodohan+Sejarah+Sastra+Indonesia%252C+Perusak+Peradaban%2521%252C+foto+satuhatisumutdotcom.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="252" data-original-width="448" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5BJj58sM4eNGQ-GLp6Ye3v5c6XJnkD4jgl-2XiaqkIIwp-vD8wcj3-_FSYz7S_i7JFVZrKaxGIVLt69Xy0sVpzN_kzU3JKCaFwJJUVFPDGRVF5q6ATqhpivnAt2I41iXGNcCJteJw71k/s320/Denny+JA%252C+Kejahatan+Intelektual%252C+Pembodohan+Sejarah+Sastra+Indonesia%252C+Perusak+Peradaban%2521%252C+foto+satuhatisumutdotcom.jpeg" width="320" /></a></div><div>Muhammad Yasir<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Denny JA adalah Jim Colosimo atau “Big Jim” versi Indonesia. Jika Big Jim terkenal dengan bisnis prostitusi, gelamoritas, butiran batu mulia, revolver berhias berlian, dan pembunuhan, Denny JA lebih suka bisnis prostitusi dan membantu para politisi berkuasa di Indonesia. Dia mendirikan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA untuk membantu pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perebutan kursi presiden pada Pemilu 2004 dan berhasil mendepak Megawati Soekarnoputri.<br /> <br />Bahkan, TIME Magazine tidak segan-segan memberikan penghargaan terhadap 17 tahun kiprah LSI Denny JA dan dianggap memecahkan rekor dunia World Guiness Book of Record dan mendapat penghargaan dari Twitter Inc, karena kemampuannya memenangkan presiden langsung empat kali berturut-turut, 33 gubernur, dan 95 bupati/walikota. Serentetan penghargaan yang diberikan oleh pelbagai sisi ini menunjukan Denny JA tidak bisa dianggap sebagai seseorang yang remeh-temeh, baik sebagai bandit maupun muncikari.<br /> <br />ANTARA News, sebuah media massa nasional, pada bulan Januari 2018 menerbitkan sebuah berita yang bertajuk “Sastrawan: 2018 jadi kelahiran angkatan puisi esai” yang mengulas secara singkat tentang apa, siapa, kapan, mengapa, dan bagaimana Denny JA menjadi sosok “sastrawan” yang membuat dobrakan terbaru dalam dunia Sastra Indonesia dengan melahirkan satu genre baru karya sastra, yaitu puisi esai.<br /> <br />Dalam wawancaranya dia mengatakan, 2018 menjadi tonggak kelahiran angkatan puisi esai. Angkatan puisi esai berisi 170 orang - termasuk Sujiwo Tedjo: Presiden Djancukers sampah! - dari kalangan penyair, penulis, aktivis, peneliti, dan jurnalis dari Aceh hingga Papua.<br /> <br />Tentu saja, angkatan puisi esai telah melahirkan standar-standar puisi esai, seperti bahwa puisi esai memiliki ciri menampilkan fakta dan fiksi tentang kehidupan sosial, bahwa puisi esai harus mengandung 2000 kata, bahwa setiap puisi esai memiliki 10 catatan kaki tentang fakta kehidupan sosial berupa hasil riset sebagai sumber informasi, bahwa puisi esai memiliki nilai dramatik dan hubungan pribadi seperti cerita pendek yang “dipuisikan”, dan bahwa puisi esai (hanya) lahir saat momen yang sama sebagai penanda sebuah masa karya generasi sastra (?).<br /> <br />Kelahiran angkatan puisi esai ini bukan tanpa korban. Pada tahun 2015, Sastrawan Saut Situmorang ditangkap di rumahnya, di Yogyakarta, karena dituduh melakukan tindak “pencemaran nama baik” salah seorang “penyair perempuan” yang juga hidup dalam prostitusi milik Denny JA, di Facebook.<br /> <br />Kejahatan intelektual ini bermula dari kelahiran buku pembodohan sejarah Sastra Indonesia, yaitu “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” yang disusun secara khusus oleh Tim 8 alias pelacur khusus dan kesayangannya: Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah nama-nama yang harus dicatat dalam daftar perburuan!<br /> <br />Denny JA dan pelacur-pelacur yang dia pelihara dalam prostitusinya memenangkan pertarungan itu dengan menyogok hukum untuk melegitimasi dirinya sebagai “tokoh sastra paling berpengaruh”.<br /> <br />Namun apakah Saut Situmorang dan orang-orang yang memburu Denny JA benar-benar kalah? Tidak. Komitmen memerangi para medioker dan parasite dalam Sastra Indonesia itu tetap tumbuh dan mengakar. Apakah Denny JA dan pelacur-pelacurnya diterima dalam dunia Sastra Indonesia?<br /> <br />Ya! Karena banyak sekali orang yang mendaku diri mereka sebagai pegiat sastra, penulis sastra, aktivis sastra, dan akademisi sastra memilih diam dan diam-diam menjadi pelacur pula dalam dunia Sastra Indonesia dan karena tidak banyak orang yang benar-benar mencintai Sastra Indonesia! Bukankah demikian? Bukankah engkau lebih menyukai memprioritaskan eksistensi dirimu belaka ketimbang berjuang untuk Sastra Indonesia?!<br /> <br />Baru-baru ini, Big Jim versi Indonesia ini kembali berulah. Dengan kekayaannya sebagai muncikari, dia membeli penghargaan Lifetime Achievement Award dari Persatuan Penulis alias Satupena. Kemudian, selanjutnya dia terpilih sebagai Ketua Satupena. Semua terjadi begitu saja. Akan tetapi, jika menelisik Lifetime Achievement Award kita akan menemukan kejanggalan ini: bahwa penghargaan untuk seseorang yang yang berkarya di bidangnya minimal 40 tahun, sementara bisnis prostitusinya bahkan belum berumur satu dekade!<br /> <br />Dan, meskipun sebagian anggota Satupena menulis pernyataan tentang kejadian memalukan itu, mereka pun tidak memiliki kemampuan membantah atau menghalang-halangi kemampuan Big Jim! Dan, lihatlah! Bagaimana dia dan pelacur-pelacurnya merayakan kemenangan mereka! Sementara, Dewan Kesenian dan Balai Bahasa dan Sastra hanyalah kumpulan kambing yang mengembek; harap-harap di tahun yang mengerikan ini mendapat proyek-proyek menguntungkan tentang Kesenian dan Sastra Indonesia!<br /> <br />Engkau, Denny JA alias Jim Colosimo alias Big Jim versi Indonesia, silakan dengan kekayaanmu membeli jiwa-jiwa pelacur untuk memenuhi setiap sudut bisnis prostitusimu! Silakan engkau klaim dirimu sebagai manusia yang menulis dan menerima seribu penghargaan!<br /> <br />Tetapi, engkau tidak akan bisa lari dari kebenaran, bahwa yang engkau lakukan adalah kejahatan intelektual, pembodohan sejarah Sastra Indonesia, dan merusak peradaban! Engkau tidak akan bisa lari dari tajamnya hari pembalasan yang akan membunuh dan memenggal kepalamu! Sogoklah hukum untuk melindungimu dan menangkap penulis-penulis yang berkomitmen untuk mempertahankan nilai-nilai Sastra Indonesia! Suatu saat, akan tiba kepadamu penulis-penulis itu dan mencincang mayatmu!<br /> <br />Gresik, 2021.<br /><p class="MsoNormal"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/</a></p></div></div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-20644801531863370812021-08-19T17:25:00.006-07:002021-08-19T17:25:44.415-07:00Polemik di Perkumpulan Penulis Satu Pena<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0JXNs9lJRKp2USaWrGamsnZ02CwR2xFRQDHMlY9Tx5Dgp41jry2HXNE0FH1hNg1S9nAUsVshjKk92kibMF5DtX5Wie_LdqZnzJVRqAZkQafjIoFLe8Hlo0KIT1gIWCxOjV48gy1uMCySv/s336/Perkumulan+Penulis+Satu+Pena%252C+foto+Nasi+Tamara%252C+Sastrawan+Palsu+Denny+JA%252C+Kudeta%252C+SATUPENA%252C+HATI+PENA.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="336" data-original-width="336" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0JXNs9lJRKp2USaWrGamsnZ02CwR2xFRQDHMlY9Tx5Dgp41jry2HXNE0FH1hNg1S9nAUsVshjKk92kibMF5DtX5Wie_LdqZnzJVRqAZkQafjIoFLe8Hlo0KIT1gIWCxOjV48gy1uMCySv/s320/Perkumulan+Penulis+Satu+Pena%252C+foto+Nasi+Tamara%252C+Sastrawan+Palsu+Denny+JA%252C+Kudeta%252C+SATUPENA%252C+HATI+PENA.jpg" width="320" /></a></div>Muhammad Subarkah<span><a name='more'></a></span><br />Republika, 05 Agu 2021<br /> <br />Polemik yang terjadi di Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena semakin
memanas, ketika ada sekelompok pihak yang
mengadakan rapat anggota luar biasa. Pihak ini mengaku bahwa rapat luar
biasa anggota merupakan hak daripada anggota yang telah disampaikan surat
tertulisnya kepada Badan Pengurus Satu Pena.<br /> <br />Akan tetapi disisi lain, Ketua Umum Satupena menyatakan bahwa aktifitas Rapat
Luar Biasa Anggota Satupena illegal, dan sampai saat ini hanya ada satu
Organisasi Satupena. “Oleh karena itu, sampai saat ini belum ada perubahan
jadwal RA tersebut. Bila ada pihak-pihak yang mengadakan kegiatan Rapat Luar
Biasa Anggota (RLBA) tanggal 1 dan 8 Agustus 2021 sebagaimana beredar, saya
tegaskan bahwa aktivitas tersebut illegal (tidak sah). Sampai saat ini hanya
ada satu Satupena,” ujar Nasir Tamara melalui keterangan tertulis kepada
Republika.co.id (5/8).<br /> <br />Menanggapi hal ini, Robby F. Asshiddiqie menyampaikan bahwa ini ada upaya
kudeta yang hendak dilakukan oleh kubu yang mengaku sebagai caretaker rapat
luar biasa anggota tersebut. “Masalah ini berawal dari adanya permasalahan
internal yang berujung kepada mundurnya seseorang. Sejak itu muncul adanya
permintaan rapat-rapat dari anggota, yang sebetulnya sudah dibentuk tim untuk
mengadakan Rapat Anggota Satupena, yang kemudian akan diselenggarakan pada
tanggal 15-16 Agustus 2021 yang akan datang,'' kata Robby yang ditunjuk sebagai
Kuasa Hukum Organisasi Perkumpulan Penulis Indonesia.<br /> <br />“Saya ditunjuk bukan untuk gagah-gagahan tapi sebagai penasehat hukum yang
membantu Organisasi yang akan menyelenggarakan Rapat Anggota untuk menentukan
perjalanan organisasi, lalu sekelompok orang minta diselenggarakan RLBA, Badan
Pengurus sudah menyampaikan RLBA belum perlu karena kita juga akan menyelenggarakan
Rapat Anggota Satupena dengan agenda yang sama dengan yang diminta," ujar
Robby menambahkan.<br /> <br />“Tapi entah kenapa mereka memaksakan diri untuk mengadakan sendiri RLBA ini
yang katanya diselenggarakan tanggal 1 Agustus kemarin. Ini berarti satu sisi
mereka sudah mantap untuk berseberangan dengan Badan Pengurus dan Organizing
Committee Rapat Anggota Satupena”<br /> <br />Robby juga menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh Badan Pengurus telah
sesuai dengan Anggaran Dasar, dan Badan Pengurus tidak pernah melalaikan surat
permintaan untuk diadakannya RLBA Satupena. “Kalau mereka bersandar pada Pasal
14 Anggaran Dasar, Badan Pengurus kan diberikan waktu 30 hari sebetulnya untuk
menyelenggarakan RLBA, itu pun kalau dianggap perlu. Ini belum ada 30 hari
mereka langsung frontal mengadakan RLBA sendiri.”<br /> <br />Tim hukum dari Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Robby F. Asshiddiqie
menyatakan Badan Pengurus Perhimpunan Penulis Satupena di bawah Ketua Umum
Nasir Tamara dengan Sekretaris Umum Wina Armada dan Bendahara Umum Nasihin
Masha tidak benar sudah demisioner seperti diberitakan di beberapa media massa,
dan Steering Comittee yang dipimpin Chappy Hakim, dengan anggota antara
lain Ilham Bintang, Azyumardi Azra,
Komaruddin Hidayat, Eka Budianta, Andrik Purwosito telah merekomendasikan agar konggres atau
Rapat Umum Anggota tetap diselenggarakan tanggal 15-16 Agustus 2021.<br /> <br />“Organizing Comittee sudah dibentuk dan disempurnakan keanggotaannya
dan sudah bekerja menyelenggarakan Rapat
Anggota itu. Sebelum rapat umum
terselenggara dan membuat keputusan, badan pengurus pimpinan Nasir Tamara tetap
menjalankan sisa waktu kepengurusannya sampai dengan Badan Pengurus Baru
Satupena terpilih di Rapat Anggota yang legal,'' tegas Robby dalam keterangan
persnya.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/polemik-di-perkumpulan-penulis-satu-pena/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/polemik-di-perkumpulan-penulis-satu-pena/</a></span></p>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-25350802070629231902021-08-19T11:06:00.005-07:002021-08-19T11:06:33.721-07:00Penyair Sebagai Bendahara SabdaDick Hartoko<br /> <br />Kepada penyairlah sabda itu diserahkan untuk dipelihara. Sabda itu lebih
padat daripada gagasan saja: sabda adalah gagasan yang telah mendarah dan
mendaging. Karena jiwa dan badan itu terlebur menjadi satu keesaan, maka sabda
adalah lebih daripada suatu hembusan napas yang hanya mengisyaratkan suatu
gagasan.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Isyarat itu hanya menunjukkan ke arah sesuatu yang lain: awas, nanti ada
persimpangan jalan; awas nanti kita sampai ke jembatan. Tanda-tanda ini lepas
daripada kenyataan (persimpangan, jembatan) dan hanya berdasarkan semacam
kontrak, semacam persetujuan yang dibuat-buat menurut kemauan kita sendiri.
Bukan demikianlah sabda. Sabda adalah gagasan yang telah menjelma. Maka,
seperti manusia yang utuh itu mengatasi badan dan jiwanya masing-masing,
demikian juga sabda itu mengatasi gagasan saja.<br /> <br />Dari sebab itu tak mungkinlah suatu bahasa menggantikan bahasa lain,
seperti jiwaku tak mungkin menitis dalam badan lain. Andaikata hal ini mungkin,
maka ekspresiku, gerak-gerikku pasti akan sangat berlainan, lagi pula jiwaku
itu akan menyesuaikan diri kepada badan lain itu, atau sebaliknya badan itu
digembleng menjadi badanku sendiri.<br /> <br />Tentu saja, orang-orang yang memakai bahasa yang berbeda-beda, toh dapat
saling mengerti maksudnya, sehingga buku-buku dapat diterjemahkan dari bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang lain. Sama halnya dengan orang-orang yang
mempunyai kepribadiannya sendiri-sendiri toh dapat saling bergaul dan kawin.
Tetapi ini tidak berarti, bahwa bahasa-bahasa itu hanya merupakan rangkaian
topeng-topeng saja, yang akhir-akhirnya menutupi gagasan yang sama. Bila Juan a
Croce, mistikus Spanyol itu, berkata “noche”, maka isinya berlainan dengan
“Nacht”nya Nietzsche misalnya atau “malam”nya Chairil Anwar. Bila Paulus
berbicara tentang “agape”, maka tidak hanya penerapannya saja yang berbeda
dengan “love”nya orang-orang Inggris dan “cinta”nya orang Indonesia.<br /> <br />Terdapat sabda-sabda yang memisahkan, dan sabda-sabda yang menyatukan;
sabda-sabda yang dengan seenaknya dapat kita rangkaikan atau tetapkan isinya,
dan sabda-sabda yang tiap-tiap kali seakan-akan lahir kembali karena sesuatu
mukjizat, segar bugar harum semerbak. Terdapat kata-kata yang meleburkan
keseluruhan untuk lebih menjelaskan satu bagian saja, dan kata-kata yang
bagaikan seorang empu mengucapkan mantra-mantra dengan khidmat. Terdapat
kata-kata yang dengan terang menyoroti sebagian saja dari kenyataan, dan kata-kata
yang menjadikan kita bijaksana karena mampu memperdengarkan macam-macam nada
dalam satu petikan kecapi. Terdapat pula sabda-sabda yang menerangi suatu benda
dari dalam sehingga samudera kenyataan tanpa batas terlibat melaluinya.
Sabda-sabda ini mirip dengan keong-keong, yang betapa kecil pun, mampu
memperdengarkan gemuruh samudera raya bila dipasang pada telinga. Kata-kata itu
menerangi kita, bukan kita yang menerangi kata-kata. Kata-kata itu mempunyai
kekuasaan terhadap kita karena merupakan karunia dari Tuhan, bukan barang
buatan manusia, sekalipun sering disampaikan kepada kita melalui manusia.<br /> <br />Kata-kata kategori pertama memang jelas, karena bersifat rata dan datar,
tanpa lekuk-liku. Kata-kata ini memuaskan akal budi. Dengan kata-kata ini
barang-barang dan benda-benda dapat kita kuasai.<br /> <br />Kata-kata kategori yang kedua nampaknya gelap, tetapi mampu menelaah
jurang-jurang kenyataan. Kata-kata ini timbul dari hati sanubari dan
berkumandang dalam madah-madah. Kata-kata ini membuka pintu gerbang terhaap
karya-karya agung dan menentukan tentang masa-masa abadi. Kata-kata inilah,
yang timbul dari hati sanubari, yang menguasai kita, yang menyatukan, yang
memuliakan, yang dikaruniakan oleh Tuhan — kata-kata ini ingin kusebut
kata-kata purba. Sedangkan kata-kata kategori pertama dapat kita sebut kata-kata
bikinan, kata-kata teknis, kata-kata kegunaan.<br /> <br />Tentu saja, tidak semua kata dapat kita bagi-bagikan demikian saja.
Pembagian ini lebih mirip dengan semacam nasib mengenai kata-kata: nasib yang
memuliakan dan nasib yang menghiaskan, nasib yang mengangkat dan merendahkan,
yang menyemangatkan dan membekukan — seperti juga terjadi dalam kalangan
manusia. Di sini kita tidak berbicara mengenai kata-kata yang telah mati, dan
yang telah kita simpan dalam kamus-kamus bagaikan kupu-kupu dalam kotak. Yang
kita maksudkan yaitu kata-kata yang hidup, yang kita pakai dalam pergaulan
sehari-hari, dalam kalimat-kalimat, pidato-pidato, dan nyanyian-nyanyian.
Kata-kata itu mempunyai sejarahnya. Dan seperti dalam sejarah umat manusia,
maka juga dalam sejarah ini hanya seorang saja yang menguasainya, yaitu Tuhan.
Bahkan menurut anggapan orang-orang Kristen, Tuhan sendiri pernah masuk ke
dalam sejarah, ketika dalam wujud kemanusiaan-Nya Ia mengucapkan kata-kata
serupa itu dan mencatatkannya sebagai sabda-Nya sendiri.<br /> <br />Tak terbilang jumlah kata yang sekadar dengan pemakaiannya oleh manusia
lalu meningkat menjadi kata-kata purba, atau seperti sering terjadi, merosot
menjadi kata-kata kegunaan saja. Bila seorang penyair atau si miskin dari
Assisia mengucapkan kata “air” itu, maka isinya lebih padat dan asli daripada
H2O-nya seorang ahli kimia dalam laboratorium. Air itu, menurut suatu ucapan
Goethe, mirip dengan jiwa manusia. Hal ini tak dapat kita katakan mengenai H2O.
Air yang dilihat oleh manusia, yang dipuji oleh sang penyair bukanlah semacam
peningratan terhadap airnya seorang ahli kimia, seolah-olah air dalam
laboratorium itu merupakan air sejati. “Air”-nya seorang ahli kimia lebih
bersifat semacam perasaan teknis terhadap airnya manusia. Dalam peristilahan
kimia suatu kata purba telah merosot menjadi istilah teknis belaka, dan dalam
kemerosotanya sebagian daripada kodratnya telah hilang. Maka dalam riwayat
istilah ini tecerminlah riwayat seluruh umat manusia beribu-ribu tahun lamanya.<br /> <br />Jangan kita secara tolol lalu berkata: apa gunanya kita ambil pusing
mengenai semuanya ini. Padat tidaknya seluruh kata, inilah setali tiga uang.
Asal kita maklum dengan jelas, apakah sebetulnya isi kata itu, maka semua kata
sama derajatnya. Lain kata, asal kita tahu akan definisinya.<br /> <br />Tetapi justru di sini kita berhadapan dengan kesukaran-kesukaran yang maha
berat, karena kata-kata purba itu tak dapat diuraikan dalam sebuah definisi.
Dapat saja diuraikan, tetapi dengan mematikannya. Ataukah ada seorang yang
berpendapat bahwa segala-galanya dapat didefiniskan? Hal ini adalah mustahil.
Menguraikan sebuah kata dengan membeberkan definisinya berarti menjajarkan
kata-kata baru, sehingga akhirnya kita harus berhenti pada kata-kata yang tak
dapat dijelaskan lagi. Inilah kata-kata purba yang merupakan sendir dasar bagi
kehidupan rohani kita. Kata-kata ini sudah tersedia. Tak dapat dibikin
semau-maunya, tak dapat diiris-iris menjadi sebuah definisi yang jelas.<br /> <br />Tetapi, mungkin diutarakan, alasan ini sangat kurang jelas, kabur. Tentu
saja, jalan pikiran yang memecahbelahkan kenyataan sering lebih jelas. Namun,
lebih benarkah juga, lebih sesuai dengan kenyataan? Apakah “ada” itu jelas?
Tentu, jawab seorang yang suka mengobrol, ada itu bukan yang tidak ada. Tetapi,
apakah gerangan tidak ada itu?<br /> <br />Kuntum, malam, bintang dan hari, akar dan sumber, angin, senyum, bumi,
asap, cium, napas, kilat, dan sepi — itulah beberapa saja dari sekian banyak
kata purba yang dipakai oleh para penyair dan ahli pikir. Dalam setiap kata
purba terbukalah bagi kita sebuah pintu yang mengajak kita untuk menelaah
samudera kenyataan tanpa batas. Kata-kata purba itu, berdampingan dengan
artinya yang harafiah, mengandung pula arti yang rohani, yang spiritual, maka
tanpa arti ini arti harafiah juga kehilangan isinya. Lain kata, kata-kata purba
itu terletak pada perbatasan alam spiritual dan alam material. dengan demikian
mencerminkan kedwitunggalan manusia itu pula.<br /> <br />Adapun satu sifat dalam kata-kata purba itu yang tak boleh kita lupakan:
kata purba itu menghadirkan dengan sesungguhnya barang yang diisyaratkannya.
Tentu saja, cara kehadirannya berbeda-beda menurut macam-macam kenyataan yang
dipanggil dan kesaktian kata itu. Tetapi setiap kali suatu kata purba
diucapkan, maka barang yang dimaksudkan lalu mendekati si pendengar. Bila aku
berkata “pohon”, maka bukan aku saja yang menguasai pohon itu, tetapi pohon
sendiri juga memasuki duniaku, maka dengan demikian keadaannya bertambah kaya
dan padat.Sebuah barang yang sebelumnya mati, setelah dinamakan, lalu
seakan-akan diangkat ke dunia manusiawi, dunia rohani, maka dengan demikian
memperoleh tingkat kenyataan yang lebih padat, apalagi bila panggilan itu
disertai dengan penuh perasaan dan cinta kasih.<br /> <br />Kenyataan ini terutama berlaku dalam dunia antarmanusia, dan pada tingkat
yang jauh lebih padat dalam hubungan antara makhluk dan Tuhan. Bahwa aku
dimaklumi, dikenal dan dicintai sungguh berarti, bahwa hidupku bertambah kaya.
Dan justru karena aku dicintai Tuhan dan dipanggil dengan namaku sendiri oleh
Tuhan, maka aku lalu mulai berada.<br /> <br />Dunia material pun mengandung kerinduan untuk dipanggil oleh manusia, untuk
dimaklumi, bahkan juga untuk dicintai, untuk diberi nama. Dengan diberi nama,
maka barang itu keluar dari kegelapan, memasuki lingkaran terang benderang,
dunia manusia, dan dengan demikian mencapai kesempurnaannya.<br /> <br />Hal ini khusus berlaku bagi para penyar. Mereka mempunyai kesaktian yang
ajaib, sehingga barang-barang biasa pun lantas menjadi cemerlang setelah
disuarakan oleh syair seorang penyair, karena pernah disentuh oleh sabda sang
penyair. Dengan sabdanya, sang penyair itu memanggil kenyataan dunia ini supaya
tampil ke depan, keluar dari gua-gua yang gelap, lalu masuk ke dalam dunia
manusia yang terang benderang.<br /> <br />(Sumber: Saksi Budaya, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1975).<br /> <br />Tulisan sebelumnya: <a href="http://sastra-indonesia.com/2020/05/imajinasi-observasi-dan-intuisi-pada-cerpen-langit-makin-mendung/">http://sastra-indonesia.com/2020/05/imajinasi-observasi-dan-intuisi-pada-cerpen-langit-makin-mendung/</a><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6,
KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa). <a href="http://sastra-indonesia.com/2020/05/penyair-sebagai-bendahara-sabda/">http://sastra-indonesia.com/2020/05/penyair-sebagai-bendahara-sabda/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-72530214993019145392021-08-19T11:04:00.003-07:002021-08-19T11:04:25.788-07:00Cara Felix K. Nesi Melahirkan Orang-Orang Oetimu<p><b>Dikirim dari E-Mail Yahoo ke Google</b></p>Indria Pamuhapsari *<br />Jawa Pos, 31 Okt 2019<br /> <br />Orang-Orang Oetimu lahir lewat kertas folio, lalu dipindah ke laptop pinjaman, dicetak, diedit ulang, kemudian diketik lagi. Karena tak ada uang, tumpukan dokumen awal novel pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta itu sudah habis dikilokan.<br />***<br /> <br />SEMBARI duduk, Felix K. Nesi langsung mengangkat tangan kanan. Hampir setinggi dagu.<a name='more'></a><br /> <br />”Ya segini kira-kira,” kata dia dengan tersenyum.<br /> <br />Segini yang dimaksud penulis 31 tahun itu adalah tumpukan draf awal Orang-Orang Oetimu yang dia tulis di kertas folio. Ditambah ketikan awal yang dia print untuk kemudian diedit ulang.<br /> <br />Dokumen proses kreatif yang tentunya sangat berharga. Apalagi setelah novel pertama Felix itu juara sayembara tahunan edisi 2018 dan ramai menuai apresiasi positif.<br /> <br />Baik karena sudut pandang cerita, plot, maupun pilihan tema dan latar.<br /> <br />Di Museum of Innocence, Istanbul, Turki, miliknya, Orhan Pamuk mengabadikan draf, tulisan awal, serta gambar. Dipampang pula di sana coretan tangan nobelis sastra tersebut.<br /> <br />Tapi, bagaimana dengan dokumen-dokumen Felix tadi? ”Hahaha… Sudah saya kilokan,” katanya enteng.<br /> <br />Reaksi yang membuat semua peserta diskusi santai di lounge Graha Pena, Surabaya, pada Selasa sore lalu (29/4) itu mendelik. Nyaris tak percaya.<br /> <br />”Nggak nyesel?” tanya Candra Kurnia, salah seorang peserta diskusi. ”Ya, habis mau gimana. Saya butuh uang dan tumpukan kertas itu kan bisa jadi uang,” lanjutnya.<br /> <br />Draf dan hasil print yang sudah dikilokan itu bagian dari proses panjang penulisan Orang-Orang Oetimu. Proses berliku selama dua tahun yang banyak melewati proses ”tak lazim”.<br /> <br />Felix mengaku tak bisa menulis cerita sembari mengetik di laptop. ”Alasan utamanya ya karena sebenarnya waktu itu saya tidak punya laptop,” kata alumnus Fakultas Psikologi, Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur, itu.<br /> <br />Jadi, lanjut Felix, novel tersebut dia tulis tangan di kertas folio. Baru kemudian diketik di laptop pinjaman. ”Waktu itu saya pinjam (milik) adik kelas. Biasa. Atas nama senioritas,” ujar dia, lalu disambut tawa belasan peserta diskusi.<br /> <br />Jika tidak ada laptop pinjaman, Felix mengetik di warnet (warung internet). Karena itu, penting baginya untuk menuliskan naskah dengan rapi di folio.<br /> <br />Sebab, naskah itu nanti yang dia pindahkan ke bentuk digital lewat laptop adik kelas atau komputer sewaan di warnet. ”Nah, saya juga waktu itu tidak punya flash disk. Jadi, ketikan itu saya kirim dari e-mail saya di Yahoo ke e-mail saya di Google agar tersimpan,” paparnya.<br /> <br />Karena perfeksionis, Felix tak cukup hanya memindahkan tulisan dari kertas ke teks digital. Dia tetap merasa perlu mengedit ulang tulisannya.<br /> <br />”Saya print tulisan saya, lantas saya edit manual. Saya corat-coret bagian yang tidak cocok dan harus disesuaikan,” katanya.<br /> <br />Para peserta diskusi kembali melongo. Sungguh proses yang melelahkan. Menulis naskah dengan tangan, mengetik, mencetak tulisan, dan mengedit dengan pena lagi. Setelah itu, naskah editan diketik lagi untuk menjadi draf final.<br /> <br />Tapi, tidak bagi Felix. Dia sungguh menikmati proses itu. Bagi dia, proses menulis, mengetik, dan mengedit itu menyenangkan.<br /> <br />Dia memang lebih akrab dengan tulis-menulis secara manual. Dengan tangan. Sejak kecil, sejak duduk di bangku sekolah dasar.<br /> <br />”Dulu (waktu setingkat SMP dan SMA) saya juga suka mengerjakan mading (majalah dinding, Red),” katanya. Agar mading terlihat elok, tutur Felix, kreatornya tidak bisa sekali jadi membuat karya. Harus berulang. Jika itu puisi, puisinya perlu ditulis dulu sebagai draf di kertas HVS berwarna.<br /> <br />Lantas, puisi itu ditulis lagi dengan huruf-huruf yang lebih tebal, lebih rapi, dan lebih artistik. Artinya, pembuat mading akan berkali-kali menulis atau berkreasi untuk menghasilkan karya yang layak dipajang.<br /> <br />Dari sanalah rupanya proses kreatif ”mbulet” Orang-Orang Oetimu tadi berakar. ”Justru di situlah bagian yang paling seru,” ucapnya.<br /> <br />Tapi, meski ”resminya” hanya memindahkan tulisan, tak selalu pria yang kini bergiat bersama Komunitas Leko di Kupang, NTT, itu taat pada rancangan. ”Ya sering berubah. Apa yang saya ketik kadang tidak sama dengan apa yang ada di tulisan saya di kertas folio,” katanya.<br /> <br />Tokoh-tokoh dalam bukunya itu pun mengalami penambahan dan pengurangan. Demikian juga kisah-kisah pendukung di dalamnya.<br /> <br />Tokoh Silvy, misalnya. Dalam novelnya, Felix menggambarkan gadis yang masih duduk di bangku SMA itu sebagai pusat semesta. Semua pria –tua, muda, anak-anak– tergila-gila kepadanya.<br /> <br />”Bicaranya santun, tubuhnya wangi, dan parasnya sungguh menawan. Setiap pemuda bercita-cita mempersuntingnya, dan setiap anak mengalami mimpi basahnya.” Demikian deskripsi Felix tentang Silvy yang ditulisnya pada halaman 60.<br /> <br />Tapi, ketika dibacakan ulang karakter Silvy itu di sela diskusi, Felix malah heran. ”Ah, masak? Saya tulis begitu, ya? Lebay sekali,” seru Felix.<br /> <br />Felix yang lahir di Nesam-Insana, NTT, itu menyelesaikan Orang-Orang Oetimu pada 2018. Setelah memenangi sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang sama, novel diterbitkan Marjin Kiri pada semester dua tahun ini.<br /> <br />Oetimu, menurut Felix, sejatinya nama ladang sang ayah. Letaknya di belakang rumah. Lengkap dengan pohon cemara dan danau.<br /> <br />Bagi Felix, Oetimu adalah keindahan Timur. Karena itu, pemilik sebuah toko buku sederhana di Kupang tersebut mengabadikannya sebagai judul. Dia ingin membuka wawasan para pembaca tentang orang-orang Timur. Sekaligus, memperkenalkan budaya dan keindahan NTT ke seluruh penjuru tanah air.<br /> <br />Dalam buku setebal 220 halaman tersebut, lulusan seminari di Atambua, NTT, itu memang mengungkapkan banyak kegelisahan. Mulai soal dominasi Jawa, ke-lebay-an orang-orang kampung, hingga kemanusiaan para pastor yang hidup selibat.<br /> <br />Dengan kata lain, Orang-Orang Oetimu adalah jejak berharga sebagai penyeimbang perspektif di tengah Indonesia yang sangat Jawa-sentris. Meski, sayangnya, dokumen awal penyusunnya telah lama dikilokan.<br /> <br />”Kok, bisa sih, masak nggak ada yang tersimpan sama sekali,” tanya Diar Candra, peserta diskusi lainnya.<br /> <br />Felix berpikir sejenak. ”Coba nanti saya cari di kos. Sepertinya masih ada sebagian,” ucapnya ragu.<br />***<br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghZoDcUl3WWI9E7RRMXEnYDEWzY7_5RTQPtJsqLWrBxjuAUcF2EWPk9J2qxphPxYMWISQLL36i3cHvPRUBdCOhSm5svXY3ls1uv8CnFfvu2hmfsYIykqYjvKeQS1YCLnEJ-EUEL1bxJpY/s448/Felix+K.+Nesi+di+Graha+Pena%252C+Surabaya%252C+Jawa+Timur.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="232" data-original-width="448" height="166" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghZoDcUl3WWI9E7RRMXEnYDEWzY7_5RTQPtJsqLWrBxjuAUcF2EWPk9J2qxphPxYMWISQLL36i3cHvPRUBdCOhSm5svXY3ls1uv8CnFfvu2hmfsYIykqYjvKeQS1YCLnEJ-EUEL1bxJpY/s320/Felix+K.+Nesi+di+Graha+Pena%252C+Surabaya%252C+Jawa+Timur.jpg" width="320" /></a></div><div>Felix K. Nesi (dua dari kiri) saat berdiskussi di lounge Graha Pena, Surabaya<br /><p class="MsoNormal">*) INDRIA PAMUHAPSARI, Surabaya, Jawa Pos. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/cara-felix-k-nesi-melahirkan-orang-orang-oetimu/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/cara-felix-k-nesi-melahirkan-orang-orang-oetimu/</a></p></div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-67420846527178087362021-08-16T05:30:00.005-07:002021-08-16T05:30:34.352-07:00ILUSI DENNY JA MENYANGKUT “PUISI ESAI”Remy Sylado<br /> <br />Tulisan Denny JA berjudul “Remi Sylado, Puisi Esai dan Kisah Kacang di
Pesawat”, maunya mencela saya, tapi kasihan aktualnya hanya jatuh sebagai
pameran kebebalan dari seorang berkelas pedagang blantek di pasar hewan yang
berilusi dirinya seakan-akan intelektual sastra.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sebelum saya melanjutkan, menjawab celaan Denny JA itu, terlebih dulu saya
mesti mengilasbalik cerita bagaimana saya diundang bicara di Wapres Bulungan
dalam acara ulangtahun Sastra Reboan yang berlanjut dengan diskusi. Di forum
itu ada seseorang yang bertanya tentang ‘puisi esai’, dan saya menjawab dengan
cerita berikut ini. Bahwa pada suatu hari Dad Murniah dari Badan Bahasa
menelepon saya, meminta saya menulis pengantar untuk buku ‘puisi esai’ Denny
JA. Saya pun meminta dikirimi contoh puisi-puisi itu. Setelah membaca beberapa
saya merasa tidak mendapat dua hal yang selama ini saya isyaratkan untuk semua
karya sastra – puisi maupun prosa – yaitu kekayaan intelektual di satu pihak
dan kekayaan spiritual di lain pihak.<br /> <br />Karena saya tidak mendapatkan dua antepan itu pada contoh ‘puisi esai’
tersebut, saya bilang kepada Dad Murniah, tidak mau menulis pengantar yang
dimaksudkannya. Walau begitu, iseng saya bertanya, “Memangnya berapa honorarium
untuk penulisan pengantar itu?” Jawab Dad Murniah, “Dua setengah juta, Bang.”
Digambarkannya bahwa honorarium itu disertai dengan kontrak. Wah, kontrak?
Dengan jumlah uang seharga tukang tembok harus pakai kontrak segala?<br /> <br />Dalam tulisan Denny JA yang disebut di atas, dia berkata, “Namun sekali
kontrak ditandatangani, konsekwensi mengikuti. Aneh juga jika hal elementer
kontrak ini Remi pun awam tak mengerti.”<br /> <br />Wah, umur lu berapa sih, Ntong? Kalau soal kontrak di ladang musik atau
film, itu biasa. Saya pun bermusik dan berfilm. Di bidang musik saya profesional,
dibuktikan dengan penghargaan Anugerah Indonesia 2003, Piagam PAPPRI 2008, HPN
Award 2018. Di bidang film, pada 2003 saya menang Aktor Terpuji di FFB setelah
3x nominasi di FFI. Periksa juga rekaman musik-musik saya sejak 1973 di Spotify
dan iTunes. Pun sejak 1972 film-film saya, mulai dari ilustrasi musik,
skenario, dan akting, boleh periksa di Sinematik Indonesia.<br /> <br />Tapi kalau saya merasa geli bahwa pada 2018 orang baru bicara kontrak, dan
ini di bidang sastra, sungguh menyedihkan, karena dengan begitu kok sastra
direndahkan menjadi barang kelontong. Menurut saya, bahwa sastra seperti halnya
senirupa, menjadi cendayam menyangkut harkat senimannya, bukan karena ribet
perkara kontrak yang cenderung zahir dan badaniah. Ikhtiar kesastraan seorang
pesastra, baik lewat puisi maupun lewat prosa, sebagaimana diungkapkan dengan
bagus oleh Sitor Situmorang – adalah suatu tanggungjawab kenabian yang safi –
dan bukan muslihat perkelontongan macam blantek di pasar hewan. Dengan
menempatkan sastra di konteks ini, maka harkat manusia dalam kemanusiaan
universal – yang diperjuangkan oleh H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito pada 1963
lewat Manifes Kebudayaan – termuliakan di bawah imaji dan resemblansi – maaf
dalam bahasa Yunani yang saya paham betul karena studi saya termasuk filologi
Yunani, yang niscaya tidak bakal dimengerti oleh Denny JA – yaitu “kai ho Logos
en pros ton Theon, kai Theos en ho Logos.”<br /> <br />Oleh karena itu, bagi saya, kontrak dalam kekaryaan sastra, bukannya untuk
meninggikan harkat pesastra dengan mengimingkan uang yang sebenarnya hanya
seharga upah kuli tukang tembok, seperti ilusi Denny JA, tapi malah
memelorotkan makna sastra sebagai dunia berpikir menyangkut filsafat keindahan,
dan keindahan bagi orang beriman, adalah sepenuhnya anugerah dari omnipresensi Tuhan
jua. Dengan begitu harkat pesastra pun sebagai sosok ragawi seorang intelektual
tulen menjadi terapresiasikan, bukan seperti Denny JA yang mengaku diri
intelektual tapi berpikiran kelontong: mengukur manusia bukan oleh harkatnya
tapi karena hartanya, dan bukan martabatnya tapi manfaatnya. Saya kuatir,
jangan-jangan orang yang termakan kilik-kilik untuk menulis puisi pesanan
dengan kontrak itu adalah mereka yang dibangun sentimen pada ketakberdayaan
sosial untuk bebas berilusi. Manusia macam inilah yang mencelakakan Indonesia.
Sebab fokusnya berubah dari konsentrasi materiil ke pemberhalaan fulus. Itu
seperti pejabat-pejabat yang kulina mencuri uang rakyat. Lantas, ketika
tertangkap KPK, sempat-sempatnya cengenges di TV.<br /> <br />Di bidang sastra, teater, dan senirupa – bahwa tiga ladang seni ini
sama-sama merupakan fokus kerja kreatif saya yang profesional – jelas dengannya
saya menolak tawanan berpikir tentang kontrak-mengontrak seperti di film dan
musik yang saya sebut tadi. Dengan membilang kontrak di sastra, teater, dan
lukis, maka itu berarti saya menjerembabkan harkat, bukan sebagai insan
paripurna dengan piranti bakat rasa keindahan yang bersumber dari Tuhan itu,
tapi telah dengan pandir menjatuhkan diri sebagai manusia kelas kuli yang
termatikan namun tak terkuburkan. Naga-naganya hanya mental kuli yang merasa
sentosa diupah dengan cara dikontrak. Bayangkan, sejak zaman penjajahan
Belanda, orang-orang upahan itu harus menerima nasib disebut sebagai ‘kuli
kontrak’. Untung saya tidak sudi menulis pengantar ‘puisi esai’, sebab kalau
saya mau, bisa-bisa tulisan saya itu disebut ‘esai kontrak’. Betapa tidak
senonohnya.<br /> <br />Saya kira langkah pertama yang harus dilakukan oleh Denny JA adalah belajar
peristilahan dengan betul. Simak kamus paling standar ini, Dictionary of
English Language and Culture, pada lema honorarium, “a sum of money offered for
profession services, for which by custom the person does not ask to be paid.”
Atau The New Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, di
lema honorarium, ‘a voluntary fee especially for profesional services nominally
rendered without payment”.<br /> <br />Dengan mengiming-imingi duit sebagai upah lewat kontrak, saya anggap Denny
JA telah meletakkan derajat sastra bukan sebagai postulat dorongan-dorongan
rohani, tapi semata-mata hanya menjadi kegandrungan-kegandrungan badani,
kedagingan, urusan perut. Primitif sekali. Uang memang penting, tapi jauh lebih
penting kehormatan. Menulis puisi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa
kebangsaan – yang memberi kekayaan spiritual dan kekayaan intelektual tersebut
– adalah suatu kehormatan yang tidak bisa diukur dengan uang. Saya tidak sudi
menulis pengantar untuk ‘puisi esai’ karena merasa tidak ada kehormatan yang
bisa dimuliakan di situ. Denny JA boleh saja mencela puisi-puisi orang lain,
tapi dia toh tidak sanggup memberikan kehormatan seperti yang sudah diberikan
oleh puisi-puisi W.S. Rendra, Linus Suryadi, Subagio Sastrowardojo, Saini KM,
Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Ajip Rosidi, Ramadhan
KH., Toto Sudarto Bachtiar, dll.<br /> <br />Bagaimanapun, nilai kehormatan dalam kebudayaan adalah sejarah pewarisan
kebijaksanaan dari leluri para pendahulu. Artinya kita wajib secara sukarela
menimba kearifan, kebajikan, keadaban, dari luar diri kita dalam tarikh yang
berprogres. Menokohkan diri sendiri seperti yang dipraktikkan oleh Denny JA
adalah suatu jalan sesat di samping congkak dan songong. Saya mendapatkan
dasar-dasar kehormatan itu dari warisan puisi-puisi Semit. Kebetulan, selain filologi
Yunani saya pun belajar secara khusus filologi Ibrani. Menurut saya puisi-puisi
Ibrani dari bangsa Semit itu yang sudah diterjemahkan ke bahasa-bahasa Prancis,
Jerman, Inggris, Belanda merupakan sumber kedibyaan dari puisi-puisi karya
penyair besar dunia; sebut saja Shakespeare, Schiller, Goethe, Nietzsche,
Baudelaire, sampai T.S. Eliot. Termasuk jangan lupa penyair Indonesia Amir
Hamzah membaca sastra klasik Ibrani dari terjemahan Belanda, Het Hooglied van
Salomo.<br /> <br />Sayangnya Denny JA sudah sombong soktau pula. Dalam tulisannya yang mencela
saya, dia berkata, “REMI melakukan kesalahan elementer. Kesalahan para pemula
yang tak terbiasa dengan tertib berpikir.” Apakah Denny JA tertib? Mulut besar!
Bayangkan, menulis nama saya saja keliru. Dia menulis nama saya REMI SYLADO.
Padahal saya menulis nama saya dengan dua /y/, yaitu Remy Sylado. Bukan dengan
satu /i/. Dengan nama Remy Sylado ini, terakhir Februari 2018, dalam Hari Pers
Nasional yang diselenggarakan di Padang dan diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo
saya mendapat piala dan piagam bertuliskan “Remy Sylado, Penghargaan Kategori
Kepeloporan Dalam Penulisan Media Musik dan Puisi”.<br /> <br />Dan, o, ya peri kepeloporan puisi, pada 2004 saya menerima Satyalencana
Kebudayaan dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Berlanjut pada 2013 Achmad
Bakrie Award untuk saya dalam juga kepeloporan puisi. Penghargaan lain bidang
prosa misalnya Khatulistiwa Literary Award dan Penghargaan Pusat Bahasa untuk
“Kerudung Merah Kirmizi”, Komunitas Nobel Indonesia untuk “Ca Bau Kan”, Badan
Bahasa dan Kerajaan Thailand untuk “Namaku Mata Hari”. Dan banyak lagi. Tak
perlu disebut semua, nanti isinya ketularan memuji-muji diri. Memuji diri
seperti yang dilakukan oleh Denny JA sepenuhnya absurd, mengaku dirinya tokoh
berpengaruh, tapi kodratnya garam hendak menggarami lautan. Istilah dulunya
“onani”, istilah sekarangnya “swalayan”, istilah kakilimanya “loco”. Tak ada
tepuk tangan buat tukang ilusi bernama Denny Januar Ali.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2018/06/ilusi-denny-ja-menyangkut-puisi-esai/">http://sastra-indonesia.com/2018/06/ilusi-denny-ja-menyangkut-puisi-esai/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-21071301423502027582021-08-15T04:35:00.003-07:002021-08-17T08:48:43.494-07:00NGALOR-NGIDUL TIPIS-TIPIS: BERMULA DARI PRIANGAN SI JELITA<b>Ramadhan KH, Priangan Si Jelita</b><br /> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgz7YSp4Pea2g5SNKJPQW4eYGC9D82DJK367-LEGYKoeLKt5DcE9mlTEQ-lpfvVvdCHynjy_RV22biAL6Ac-HSjLgn4TDQ-LCj0UyZVa85dupKmGJUlKQBPkyn35O8ruWbq_BJS_B3o6gaT/s448/Ramadhan+KH%252C+Priangan+Si+Jelita.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="336" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgz7YSp4Pea2g5SNKJPQW4eYGC9D82DJK367-LEGYKoeLKt5DcE9mlTEQ-lpfvVvdCHynjy_RV22biAL6Ac-HSjLgn4TDQ-LCj0UyZVa85dupKmGJUlKQBPkyn35O8ruWbq_BJS_B3o6gaT/s320/Ramadhan+KH%252C+Priangan+Si+Jelita.jpg" width="240" /></a></div><div><br />Raudal Tanjung Banua<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sebagaimana Jarot alias Abdullah Sattar, santri tengil asal Alas Abang,
yang tergila-gila pada buku tipis puisi Ramadhan KH, Priangan Si Jelita, saya
juga sangat menyukai buku tersebut, dan kebetulan kami sama-sama temukan di Perpus
SMP (atau sekolah Jawa, versi orang Alas Abang). Bedanya, saya tidak sampai
menamainya pada siapa pun seperti Jarot menamai dan menyapa kekasihnya,
Istiqomah, dengan "Priangan Si
Jelita"-ku. Namun saya menemukan "buku pendamping" yang juga tak
tebal, yakni telaah Si Jelita oleh drs. Jiwa Atmaja, berasal dari skripsi
sarjana mudanya, membuat saya ikut senang membaca kritik atau telaah sastra
kemudian.<br /> <br />Jarot adalah tokoh dalam novel Hubbu karya Mashuri --entah kenapa saya rasa
sedikit banyak merepresentasikan penulisnya-- tercatat sebagai pemenang pertama
Sayembara Novel DKJ 2006. Sempat disebut-sebut sebagai contoh baik novel
polifonik, karena mewadahi suara-suara dan aneka persfektif sekaligus, selain
dari tokoh-tokohnya, juga naratornya, atau entah dalam pengertian apalagi
terkait makna polifonik yang belum saya pahami.<br /> <br />Bagaimana Jarot di Alas Abang, sebuah desa santri di pesisir utara Jawa
Timur bisa mendapat bacaan sama dengan seorang remaja Lansano, kampung pesisir
di pantai barat Sumatera, yang ratusan km jaraknya? Mungkin hal lumrah karena
pada masa buku itu terbit atau menyebar (terbit pertama kali tahun 1956, dan
cetakan ketiga yang kemungkinan kami baca terbit tahun 1975), kami sama-sama
duduk di bangku tingkat yang sama, sekolah menengah pertama, sementara
tahun-tahun itu, seburuk-buruknya sistem pendidikan Orba, mereka masihlah
membeli buku-buku sastra untuk disebarkan dengan cap "Milik Negara".<br /> <br />Kesamaan ini memang berdasarkan usia, sehingga lumrah pula berbagai dolanan
dan benda-benda memorial tak berbeda di satu tempat dengan tempat lain
sekalipun berjauhan. Bagaimana misalnya, gambar umbul dan komik-komik atau
bungkus rokok menyebar luas menjadi dolanan semerata negeri. Saya baru saja
bergabung dengan sebuah grup Nostalgia di facebook dengan ribuan anggota super
aktif. Apa diupload anggota di ujung pulau satu, direspon takjub dan haru oleh
anggota di ujung pelosok lain karena mereka juga mengalami persis postingan
itu. Mereka punya dunia yang sama, dulu. Pun sekarang, misalnya lewat
keserentakan fitur-fitur gadget, membuat anak di mana saja mengalami dunia yang
sama.<br /> <br />Tapi agak mencengangkan, bahwa dalam persentuhan dengan sastra, yang
pastilah tak seramai dunia umum nostalgia atau semeriah alur fitur, saya dan
Jarot, atau kita untuk menyatakan sedikit yang lain, berbagi bacaan yang sama.
Ini layak diapresiasi, ditujukan untuk semua hal yang mendukung
"pertemuan" itu (saya misalnya selalu akan mengingat Pak Ben, si guru
olahraga yang nyambi kuncen pustaka), termasuk apresiasi bagi diri sendiri.
Apalagi jika diingat buku Priangan Si Jelita atau sejumlah buku sastra lain,
bukan buku wajib kurikulum seperti buku Ini Budi dan Arman dan Ima saat di SD.
Meski dibeli dan disebar oleh Negara, tapi mereka nyaris digeletakkan begitu
saja di rak berdebu atau pustaka terkunci.<br /> <br />Beruntunglah kita yang bisa menyusup ke peti harta karun bernama pustaka
terkunci itu, dan mendapatkan kemilau dan permata kata-kata sebagaimana saya
dapatkan juga di Balada Orang-Orang Tercinta, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Orang-Orang Trans, Secercah Kisah Anak Tanah Air, Kubur Terhormat bagi Pelaut
atau Sebuah Rumah Nun di Sana, dan Jarot Sattar pasti juga punya temuan permata
yang lain.<br /> <br />Boleh jadi yang kami baca adalah Priangan Si Jelita cetakan ketiga, 1975,
sebab cetakan kedua tahun 1958 kemungkinan masih ejaan lama. Cetakan ketiga itu
menandai buku puisi tersebut diambil-alih penerbitannya oleh PT Dunia Pustaka
Jaya, terakhir saya punya cetakan kelima 2001, dan sekarang entah sudah cetakan
ke berapa.<br /> <br />Priangan Si Jelita mendapat Hadiah Sastra Nasional dari Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional (BMKN) sebagai kumpulan sajak terbaik 1957-1958, hadiah
yang juga pernah diterima antara lain oleh Mochtar Lubis, Pram dan Toha Mochtar
untuk kategori dan tahun berbeda.<br />Ada dua hal setidaknya dapat dikomentari dari buku ini. Pertama, dari segi
isi, inilah puisi bertema alam yang sangat indah dan menyentuh, dengan kesederhanaan
dan kesegaran bahasa ungkap. Sebagaimana judulnya, ia menjelajah tataran
Priangan dengan alamnya yang jelita. Kejelitaan itu padan dengan pilihan kata,
suasana yang terbangun dan cara mengungkap perasaan, ibarat mendengar tembang
Cianjuran. Kadang terasa ia seperti bergumam yang tidak dapat langsung saya
artikan secara leksikal seperti "seruling di pasir ipis, jamrut di
pucuk-pucuk, gadis dendang di matahari, belati di batu laut, mawar merah
disobek di tujuh arah, perawan sendirian disamun di tujuh jalan, sumur segala
derita, bersamaan semua berpelukan, sumur segala sayatan penampung tangis
bertukaran, dst" tapi dengan irama dan suasana yang kuat-akrab, saya
anggap paham saja, ‘eman-eman’ hilang keasyikan.<br /> <br />Tapi di sisi lain, ia bisa sangat lugas dan terbuka, tanpa kehilangan
kesegarannya, seperti "Pacar! Coklat matamu subur, coklat darah tanah
Cianjur; penyair kayu pertama di tumpukan pembakaran; Dara! Takut hanya buat
makhluk pengecut; Siapa cinta anak, jangan jual tanah sejengkal, kijang minta
pengurbanan tanda kejantanan dst".<br /> <br />Meski selintas berbau mooi indie, sesungguhnya puisi di sini amat tragik,
keindahan lembah, gunung dan bukit-bukit, berjalinan dengan sakit-derita orang
Priangan, menyusup di bawah permukaan, tertanam bak umbian kentang yang mesti
digali untuk tahu gunduk kedukaan. Artinya Ramadhan KH tak hanya memotret
lanskap alam, juga pergulatan manusia Sunda yang bermukim di atasnya. Baik
pergulatan kolegial "Dara sudah lari bersembunyi sejak senja, kota ditikam
menyendiri, tengok dataran tanah Priangan, sayang kalau gadis-gadis mesti jadi
perawan tua, dst," maupun secara personal, "mau ke mana Nak, singgah
cucurkan air mata, membalik tanah seperti neteskan air hujan di mata kedua
belah, aku tutup pintu dan jendela untuk tidak tahu lagi derita, dsb."<br /> <br />Alhasil dengan memasukkan unsur pergulatan dan derita manusia di atas alam
Priangan yang jelita, ironi dan kepedihan mengiris, pula seruling dan kecapi
menambah sangsai. Apalagi kalau kita baca sekarang di mana industri dan
urbanisasi gencar menggasak tlatar Priangan. Tak heran, Acep Iwan Saidi,
misalnya, meminjam dan membelokkannya jadi
Priangan Si Derita.<br /> <br />Kedua, ini buku puisi paling tipis yang pernah terbit, 40 halaman sadja,
itu pun sudah dengan pengantar "panjang" Ajip Rosidi, 12 halaman.
Barangkali ini jadi patokan DKJ mensyaratkan sayembara manuskrip puisi minimal
40 hlm. Puisinya hanya 3 judul sahaja-- Tanah Kelahiran, Dendang Sayang,
Pembakaran-- masing-masing dengan hanya 7 sub-penomeran, dan pendek-pendek
pula. Total jendral ada 21 sajak.<br /> <br />Saya berpikir jangan-jangan karena tipis buku ini jadi mengiris! Meski ini
ungkapan gotak-gatuk tapi mungkin saja jika diasumsikan pilihan sajaknya lebih
selektif, baik saat hendak diterbitkan maupun saat dituliskan. Tak mudah
menerbitkan buku kala itu, sehingga sajak yang diajak bergabung mesti terpilih
betul. Dan tak semua hal mesti ditulis jadi puisi, seperti dalam
seloroh,"tiap hari kok nulis puisiiii..." atau,"kesandung batu
aja ditulis!"<br /> <br />Ah, abaikan! Silahkan ajak anak rohani rame-rame gabung di buku sajak,
monggo apa-apa jadiin sajak...<br /> <br />Yang jelas, dan alhasil memang buku puisi tempo doeloe umumnya tipis-tipis.
Selain Priangan yang tertipis, konon Simponi Subagio, bisa jadi paling tipis.
Dalam catatan Zen Hae dalam buku esei terbarunya, Simponi pernah terbit di
Yogya, 26 hlm, tapi saya punya Buku Harian, 64 hlm dan Simponi Dua, agak tebal,
103.<br /> <br />Buku puisi lain juga rata-rata tipis, di antaranya, Puspa Mega - Sanoesi
Pane (45 hlm, 34 sajak), Buah Rindu - Amir Hamzah (54 hlm, 28 sajak) dan
Tebaran Mega - STA (46 hlm, 38 sajak). Sayang saya tak punya buku awal Chairil,
Kerikil-Kerikil Tajam, Deru Campur Debu dan Yang Terempas dan Yang Putus,
sehingga tak bisa membandingkan. Punya saya versi Pamusuk, Aku Binatang Jalang,
lebih tebal, karena memuat versi asli dan versi revisi. Tapi buku awal Chairil
pasti amat tipis dengan hanya 72 puisi asli + 2 sajak saduran.<br /> <br />Bandingan periode selanjutnya bisa dilihat Blues untuk Bonnie - Rendra (54
hlm, 13 puisi), Romance Perjalanan I - Kirdjomuljo (42 hlm, 19 puisi), Buku Puisi - Hartojo Andangdjaja (62 hlm, 36
puisi), Bulan Tertusuk Lalang - D. Zawawi Imron (72 hlm, 57 sajak pendek).<br /> <br />Begitu pula buku puisi yang terbit tahun 80-90an seperti Abad yang Berlari -
Afrizal Malna, Tamparlah Mukaku - Acep Zamzam Noor, Kita Bersaudara - Tan Lioe
Ie, saut kecil bicara dengan tuhan - Saut Situmorang, Pacar Kecilku - Joko
Pinurbo, Nyanyian Alamanda - Ulfatin Ch, atau Sangkar Daging - Gus Tf. Ini
belum termasuk antologi puisi tipis-tipis terbitan komunitas yang terutama juga
marak dalam periode tersebut, dengan tampilan sederhana, jilid stepless,
print/kopian/stensilan.<br /> <br />Buku puisi yang terbit tebal biasanya sajak kompilasi, selected poems,
seperti sajak lengkap Sitor, GM atau Otobigrafi Saut, selain ada edisi 100
sajak pilihan ala Pamusuk. Atau buku puisi setebal kamus, Kerygma & Matyria
- Remy dan Tripitikata - Sitok. Selebihnya, di luar alasan tersebut, kenapa
buku puisi sekarang cenderung tebal-tebal? Ya, rata-rata di atas 100 hlm. Soal
produktifitas? Aksesibilitas? Entahlah.<br /> <br />Tapi tetap ada yang terbit tipis seperti Misa Arwah - Dea Anugrah, Kartu
Pos dari Banda - Zulkifli Songyanan, Badrul Mustofa 3 x - Heru JP, Baromban -
Iyut Fitra atau Cinta tak Pernah Fanatik - Parlan Tjak, rata-rata di atas sedikit
50 atau di bawah 100 hlm.<br /> <br />Saya sendiri punya dua buku puisi yang relatif tebal, Gugusan Mata Ibu (xii
+ 116) dan Api Bawah Tanah (xvi + 160). Saya punya alasan, selain untuk
mewadahi sajak-sajak masa produktif yang jumlahnya cukup banyak, juga dengan
pertimbangan: nerbitin buku puisi itu punya kesukaran sendiri, baik yang datang
dari luar maupun dalam diri. Alhasil, meski punya akses dan kemudahan
penerbitan, sampai lebih 20 tahun menyair, baru dua itu saja buku puisi saya.<br /> <br />Tak mudah bikin buku puisi, apalagi yang berhasrat abadi, dan bikin banyak
orang merindu, bahkan untuk sebuah buku tipis, setipis "seruling di pasir
ipis, merdu..." -- yang sampai kini kurindui itu!<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">15 Agustus 2021 <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/ngalor-ngidul-tipis-tipis-bermula-dari-priangan-si-jelita/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/ngalor-ngidul-tipis-tipis-bermula-dari-priangan-si-jelita/</a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
</div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-41272585032989608192021-08-15T02:54:00.002-07:002021-08-15T02:54:31.571-07:00Teater Indonesia, Apa Masih Punya Masa Depan?!Amien Kamil *<div> <br />Teater Indonesia tak bisa diukur dengan metode standar kebanyakan ukuran
yang umum dan normatif saja. Teater Indonesia bukan hanya urusan statistik
ataupun logika matematika yang dangkal yang coba diterapkan sekedar untuk
mengajukan anggaran pembinaan ataupun ajuan proyek atas nama kesenian.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Teater sesungguhnya juga berurusan dengan ekspresi estetika dan penghargaan
sekaligus rasa hormat terhadap kebebasan berpikir yang sama sekali tiada
hubungannya dengan urusan birokrasi perijinan gombal nan menyebalkan dan perlu
juga diketahui oleh handai taulan komunitas teater dimanapun berada, bahwa kurator
teater itu sesungguhnya bukanlah sekedar kerak telor ataupun calo kesenian yang
cuma mengajukan kelompok teater yang menjadi kroni-kroninya demi mempertahankan
eksistensi dan perpanjangan ego pikiran dan lidahnya saja.<br /> <br />Perlu diketahui bahwa dalam eksistensi dan estetika Teater Indonesia tiada
rumus yang aksioma. Sebab dalam perjalanan sejarahnya, Teater Indonesia justru terus
berkembang dengan pikiran-pikiran baru yang kadang liar dan sulit diprediksi
serta tak pernah sedikitpun terlintas dalam proses kreatif dramawan era 60-70an
apalagi tercetak dalam buku panduan di perpustakaan ataupun konsep kerja
seminar-seminar teater di hotel bintang 5 yang penuh “cermin tipu daya”, maupun
rumus-rumus konvensional yang hadir di ruang-ruang kelas akademi teater
institusi manapun ataupun rumus-rumus basi yang diadopsi namun sudah
kadaluarsa. Hal diatas sesungguhnya justru menjauhkan Teater Indonesia dari
etos kerja tradisi yang sudah dibangun dan diperjuangkan oleh para pioner
pendahulunya melalui gagasan pemikiran ; “Kegagahan Dalam Kemiskinan : Teater
Modern Indonesia” ataupun konsep “Teater Tanpa Penonton” ataupun sejumlah
konsep-konsep lainnya.<br /> <br />Teater Indonesia sangat tidak mungkin hadir, bertahan dan berkilau
menghadapi tuntutan jaman bila ekspresi artistiknya hanya mengandalkan jurus
copy-paste dari ekspresi yang sudah ada yang menyumbat pola pikir kreatif. Bila
hal ini dibiarkan terus berlangsung kondisi seperti ini, maka bukan saja tiada
perkembangan yang signifikan tapi sesungguhnya dramawan dan para pemikir teater
Indonesia sedang menggali liang kuburnya sendiri. Padahal Teater Indonesia
Kontemporer akan bisa melesat menembus masa depan dan sangat mungkin melahirkan
paradigma baru bila diberi ruang kebebasan serta sarana atau equipment standar
guna mendukung dramawannya melahirkan aneka karya baru, demi memperkaya
khazanah Teater Indonesia serta memberi pencerahan kepada masyarakat luas serta
mampu bersaing dalam festival-festival teater mancanegara.<br /> <br />Bagi kami; Republic Of Performing Arts, Teater bukanlah sekedar kerja
mengisi waktu luang ataupun aktivitas iseng daripada menganggur. Teater adalah
juga sebuah cermin untuk kita berkaca. Mengolah diri untuk menjadi manusia
seutuhnya yang merdeka dan mandiri serta mampu untuk berdiri di atas kaki
sendiri. Sesungguhnya Teater adalah juga sebuah usaha untuk
"Memanusiakan"<br />***<br /> <br />*) Amien Kamil, lahir di Jakarta 1963. Tahun 1983, sempat belajar di
Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. Tahun 1986-1996, bergabung dengan
Bengkel Teater Rendra, terlibat dalam beberapa pementasan di kota-kota besar di
Indonesia. Tahun 1988, ikut serta dalam “The First New York International
Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets
Theatre” di Vermont, USA. Tahun 1990, pentas di Tokyo & Hiroshima, Japan.
Tahun 1999, Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea. Lighting Design untuk konser
musik Iwan Fals hingga tahun 2002, pentas di seluruh kota-kota besar di
Indonesia. Tahun 2003-2005, kolaborasi dengan penyair Jerman Brigitte
Oleschinski. Pentas multimedia di Berlin, Koln, Bremen dan Hamburg. Selain itu
juga memberikan workshop teater di Universitas Hamburg, Leipzig dan Passau.
Mengikuti International Literature Festival “Letras Del Mundo” di Tamaulipas-Tampico,
Mexico.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Tahun 2006, Sutradara “Out Of The Sea”, Slavomir Mrozek, Republic of
Performing Arts, Teater Utan kayu, Jakarta. Tahun 2007, Antologi puisi “Tamsil
Tubuh Terbelah” terbit dan masuk dalam 10 besar buku puisi terbaik Khatulistiwa
Literary Award 2007. Tahun 2008, Poetry Performing “Tamsil Tubuh terbelah”,
kolaborasi dengan Iwan Fals, Oppie Andaresta, Irawan Karseno, Toto Tewel,
Njagong Percusion, Republic of Performing Arts, di Teater Studio, Taman Ismail
Marzuki. Tahun 2009, Pameran lukisan & Instalasi “World Without Word” di
Newseum Café. Tahun 2010, Sutradara Performing Arts “Elemental”, kolaborasi
dengan pelukis mancanegara, Jakarta International School. Tahun 2011, Sutradara
“Sie Djin Koei”, Republic of Performing Arts, Mall Ciputra, Jakarta. Di bulan
April, Sutradara & Perancang Topeng “Macbeth”, William Shakespeare,
Produksi Road Teater, Gedung Kesenian Jakarta. Mei-Juni, Kunjungan Budaya ke
Denmark, Germany dan Norway. Juli, Mengikuti “ International Culture Dance
Festival 2011” Sidi Bel Abbes, Algier, North Africa. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/teater-indonesia-apa-masih-punya-masa-depan/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/teater-indonesia-apa-masih-punya-masa-depan/</span></a></span></p>
</div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-22904352499207519422021-08-15T02:53:00.000-07:002021-08-15T02:53:01.927-07:00Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar<b>Dermaga Tiga</b><br /><b>Sebelum Keberangkatan</b><br /> <br />tubuhmu mengarak anak ombak<br />meniti beburit, melempar tampar jangkar hingga ceruk<br />terdalam tempat kau aku ceburkan resah yang membiak<span><a name='more'></a></span><br /> <br />jangan bimbang dan ragu. jangan tunggu sanak<br />kapal akan segera diberangkatkan menuju seberang<br />biar sanak-kerabatmu menyelam atau terbang jadi sisifus<br />barangkali mereka tengah bersiap tinggalkan gubuk-gubuk<br />tanpa menitikkan keringatnya pada kampung terkurung<br />jangan tanya ke mana ikan panggang terbuang<br />keringat sudah lama mengering<br /> <br />surabaya-jogja, 2007<br /> <br /> <br /> <br /><b>Percakapan Malam</b><br /> <br />seusai gerimis membasahi alas tidurku dan tidurmu<br />di tanah pasir, di halaman panjang; kamu aku mengarak waktu<br />menapaki jalanan setapak menuju pusara<br />berbau kembang kecubung. bergoyang dan berserak di selembar almanak<br />lalu, kamu aku menandainya saat langit terkatup kabut.<br /> <br />tapi masih saja, sesuai gerimis, selepas jam dua belas malam<br />ketika sulur cahaya fajar mekar, kamu-aku lupa busur biosfir,<br />tanah-tanah basah melembab, halaman berpasir memanjangkan<br />kisah-kisah keluh letih. tak berkesudahan. memahat<br />kerut merut wajah kamu-aku yang terjebak oleh mantra akrobat<br /> <br />lihatlah, bulan dan bintang menggantung di antara alis mataku juga matamu,<br />bias menelusup ke sel darah mendetakkan jantung<br />sabit bulan meremangi halaman berpasir tempat kamu-aku berbaring<br />berbagi cerita tentang gerimis, dan matahari yang mulai beringsut ke barat<br />dari balik awan yang mencipta cuaca kelabu<br />menjadikan gerimis alpa di selembar almanak yang masih berserak;<br />di manakah kita berada; mengawali waktu yang keramat<br /> <br />2006-03-29<br /> <br /> <br /> <br /><b>Selepas Hujan 2</b><br /> <br />dan langit yang melengkung<br />membentangkan busur panjang warna-warni<br />itukah pelangi? bisikmu<br />gerimis meleleh memanjang di sebalik dinding<br />dan kemudian rebah; berkecipak di lantai basah<br />kenapa tidak pada tanah? tanyamu<br />sebab tanah tak pernah letih<br />juga bumi, biarlah menggembur<br />seperti juga daun yang tak pernah gugur<br /> <br />pada tangkai, daun berbisik tentang gemerisik:<br />bila akar tertebang. adakah angin dijelang?<br />hujan tak kenal rintang<br />bumi, juga matahari.<br />tak pernah khianati janji<br /> <br />jogja 2006<br /> <br /> <br /> <br /><b>Biarlah Aning Menggelembung</b><br /><b>Melayangkan Dedaun Tanpa Menyisakan</b><br /><b>Letusan Panjang</b><br /> <br />diiringi dementing parang pada batang tak berakar<br />kau bakar akar-akar pohon asam<br />dan tumbang sebelum musim hujan berakhir<br />di selangkang waktu, di mana kau selalu menunggu<br />hari beringsut dari sepotong kabut,<br /> <br />aku masih menunggu, dinda<br /> <br />di bawah lapisan awan purba<br />di sela kepulan asap yang diruncing angin<br />kau menggeliat di rusuk kiriku, bergerak menuju masalalu<br />di mana kau aku merayakan pertemuan<br />sebelum pohon-pohon asam ditumbangkan<br /> <br />(biarlah udara dikawin angin, menggelembung, melayangkan dedaun<br />tanpa menyisakan letusan berulang)<br /> <br />kau aku jadi sepotong batang kayu<br />menyampiri udara di ujung waktu.<br /> <br />Madura, 2005<br /> <br /> <br /> <br /><b>Gemuruh Ombakkah?</b><br /> <br />setiap kali aku memandang ke laut<br />putih buih berkeluh<br />angin kabarkan kematian<br /> <br />jauh mataku memandang<br />berlabuh di laut pasang<br />riak darah dalam tubuh berkecipak<br />seiring gemuruh dan dementing jantung<br />kematian terus dikabarkan<br />terus melintas<br /> <br />2004.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/02/puisi-puisi-mahwi-air-tawar/">http://sastra-indonesia.com/2009/02/puisi-puisi-mahwi-air-tawar/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-37243444988351608392021-08-12T17:46:00.005-07:002021-08-12T17:46:30.029-07:00Sastrawan Beri Kado Karya untuk 80 Tahun L.K. Ara<b>Jejak Kata, L.K. Ara</b><br /><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3eyZUYQ1wNpAG5VZ5oYxduALhKTHDQ0Rbic4dHWU_yH1_gn27M43qzY4_Vf6ycOiw5nCBchQKc9yxudPbTXN0_u5bxtHS-wDCRBpxCH88RDStZnfZoPfUD4jAaezPc_Qn9PVHb6YjfvFb/s448/Jejak+Kata%252C+karya+LK+Ara.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="448" height="214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3eyZUYQ1wNpAG5VZ5oYxduALhKTHDQ0Rbic4dHWU_yH1_gn27M43qzY4_Vf6ycOiw5nCBchQKc9yxudPbTXN0_u5bxtHS-wDCRBpxCH88RDStZnfZoPfUD4jAaezPc_Qn9PVHb6YjfvFb/s320/Jejak+Kata%252C+karya+LK+Ara.jpg" width="320" /></a></div>Red: Irwan Kelana<span><a name='more'></a></span><br />Republika, 11 Nov 2017<br /> <br />Sejumlah sastrawan memberi kado istimewa kepada sastrawan dan budayawan LK
Ara yakni berupa karya yang dikumpulkan menjadi buku berjudul Jejak Kata. Buku
setebal 150 halaman yang disusun Mustafa Ismail dan Willy Ana dan diterbitkan
oleh Penerbit Imaji itu diluncurkan di Boulevard Aceh Coffee, Jalan H
Fakhruddin No 5, Jakarta Pusat, Sabtu 11 November 2017 pukul 18.18 WIB.<br /> <br />"Buku itu berisi puisi, prosa dan esai karya lebih dari 50 seniman dan
sastrawan Indonesia," kata Willy Ana dalam rilis yang diterima
Republika.co.id, Sabtu (11/11). Dalam
buku itu juga dilampirkan beberapa kliping berita yang dikutip dari sejumlah
media massa yang menulis tentang LK Ara.<br /> <br />Para sastrawan dan seniman yang karyanya termaktub dalam buku itu antara
lain D Zawawi Imron, Rida K Liamsi, Ahmadun Yosi Herfanda, Bambang Widiatmoko,
Eka Budianta, Rizaldi Siagian, Fikar W Eda, Zulfaisal Putra, Wayan Jengki
Sunarta, dan Dedy Tri Riyadi. Selain itu, Deni Kurnia, Sulaiman Juned, Sulaiman
Tripa, Syarifuddin Arifin, Teuku Ahmad Dadek, J Kamal Farza, Nurdin F Joes, dan
lain-lain.<br /> <br />LK Ara lahir di Takengon pada 12 November 1937. Ia menulis dan melakukan
kegiatan (hampir) semua bidang
kebudayaan. Fokus utamanya adalah menulis puisi dan ia dikenal sebagai salah
satu satrawan penting Indonesia.<br /> <br />Selain puisi, ia juga menulis cerita, cerita rakyat, cerita anak, esai,
apresiasi sastra, leksikon, ensiklopedi. LK Ara juga mengumpulkan didong dari
Gayo hingga mengumpulkan pantun dari Bangka Belitung. Ia pernah dua tahun tinggal
di Pangkalpinang, Bangka Belitung, untuk melakukan riset tentang pantun dari
sana.<br /> <br />Selama itu, ia berhasil mengumpulkan 2.000 pantun. Sebanyak 1.000 pantun
telah diterbitkan dengan judul Pucuk Pauh oleh Yayasan Nusantara pada 2005. Tak
hanya itu, selama di Bangka Belitung, ia turun ke sekolah-sekolah untuk membaca
puisi bersama penyair setempat seperti Ian Sancin, Suhaimi, Ķario dan
lain-lain.<br /> <br />LK Ara pula yang memperkenalkan penyair tradisi dari Gayo, To'et, kepada
publik nasional.<br />"Ia memang terus gelisah untuk melakukan berbagai kegiatan kebudayaan.
Di usianya yang sepuh semangatnya tak pernah padam," kata Mustafa Ismail,
penyair asal Aceh, yang juga penyusun buku ini. "Maka sangat penting kita
memberi apresiasi terhadap kesetiaan Pak LK Ara dalam berkarya."<br /> <br />LK Ara sangat terharu atas apresiasi para sahabatnya dalam dunia sastra
itu. "Ini bentuk rasa syukur diberi kesehatan, panjang umur, sehingga bisa
terus menulis," ujar LK Ara. Ia berterima kasih kepada banyak pihak yang
berada di balik penerbitan buku Jejak Kata dan acara peluncurannya.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="https://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/oz8wre374/sastrawan-beri-kado-karya-untuk-80-tahun-lk-ara">***</a></span></p>
</div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-84360877115336025242021-08-12T16:46:00.006-07:002021-08-12T16:46:54.688-07:00Puisi-Puisi L.K. Ara<b>SINAR</b><br /> <br />Tuhan<br />Aku perlu matahari<br />Sinar yang kau hamparkan<br />Bagi umat semesta<br />Tapi aku perlu juga<br />Sinar mata kekasih<br />Sinar mata yang menggorek dosa<span><a name='more'></a></span><br />Dan menggantinya<br />Dengan amal dan iman.<br /> <br />Lamprik, 9 Agustus 1986<br /> <br /> <br /> <br /><b>MENCARI JEJAK</b><br /> <br />Malam itu<br />Aku<br />Seperti terlempar<br />Di kotamu<br /> <br />Aku memang tidak punya apa-apa<br />Dan tak mencari siapa-siapa<br />Jendela dan pintu<br />Telah tertutup untuk ku<br /> <br />Angin dengan leluasa<br />Merubuhkan tubuhku<br />Di emper-emper toko<br />Dan got jalanan<br /> <br />Tapi mimpiku mengalir<br />Bersama sunyi<br />Mencari jejakmu<br />Sampai dini hari.<br /> <br />Penayung, 8 Agustus 1986<br /> <br /> <br /> <br /><b>BILA KELAK</b><br /> <br />Wahai<br />Bila kelak<br />Kau berangkat<br />Memetik bunga<br />Dan menari<br />Sepanjang jalan raya<br />Lemparkan aku di pasir<br /> <br />Aku akan tinggal di pasir<br />Aku akan berumah dipasir<br />Aku akan tidur di pasir<br />Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir<br />Aku akan meraba kasihmu di pasir<br />Di pasir<br />Rindu kita akan tetap mengalir.<br /> <br />Jakarta, 1986<br /> <br /> <br /> <br /><b>PERJALANAN MALAM</b><br /> <br />Seperti awan<br />Menjamah punggung bukit di jauhan<br />Begitu jemariku<br />Penuh kasih<br />Penuh rindu<br /> <br />Sebuah perjalanan malam<br />Sudah kita lalui<br />Perjalanan rindu<br />Antara awan dan bukit<br />Antara kau dan aku<br /> <br />Jakarta, 1986<br /> <br /> <br /> <br /><b>KENING BULAN</b><br /> <br />Kening bulan<br />Bagai perak berkilau<br />Bersinar oleh cahaya iman<br />Yang selalu melekat<br />Di sajadah<br /> <br />Kening bulan<br />Bagai perak berkilau<br />Mendekatlah<br />Kepada angin kembara<br />Yang nestapa<br />Yang mencari<br />Dan mengembara<br />Di belantara dunia<br /> <br />Mendekatlah<br />O kening bulan<br />Angin kembara<br />Ingin mengecupnya<br />Untuk melepas risaunya<br /> <br />Jakarta, 1986<br /> <br /> <br /> <br /><b>KASUR</b><br /> <br />Kau rajut daun<br />Dengan benang kasih<br />Kau susun pasir<br />Dengan nada rindu<br />Menyiapkan kasurku<br />Untuk tergolek tidur<br />Dan mimpi<br />Di sampingmu.<br /> <br />Ujung Bate, 1986<br /> <br /> <br /> <br /><b>BANDA ACEH</b><br /> <br />Yang masih ku ingat tentang dirimu<br />Adalah pahatan sejarah di batu<br />Dalam goresan bisu<br />Yang kuraba dengan rindu.<br /> <br />Ujung Bate, 8 Agustus 1986<br /> <br /> <br /> <br /><b>IYA</b><br /> <br />Angkasa yang sepi<br />Lihatlah<br />Ibu terbang<br />Sebelah sayapnya<br />Iya<br />Bumi yang tua<br />Lihatlah<br />Bapa berjalan<br />Sebelah kakinya<br />Iya<br />Matahari, bulan, dan bintang-bintang<br />Yang semua nampak serta<br />Terbungkuk-bungkuk menerangi<br />Ibu dan bapa menempuh jalannya.<br /> <br /> <br /> <br /><b>CATATAN PADA DAUN</b><br /> <br />Kau mencatat pada daun<br />Sebuah pesan<br />Ketika langit sempat biru<br />Tanpa awan<br />Setelah kau pergi<br />Jauh<br />Kubaca pesanmu<br />Lalu kusimpan<br />Jauh<br />Dalam diriku<br />Kini pesan itu<br />Mengalir dalam darahku<br />Dan bila aku mati<br />Ia kusimpan di syair sunyi.<br /> <br /> <br /> <br /><b>DENGAN SETIA YANG MARAK</b><br /> <br />Biar perjalanan jauh masih<br />Dan badan terkulai lunglai<br />Namun hasrat jati dihati<br />Tetap marak pada tujuan<br />Kamboja di dalam taman<br />Menaungi jasad kejang dan dingin<br />Tergeletak diam pada lahirnya<br />Pada batinya meneruskan perjalanan<br />Sungguh teramat jauh ujung<br />Oleh ramai onak dipangkal jalan<br />Tapi relai sakit dan senang<br />Di jalanan Ia tentukan<br />Langkah barulah berarti dilangkahkan<br />Dengan setia jang marak kepadaMu, Tuhan.<br /> <br /> <br /> <br /><b>SALAM 1</b><br /> <br />Salam kepada pintu terbuka yang tersenyum memandang kita<br />Salam kepada kerikil yang menciumi kaki kita yang bersih dan kotor<br />Salam kepada bunga di dalam pot dan bunga di luar pot yang memberi<br />Wangi harum kepada kita<br />Salam kepada rumput yang hijau yang jadi permadani<br />Salam kepada kendi yang berisi air dingin yang membasuh tangan, kaki,<br />Dan wajah kita<br />Salam kepada tangga yang tinggi yang diam dan setia<br />Salam kepada lantai yang rapat dan renggang<br />Salam kepada tikar yang berkembang dalam warna-warni<br />Yang mengasyikan mata<br />Salam kepada seisi rumah, lelaki, perempuan yang besar dan kecil<br />Salam kepada kita semua<br />Salam.<br /> <br />***<br />L.K. Ara, lahir di Takengon, Aceh,
12 November 1937. Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum
(Medan), Pegawai Sekretariat Negara, terakhir bekerja di Balai Puataka hingga
pensiun (1963-1985). Bersama K. Usman, Rusman Setiasumarga dan M. Taslim Ali,
mendirikan Teater Balai Pustaka (1967). Memperkenalkan penyair Tradisional
Gayo, To’et, mentas di kota-kota besar Indonesia. Menulis puisi, cerita
anak-anak dan artikel seni dan sastra. Dipublikasikan di Koran dan majalah di
Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.<br />Karyanya yang sudah terbit antara lain; Angin Laut Tawar (Balai Pustaka,
1969), Namaku Bunga (Balai Pustaka,
1980), Kur Lak Lak (Balai Pustaka,
1982), Pohon Pohon Sahabat Kita (Balai Pustaka, 1984), Catatan Pada Daun (BP,
1986), Dalam Mawar (BP, 1988), Perjalanan Arafah (1994), Cerita Rakyat dari
Aceh I, II, (Grasindo, 1995), Belajar
Berpuisi (Syaamil Bandung), Berkenalan Dengan Sastrawan Indonesia dari Aceh
(1997), Langit Senja Negeri Timah (YN 2004), Seulawah; Antologi Sastra Aceh
Sekilas Pintas (ed. YN, 1995), Aceh
Dalam Puisi (ed. Syaamil, 2003), Pangkal Pinang Berpantun (ed. DKKP, YN, 2004),
Pantun Melayu Bangka Selatan (ed. YN, 2004), Pucuk Pauh (ed YN 2004), Syair Tsunami (ed. Balai Pustaka 2006), Puisi
Didong Gayo (Balai Pustaka 2006), Tanoh Gayo Dalam Puisi ( YMA, 2006), Ekspressi Puitis Aceh Menghadapi Musibah (BRR
2006),<br />Puisinya dapat juga ditemukan dalam: Tonggak, (1995), Horison Sastra
Indonesia 1 (2002) ,Sajadah Kata (Syaamil, 2003).<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Pernah mengikuti Simposium Sastra Islam di Univ. Brunei Darussalam (1992),
Festival Tradisi Lisan di TIM, Jakarta (1993),<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>Kongres Bahasa Melayu Dunia, Kuala Lumpur (1995), Pertemuan Sastrawan
Nusantara<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>IX di Kayutanam, Sumatra Barat
(1997), Pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam, Pangkalpinang, Bangka (2003),
Pertemuan Dunia Melayu Islam, Malaka, Malaysia (2004), Mengikuti Festival
Kesenian Nasional (Sastra Nusantara) di Mataram NTB (2007). <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/puisi-puisi-l-k-ara/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/puisi-puisi-l-k-ara/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-3366158695776878232021-08-12T16:07:00.003-07:002021-08-12T16:07:22.545-07:00Novel Orang-Orang Bertopeng (15)Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002<br /> <br />Teguh Winarsho AS<br /> <br />Pagi cerah. Salman terus menyusuri jalan kampung sambil sesekali meraba
saku celananya yang berisi bungkusan plastik kecil dan amplop warna merah hati.
Salman takut jika bungkusan plastik itu jatuh di jalan. Misinya bisa gagal
total. Salman ingat betapa susah untuk mendapatkan bungkusan plastik serupa
itu yang jika diminum akan membuat si
peminum mendadak jatuh cinta, mabuk
kepayang, meski sebelumnya benci setengah mati. Teman-temannya sudah banyak
yang membuktikannya. Kini giliran Salman ingin membuktikan sendiri.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sebenarnya jarak rumah Salman dengan rumah Fatma tidak terlalu jauh, tapi
entah kenapa setengah perjalananpun belum tertempuh. Tidak terasa keringat
dingin mulai berpernik di dahi Salman yang kemudian tampak berkilat diterpa
cahaya matahari. Tapi, ah, bayang-bayang orang bertopeng itu, sorot mata bengis
itu, todongan senjata itu, tiba-tiba datang menyergap saat Salman melewati
jalan sepi tepi hutan. Tak ada orang lain di situ yang bisa ia minta
pertolongan jika terjadi sesuatu. Keringat dingin mengucur semakin deras tak
bisa dibendung. Salman kemudian ingat mimpinya semalam. Benarkah mimpi itu akan
berubah menjadi kenyataan? Diam-diam Salman berdoa agar dirinya selalu
terhindar dari segala macam bahaya. Paling tidak hari ini.<br /> <br />Angin meliuk. Seekor burung gagak terbang dari balik rimbun pepohonan.
Kepak sayapnya begitu keras menimbulkan bunyi mirip derap langkah sepatu.
Salman kaget. Reflek ia meloncat mencari arah sumber suara. Tapi tentu saja
Salman kecewa karena hanya mendapati seekor burung gagak hitam, jelek, buruk,
kotor, terbang sendirian ke angkasa. Salman berhenti sejenak mengatur nafas.
Sejenak Salman sempat berpikir membatalkan kunjungannya ke rumah Fatma. Tapi
entah kenapa kakinya terasa berat untuk diajak pulang. Sebaliknya ada semacam
dorongan, entah apa, begitu kuat mendesak-desak tubuhnya agar terus bergerak
menuju rumah Fatma.<br /> <br />Dan, bungkusan plastik itu masih ada dalam saku celana Salman.<br /> <br />SEMBILAN<br /> <br />KONDISI keamanan kampung Pegasing berangsur-angsur mulai pulih. Tak pernah
terdengar lagi berita orang diculik atau suara tembakan pada tengah malam buta.
Karenanya orang-orang mulai berani keluar malam meski masih saling bergerombol.
Warung-warung yang hanya buka pada malam hari kembali diserbu pembeli.
Sebenarnya tidak banyak uang yang mereka belanjakan di situ, kecuali untuk
segelas kopi kental, dua tiga biji pisang goreng atau empat bungkus kacang
rebus. Selebihnya mereka memanfaatkan tempat itu sebagai ajang ngobrol, melepas penat setelah seharian bekerja di
sawah atau ladang.<br /> <br />Tidak ada orang kampung yang tahu persis kemana perginya gerombolan orang
bertopeng. Yang mereka tahu keadaan kampung kini berangsur-angsur kembali
normal. Bagi mereka itu sudah cukup sebagai modal untuk membangun harapan masa
depan yang berkali-kali koyak di tengah jalan. Mereka berharap tidak saja
gerombolan orang bertopeng yang pergi
dari kampung, tapi juga para pejabat, konglomerat, orang-orang berdasi dari
kota yang sering datang menebang pohon hutan seenaknya. Kepergian gerombolan
orang bertopeng itu (jika memang benar-benar pergi), mudah-mudahan juga diikuti
oleh kepergian para pejabat, para konglomerat, orang-orang berdasi dari kota.<br /> <br />Tapi dari bisik-bisik yang mulai merebak dari mulut ke mulut, gerombolan
orang bertopeng itu belum sepenuhnya pergi. Mereka masih berkeliaran di
hutan-hutan sembari menyusun kekuatan. Entah siapa yang mulai meniupkan berita
itu, yang jelas keberadaan gerombolan orang bertopeng itu betapa menakutkannya,
selalu menarik untuk dijadikan bahan obrolan.<br /> <br />Begitulah. Sebagian orang percaya gerombolan orang bertopeng masih
berkeliaran di hutan, sebagian lagi tidak percaya, dan sebagian lainnya ---
inilah yang tidak disangka-sangka sebelumnya, --- mengatakan bahwa sesungguhnya
ada dua kelompok gerombolan orang bertopeng yang saling bermusuhan. Satu
kelompok bersenjata lengkap, satu kelompok lagi bersenjata seadanya. Tapi
keduanya sama-sama dikenal beringas, brutal, tidak segan-segan membunuh tanpa
alasan jelas. Konon, karena dendam masa lalu, kedua kelompok ini terus bertikai
dan memperbesar kekuatan.<br /> <br />Jelas pembicaraan akhirnya jadi ruwet membingungkan. Bagaimana mungkin
ada dua kelompok gerombolan orang
bertopeng? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Kenapa selama ini mereka tidak
tahu? Lantas gerombolan orang bertopeng mana yang selama ini mengacau kampung?
Menculik dan membunuh penduduk kampung? Yang bersenjata lengkap atau yang
bersenjata seadanya? Sayang, kecuali Salman, orang-orang yang baru kembali dari
sarang penculik, selalu saja terganggu jiwanya sehingga tidak bisa dimintai keterangan.
Salman sendiri yang tidak terganggu jiwanya, tidak banyak tahu tentang
gerombolan orang bertopeng karena matanya selalu ditutup kain hitam.<br /> <br />Kesimpulannya, orang-orang kampung mesti harus terus waspada. Terus bersikap
hati-hati. Boleh jadi seseorang di warung kopi milik Cut Hindar sambil melahap
pisang goreng.<br /> <br />Beberapa orang di sekitar situ hanya manggut-manggut. Membenarkan.<br /> <br />"Sampai kapan kita akan seperti ini? Aku sudah tidak tahan."<br /> <br />"Sampai dua kelompok gerombolan orang bertopeng itu berhenti bertikai.
Kita baru akan aman…"<br /> <br />"Begitu?"<br /> <br />"Ya."<br /> <br />"Lantas, apa yang harus kita lakukan?"<br /> <br />Orang yang ditanya hanya mengangkat bahu sambil menghempaskan asap rokok.<br /> <br />"Bagaimana kalau melawan?" Cut Hindar pemilik warung tiba-tiba
angkat suara. Orang-orang mendongak. Kaget.<br /> <br />"Boleh, asal kita mau mati konyol. Kau tahu, gerombolan orang
bertopeng itu sangat terlatih. Mereka sudah sering latihan perang. Mereka punya
senjata lengkap. Sedang kita? Apa yang bisa kita perbuat? Sehari-hati kita
pegang cangkul dan sabit…."<br /> <br />"Tapi kalau begini terus kita juga akan mati."<br /> <br />"Yah, paling tidak umur kita masih bisa sedikit lebih panjang. Kalau
kita semua mati, siapa nanti yang akan belanja di warungmu? Jangan-jangan kamu
sebenarnya sudah bosan dengan warung ini karena banyak yang hutang,
ha-ha-ha...."<br /> <br />Kontan orang-orang di warung Cut Hindar tertawa. Mereka semua rata-rata
pernah atau masih berhutang pada Cut Hindar. Yang masih berhutang tentu saja
hanya cengar-cengir.<br /> <br />"Hayo, hayo, siapa yang merasa punya hutang, segera bayar," kata
Cut Hindar berusaha menahan tawa.<br /> <br />Orang-orang tertawa semakin keras. Seseorang yang sedang menyruput kopi
tersedak hingga batuk-batuk.<br /> <br />"Sudah, sudah, jangan ketawa terlalu keras. Salah-salah gerombolan
orang bertopeng itu datang kemari. Mampus kita semua," kata seseorang
membelitkan sarung di leher.<br /> <br />"Kalau datang ke sini, biar kubunuh mereka," jawab Cut Hindar
sengit.<br /> <br />"Jangan bilang begitu, bisa kuwalat kamu!"<br /> <br />"Jangan-jangan nanti malah kamu sendiri yang dibunuh mereka,"
seseorang menimpali.<br /> <br />"Aku tidak takut. Ayo, ayo, mana gerombolan para pengecut itu! Sini
hadapai aku!" Cut Hindar mengacung-acungkan garpu.<br /> <br />"Kau benar-benar tidak takut?"<br /> <br />"Benar."<br /> <br />"Bagaimana kalau sebelum dibunuh kau diperkosa dulu ramai-ramai oleh
gerombolan orang bertopeng, hayo?!"<br /> <br />Kembali suara tawa memenuhi warung Cut Hindar. Kali ini Cut Hindar
gelagapan. Wajahnya memerah.<br />Begitulah kehidupan malam di warung Cut Hindar yang buka mulai pukul
setengah enam sore sampai subuh. Suasana kekeluargaan terasa begitu akrab tidak
pandang usia. Semua perkataan sekasar apapun tentu saja hanya sekadar bercanda.
Tidak pernah dimasukan dalam hati. Apalagi sampai menimbulkan permusuhan.
Mereka sadar hanya itu satu-satunya hiburan gratis yang masih mereka miliki.
Jika tidak, warung Cut Hindar pasti jadi sepi seperti kuburan.<br /> <br />Memang, kadang di balik ketakutan, ketercekaman dan kengerian, sering
melahirkan rasa humor tinggi. Rasa humor yang tinggi itu pula yang kini
dimiliki oleh orang-orang Pegasing.<br /> <br />(bersambung)<br /> <br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-15/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-15/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-20236826733770556432021-08-12T15:59:00.004-07:002021-08-12T15:59:22.693-07:00Azami Ya Azam, SaudarakuMuhammad Yasir<br /> <br />Azami ya Azam, kukatakan kepadamu. Di sini, matahari bersinar malas. Hampir
seantero sudut kota, remang dan misterius. Orang-orang berjalan menundukkan
kepala, seakan-akan langit dan awan-awan tidak memiliki hak untuk segala
kepedihan hidup yang mendera. Kebijaksanaan hidup, mungkin, telah lama sirna
dari sini.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ya Azam, Saudaraku. Jangan katakan ini sebagai Nyanyian Putus Asa. Aku akan
hidup, sebagaimana kata-kata dan bahasa Puisi membuatku hidup, meski kepedihan
selalu datang tepat waktu – sedetik lebih cepat dari kereta api, sejam lebih
cepat dari pergantian siang ke malam, dan sehari lebih cepat dari pergantian
musim.<br /> <br />Musim apakah yang membuatmu tampak sendu, Saudaraku? Ya Azami Azam. Aku
ingat, bahwa engkau pernah berkata kepadaku: “Ada dua musim di antara dua musim
milik kita di sini, ya... tidak lain adalah musim penindasan dan kehancuran.
Sialnya! Itu bukan diciptakan Tuhan dan alam, tetapi kita-kita inilah!”
Kata-katamu ini, Saudaraku, terngiang di telinga. Oh! Bagaimana kita akan
merayakan kematian orang-orang tertindas, tergilas kekuasaan yang lupa diri dan
waktu?! Ya... Azami ya Azam, kita telah kehilangan waktu untuk bertemu dan
saling hantam.<br /> <br />Di Lembayung, kedai kopi yang menggeliat di Kota Yogyakarta, pada musim
hujan. Kita bercerita bagaimana Edward W. Said menyerang balik Barat sebagai
seorang Timur – kemudian kita sepakat, bahwa kata Timur mesti diganti dengan
Orient. Matamu pijar, ketika Said dengan Orientalisme-nya menghardik satu demi
satu, perlahan dan kuat, perspektif para pemikir orientalis membuat rinai hujan
bernyanyi.<br /> <br />Betapa pun, kita mencoba untuk naif, kenyataan bahwa kita pun adalah bagian
dari orang-orang kalah, jadi bayangan diri sendiri. Azami ya Azam, Saudaraku,
katakan kepadaku! Bagaimana kita akan melupakan semangat dan energi ini. Jangan!
Jangan katakan kepadaku bahwa penyakit ini akan memisahkan kita! Dan, jangan
khawatir tentangku. Bukankah kita sama-sama tertindas dan tergilas?!<br /> <br />Malam ini, sirene ambulans dan sirene polisi, membuatku muak. Suara sialan
itu menjadi tanda bahwa semua orang harus bangun dari tidur mereka – tidur jadi
salah satu cara meredam lapar abad 21 ini – untuk mencuci tangan, membeli
masker, dan makan makanan yang sehat setelah berorang-orang di antara mereka
babak belur dihakimi orang-orang urban yang senasib, karena mencuri kotak amal
di rumah Tuhan untuk memenuhi peringatan para administrator negara.<br /> <br />Surabaya, 2021. <span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/azami-ya-azam-saudaraku/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/08/azami-ya-azam-saudaraku/</span></a></span>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-48969245988480937082021-08-12T15:57:00.001-07:002021-08-12T15:57:06.932-07:00PENYAIR MATJALUT DAN LAMPU-LAMPU JALAN YANG DIPADAMKANTaufiq Wr. Hidayat *<br /> <br />Sahdan pada suatu senja, Penyair Matjalut meletakkan tubuh di atas kasur
lembabnya. Tertidur. Tanpa mimpi, tapi mendengkur. Lalu bangun. Duduk tegun.
Android tergeletak. Ada kertas berserak. Kopi, bukan arak. Sendiri. Dan rokok
yang tinggal sejari. Sedang di luar rumah, udara kedinginan sekali. Orang-orang
dengan tubuh yang terselimuti. Bayangan kereta malam hari. Dan perempuan yang
menari. Menari-nari di tengah pandemi.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Dari balik jendela, dalam dada Penyair Matjalut, perempuan penari menatap
keluar sana. Ia terkesima. Terpukau pada hujan. Orang-orang pergi. Kepergian
demi kepergian dan kehilangan demi kehilangan yang tiap detik terjadi.
Segalanya tak terduga. Penyair Matjalut selalu takut terhadap ketakterdugaan
segala. Ia senantiasa berdoa dan memohon perlindungan kepada Tuhannya, agar
diselamatkan dari segala keburukan sesuatu yang tak pernah terduga dalam
kehidupan semesta. Ketakterdugaan yang di luar daya dan upaya manusia. Hingga
suatu malam, Penyair Matjalut merasa kagum dengan para pejalan. Mereka memilih
hidup dengan kesederhanaan, juga tetap sederhana dalam kemegahan. Mereka
mencoba tak merasakan kemegahan di dalam kemegahan-kemegahan. Sehingga selalu
berada dalam kesadaran pada keterbatasan-keterbatasan dan batasan-batasan.<br /> <br />Perempuan penari dalam ingatan Penyair Matjalut, menari di tengah hutan, di
bawah hujan. Rambutnya yang bergelombang dibasahkan. Kedua matanya yang bulat
berkilat menembus mendung dan kabut. Daun-daun kering sisa kemarau, berserak,
dingin dan waktu berpagut. Aroma daunan bercampur aroma tubuh perempuan penari
yang ranum memasuki hidung Penyair Matjalut. Penyair Matjalut diam-diam
mengintip perempuan penari dari balik semak-semak berduri. Kedua mata Penyair
Matjalut tak berkedip. Hujan deras dari langit mengguyur tubuh perempuan
penari. Tapi peristiwa yang kau alami segera berlalu. Meski kenangannya tak
bisa lenyap dari dalam ingatanmu.<br /> <br />Kau selalu mengenang bibirnya yang basah oleh air hujan, ketika ia menari
dan melupakan segala-galanya. Mata-mata negara menyelinap di balik malam, jaket
hitam, dan tatapan-tatapan yang kelam. Lorong-lorong sempit pada kotamu,
menyimpan cerita cinta yang manis gerimis. Tapi negara selalu memerlukan
perempuan penari, karena ada tambang emas di dalam dadanya, jutaan hektar hutan
dan gunung gemunung, lautan, sungai dan danau di balik busananya yang memesona.
Mata-mata negara tak berhenti mengamatinya secara seksama. Dan segala informasi
perihal perempuan penari itu telah menjadi rahasia negara yang dijaga oleh
undang-undang dan senjata. Di tengah pandemi, perempuan berpipi air mata itu
terus menari. Hujan. Dan setiap pertanyaan kandas di dalam kelupaan. Di bawah
sepatu, segala keluh tergeletak ngilu. Di atas meja yang sedikit berdebu,
Penyair Matjalut menuliskan kenangannya menjadi sebuah puisi kelu. Puisi yang
tak pernah diikutkan lomba, festival, dan tak pernah dimasukkan dalam buku
kumpulan puisi para penyair hebat yang mengemuka dengan iklan dan kebanggaan.<br /> <br />Penyair Matjalut menulis.<br /> <br />---bukankah malam selalu membawa sebuntal tanda cinta padamu, wahai
kekasihku?<br /> <br />Penyair Matjalut terdiam. Jarinya berhenti. Agaknya kedua matanya tengah
menangkap diksi yang ganjil---dan begitu gesit, berkelebat pada daun pintu
rumahnya yang lapuk dan darurat. Ada keindahan. Keindahan selalu lahir dari
rahim kesengsaraan. Dan segala kelucuan senantiasa terbit dari penderitaan
panjang yang tak terpecahkan. Tertawa. Entah dari mana Penyair Matjalut
menemukan ungkapan itu. Meringis. Dan Penyair Matjalut kembali menulis.<br /> <br />---kereta menembus kegelapan, terus berdecak memasuki dadamu, kekasihku.
Tapi di mana aku menitipkan duka yang rasanya tak kuasa kutanggungkan lagi,
kekasih? Apakah segala derita hati ini dapat kau rasakan jua? Atau kau
tertawakan saja? Di manakah kutemukan lagi senyummu yang selalu menawan
keperihan hidupku? Seperti tahanan, aku ketakutan di dalam
penantian-penantianku yang kehilangan. Kekasihku, inilah puisiku. Puisi sampah
yang ingin didaur ulang menjadi air mata.. .<br /> <br />Sampai di situ. Kembali Penyair Matjalut tertawa. Agaknya ada sesuatu yang
membuatnya tertawa. Ia mengingat orang bercambang yang kata orang Penyair Sufi,
menulis puisi bersama anggur dan kitab suci. Sejumlah orang memuja-muja puisi
si Penyair Sufi setinggi langit. Pernah suatu kali, Penyair Matjalut membaca
puisi Penyair Sufi itu. Begini bunyi puisi si Penyair Sufi:<br /> <br />Kelon-kelon<br />Kelon-kelonan<br />Dikeloni Tuhan<br />Tatitu-titatu tatatatizutituz<br />Ropiloadimisiku sasikukasu<br />Sususu sususu sususu<br />Sasasa sasasa sasasa<br />Titikmu tetekmu titikku titik!<br />Mau apa?<br />Puh!<br /> <br />Penyair Matjalut tertawa setelah membaca puisi Penyair Sufi itu.<br /> <br />“Ini puisi sufi? Hahaha!” Penyair Matjalut tertawa sendiri. Ia bukan
penyair hebat, dan tidak pernah punya buku puisi, juga bukan kritikus sastra.
Penyair Matjalut tak banyak menyimpan puisinya. Lantaran setiap kali selesai
menulis puisi di layar android, Penyair Matjalut menghapusnya. Setiap kali
selesai menulis puisi pada buku tulis, Penyair Matjalut merobeknya, melumat,
dan membuangnya ke tempat sampah. Besok pagi sampah-sampah kertas dan plastik
itu dibakar. Dunia terlalu sesak dengan sampah, pikir Penyair Matjalut.
Sampah-sampah kehidupan yang gagal didaur ulang. Karena Penyair Matjalut bukan
penyair hebat dan bukan kritikus sastra yang terkenal, penilaiannya terhadap
puisi tak mungkin dipercaya orang. Dan tak bisa dipertanggungjawabkan.<br /> <br />Suatu hari, Penyair Matjalut bertemu dengan Penyair Sufi di sebuah
pertemuan festival para penyair yang diselenggarakan negara. Penyair Matjalut
tentu saja tidak ikut festival, karena ia tak punya puisi. Puisi-puisi Penyair
Matjalut selalu dihapusnya, dirobek, dibakar. Juga bukan puisi hebat. “Puisi
sejati hanya ingin selalu kutuliskan di pedalaman bola matamu, kekasihku,” ujar
Penyair Matjalut pada dirinya sendiri. Dan di arena festival itu, Penyair
Matjalut berjualan buku-buku bacaan. Ia memanfaatkan kerumunan orang yang tak
mematuhi protokol kesehatan itu untuk menjual buku-buku, uangnya bisa buat beli
rokok. Di situ, Penyair Matjalut berpapasan dengan Penyair Sufi. Penyair Sufi
itu tubuhnya kurus, cambangnya lebat, potongannya tua dan peyot. Masak orang
kayak gini Penyair Sufi? Batin Penyair Matjalut.<br /> <br />“Selamat siang, Penyair Sufi,” sapa Penyair Matjalut.<br /> <br />“Maaf. Siapa Anda?” jawab Penyair Sufi menyorotkan kedua matanya yang sudah
tua bangka ke wajah Penyair Matjalut.<br /> <br />“Kenalkan. Nama saya Penyair Matjalut, Penyair Sufi.”<br /> <br />“Nama saya Penyair Sufi. Maaf saya masih ada pertemuan dengan panitia dan
penyair-penyair hebat.”<br /> <br />“Seperti ini Penyair Sufi? Mana sufinya, Penyair Sufi?”<br /> <br />“Maaf. Saya tidak berbicara dengan penyair tidak jelas!”<br /> <br />Penyair Matjalut tertawa. Penyair Sufi berlalu ke dalam ruangan. Di situ
sudah berkumpul sejumlah orang, mereka mempelajari puisi-puisi sufi Penyair
Sufi. Sedangkan Penyair Matjalut berkemas meninggalkan arena festival penyair
hebat. Di situ, buku-buku tidak laku. Yang laku hanya buku-buku mereka sendiri,
pikir Penyair Matjalut. Yang dipuja-puja hanya puisi-puisi mereka sendiri.
Penyair Matjalut menyalakan sepeda motornya. Membawa buku-bukunya. Dasar
penyair gagal.<br /> <br />“Bedebah!” pekik Penyair Matjalut melangkah keluar sana.<br /> <br />Lampu-lampu padam sepanjang tepi jalan ke kotamu. Sepeda motormu melaju
pelan dengan lampu yang tidak terang. Sampai di rumah. Malam. Buku-buku kau
turunkan dari sepeda. Bayangan perempuan penari menari-nari dalam kenanganmu.
Kau menutup pintu rumahmu. Kopi dingin. Sebatang rokok. Dan kesendirian yang
semakin hari semakin mengasikkan. Penyair Matjalut menyandar di kuri.
Diputarnya lagu-lagu Ismail Marzuki. Tak terasa, Penyair Matjalut tertidur. Dan
kini, kau bermimpi. Bermimpi kereta berwarna hitam. Lampu-lampu kereta menyorot
ke dalam dirinya sendiri. Perempuan penari menari-nari di atap kereta. Malam.
Dan perjalanan yang menembus kegelapan. Ia terbangun dari mimpinya. Malam. Dan
lampu-lampu menyala redup. Negara tengah menyusun rencana di malam hari, ketika
banyak orang sedang tertidur dalam kelengahan dalam kelalaian yang panjang dan
melenakan. Dan besok, akan diumumkan peringatan-peringatan, larangan-larangan,
dan ancaman-ancaman. “Dunia yang melelahkan,” desah Penyair Matjalut.<br /> <br />Dan malam pun terus dilarutkan dalam kedinginan.<br /> <br />Tembokrejo, 2021<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab.
Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh
pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah
terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala”
[PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari
Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam,
Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat
Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan”
(PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di
Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/penyair-matjalut-dan-lampu-lampu-jalan-yang-dipadamkan/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/penyair-matjalut-dan-lampu-lampu-jalan-yang-dipadamkan/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8115040061469980991.post-5453708577069961262021-08-12T05:37:00.006-07:002021-08-12T05:37:52.953-07:00PRASYARAT KEBERLANGSUNGAN APRESIASI SASTRA (9)Djoko Saryono<br /> <br />Apresiasi sastra tidak dapat berlangsung secara tiba-tiba dan serta-merta.
Ada prasyarat-prasyarat yang menentukan dapat berlangsung tidaknya. Hal ini
berarti ter-dapat unsur penentu yang menjadi conditio sine qua non untuk
keberlangsungan apresiasi sastra. Tanpa unsur penentu ini mustahil apresiasi
sastra dapat berlangsung. Unsur penentu yang dimaksud adalah (i) karya sastra,
(ii) pengapresiasi sastra, dan (iii) kontak karya sastra dengan pengapresiasi
sastra. Artinya, berlangsung tidaknya apresiasi sastra memprasyaratkan adanya
Belenggu (Armijn Pane), Atheis (Ahdiat Kartamihardja), <span><a name='more'></a></span>Vickers Jepang (Nugroho
Notosusanto), Langit Makin Mendung (Ki Panji Kusmin), dan Salah Asuhan (Abdul
Muis) sebagai karya sastra di satu pihak dan di pihak lain memprasyaratkan
adanya (sebutlah orang bernama) Rindang Kasih, Teduh Bumi, dan Angin Kembara
selaku pengapresiasi sastra, dan proses kontak karya-karya tersebut dengan
nama-nama tersebut yang tak kasat mata dan tanwujud.<br /> <br />Ketiga unsur penentu tersebut memiliki ciri khas/karateristik berbeda.
Perbedaan ciri khas karya sastra, pengapresiasi sastra, dan proses kontak karya
sastra dengan pengapresiasi sastra memengaruhi proses keberlangsungan apresiasi
sastra, dalam hal ini mekanisme proses keberlangsungan dan hasil atau perolehan
kegiatan apresiasi sastra. Bahkan perbedaan ciri khas antar-karya sastra dan
antar pengapresiasi sastra dapat membedakan mekanisme proses keberlangsungan
dan perolehan kegiatan apresiasi sastra. Jadi, perbedaan ciri khas antara
Langit Makin Mendung, Atheis, dan Vickers Jepang dapat membedakan mekanisme
proses keberlangsungan dan perolehan kegiatan apresiasi sastra. Demikian juga
perbedaan ciri khas antara Rindang Kasih, Teduh Bumi, dan Angin Kembara.
Perbedaan ciri khas kedua unsur penentu ini malahan dapat membedakan proses
kontak antara karya sastra dan pengapresiasi sastra (unsur penentu ketiga). Ketiga
unsur penentu tersebut tidak otomatis membuat apresiasi sastra dapat
berlangsung. Kedapatberlangsungan masih ditentukan oleh beberapa prasyarat
lain. Pertama, karya sastra dan pengapresiasi sastra harus mempunyai aktivitas
dan melaksanakan aktivitas seturut kebutuhan masing-masing. Dalam masing-masing
unsur tersebut perlu ada dinamika internal. Maksudnya, karya sastra harus
diandaikan memiliki sukma yang menggerakkan dirinya untuk ber hubungan dengan
pengapresiasi sastra; dan pengapresiasi sastra harus memiliki gerakan-gerakan
dan tindakan-tindakan yang bisa digunakan untuk berhubungan dengan karya
sastra.<br /> <br />Kedua, unsur proses harus bisa “memaksa” atau membimbing karya sastra dan
pengapresiasi sastra untuk melakukan kontak atau komunikasi. Ini mengisyaratkan
bahwa antara karya sastra dan pengapresiasi sastra harus berada pada “jalan”
yang sama, tapi pada titik berbeda, mengarah pada aras berlawanan, dan
masing-masing ber gerak menuju titik pusat yang sama yang disebut proses kontak
atau komunikasi. Di sini bisa diandaikan baik karya sastra maupun pengapresiasi
sastra berada di suatu jalan yang membujur selatan-utara. Karya sastra berada
di ujung selatan jalan, bergerak ke utara ke arah pengapresiasi sastra, sedang
pengapresiasi sastra berada di ujung utara jalan, bergerak ke selatan ke arah
karya sastra. Keduanya bergerak dengan kecepatan sama dan pada saat bersamaan
pula. Keduanya bertemu di tengah, kemudian saling menyapa dan menjamu; dan
inilah yang disebut proses kontak atau komunikasi. Hal ini dapat berlangsung bila dipenuhi
prasyarat ketiga berikut.<br /> <br />Ketiga, karya sastra harus menghidangkan sinyal-sinyal sastra wi atau
kesastraan yang merangsang dan memikat radar-radar nurani, rasa, dan budi
pengapresiasi. Pada saat bersamaan radar-radar nurani, rasa, dan budi itu harus
menyantap sinyal-sinyal sastrawi atau kesastraan tersebut. Demikian juga
sebaliknya: nurani, rasa, dan budi pengapresiasi harus mengirim sinyal-sinyal
apresiatif ke pada karya sastra. Bila hal ini terjadi, maka telah terjadi
persambungan hubungan dan perjamuan antara karya sastra dan pengapresiasi
sastra di dalam (unsur) proses kontak atau komunikasi.<br /> <br />Jika butir ketiga tersebut dapat berlangsung dengan baik dan mulus, maka
dapat dikatakan telah terjadi perjamuan dan percakapan antara karya sastra dan
pengapresiasi sastra di dalam proses apresiasi sastra. Ini berarti apresiasi
sastra dapat dikatakan telah berlangsung. Kegiatan apresiasi sastra yang bisa
berwujud membaca karya sastra, melisankan karya sastra, dan menyimak pelisanan
karya sastra dapat disebut berlangsung. Masing-masing dapat berdiri sendiri,
dapat pula saling mendukung.<br /> <br />Bersambung 10<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/prasyarat-keberlangsungan-apresiasi-sastra-9/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/prasyarat-keberlangsungan-apresiasi-sastra-9/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0